A.
Kebenaran dalam
Sejarah
Secara
teoretis, sejarah memerlukan dua pilar yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain, jika orang ingin melakukan rekonstruksi tentang masa lampau. Kedua pilar
itu adalah logika dan pengetahuan. Dengan kekuatan logika orang akan mampu
menyaring dan memisahkan secara cerdas dan kritikal antara fakta dan mitos atau
legenda. Logika itu sendiri akan membimbing orang untuk melihat masa lampau
secara jernih dan bertanggung jawab. Ibn Khaldun (1332-1406) dalam
al-Muqaddimah-nya sangat menekankan agar seorang sejarawan tidak boleh menjadi
partisan terhadap pandangan-pandangan dan mazhab-mazhab tertentu dalam membaca
masa lampau, sebuah "penyakit" yang diidap oleh sejumlah sejarawan
Muslim sebelumnya.
Pilar kedua adalah
pengetahuan yang luas yang harus dimiliki seorang sejarawan untuk mendukung
kariernya sebagai seorang peneliti terhadap kelampauan yang tidak mungkin lagi
diakses secara langsung karena sudah terjadi. Melalui jejak kelampauanlah
seseorang melakukan rekonstruksi tentang peristiwa tertentu pada masa lampau
yang menjadi pusat perhatiannya.
Untuk
apa dan untuk kepentingan siapa? Bertrand Russell mengatakan "untuk
pleasure (kesenangan). Tidak salah, tetapi sejarawan Itali, Benedetto Croce
(1886-1952), memberikan jawaban umum yang lebih mantap: untuk kepentingan orang
hidup, bukan untuk kepentingan mati. Sebab itu, Croce berteori, sejarah selalu
bersifat kontemporer, sekalipun ramuannya diambil dari kelampauan. Karena
sifatnya yang kontemporer, unsur subjektif tidak dapat dihindari, selama
bangunan sejarah itu ditegakkan di atas fakta.
Untuk
mendapatkan pengetahuan luas sebagai salah satu pilar sejarah, Ibn Khaldun
dalam meramu teorinya telah mempelajari lingkungan geografis, politik,
sosiologis, antropologis, psikologis, dan dimensi-dimensi lain yang dapat
memperkaya metode analisisnya. Daerah jelajah intelektualnya adalah Afrika Utara
dan Andalusia. A.J. Toynbee (1889-1975) demikian tinggi menilai al-Muqaddimah
sebagai sebuah karya dahsyat yang pernah diciptakan otak manusia. Tanpa latar
belakang pengetahuan yang luas, seorang sejarawan pasti akan gagap dan
meraba-raba dalam melihat masa lampau yang memang unik itu. Karena sejarah ditulis untuk
kepentingan orang hidup dalam sebuah zaman dan ruang tertentu, maka teori
khilafah, misalnya, yang diusung kembali oleh Taqiyuddin an-Nabhani untuk
membagun sebuah dunia Muslim yang masih berserakan ini, patut juga
diperhatikan. Tetapi, mengaitkannya sebagai sesuatu yang syar'i, jelas
berlebihan, sebab tidak ada pijakan logika Qur'ani yang dapat dijadikan dasar
sepanjang pengetahuan saya. Memang, khilafah adalah fakta sejarah masa lampau
yang benar-benar terjadi. Hanya orang buta saja yang tidak dapat melihat fakta
keras ini. Tetapi,
apa yang dilakukan Abu Bakar dan 'Umar bin Khattab untuk membangun sistem
khilafah semata-mata sebagai buah ijtihad yang terikat dengan ruang dan waktu.
Sebagai ijtihad, kedudukannya adalah nisbi, sah diterima dan sah pula untuk
ditolak dengan argumentasi yang kokoh secara agama dan logika. Orang yang
berilmu tidak boleh memaksakan sebuah pendapat yang bersifat ijtihadi.
Dalam
perspektif ini, meratapi kejatuhan Turki Usmani di tangan Kemal Ataturk yang
dipandang sejumlah orang sebagai bentuk khilafah yang terakhir, jelas
menyesatkan dan ahistoris. Saya mendukung pendapat Shah Wali Allah, pembaru
dari India abad ke-18, yang mengatakan bahwa sistem khilafah hanya sampai
periode 'Ali bin Abi Thalib, khalifah terakhir dari al-khulafa' al-rasyidun
yang hanya berusia kurang sedikit dari tiga dasawarsa. Sistem politik yang berkembang
sesudah itu di dunia Muslim adalah sistem kerajaan, baik dalam skala kecil
maupun dalam skala besar dalam format imperium. Bukan sistem khilafah karena
salah satu diktum Alquran tentang prinsip egalitarian dalam politik telah
dibuang ke dalam limbo sejarah. Mu'awiyah adalah figur transisi antara sistem
khilafah dan sistem kerajaan. Dengan mengangkat anaknya Yazid sebagai
penggantinya, maka bermulalah sistem kerajaan itu, sekalipun untuk mengelabui
umat agar tetap setia, mantel khalifah terus dipakai, sedangkan proses
pembentukan atau pengangkatannya sudah tidak lagi mengacu kepada Alquran yang mengedepankan
syura (permusyawaratan) dalam kehidupan bermasyarakat. Sistem khilafah dalam teori
al-Mawardi (w. 1058), misalnya, masih saja mensyaratkan keturunan Quraisy untuk
menjadi khalifah. Ini tidak mengherankan, karena dia membangun teori politiknya
dalam upaya mempertahankan Daulah 'Abbasiyah yang masih berdarah Quraisy yang
pada abad ke-11 sudah sangat rapuh. Bagi saya masalah kepemimpinan umat yang
dikaitkan dengan keturunan darah tertentu harus ditolak karena antilogika dan
bahkan anti Alquran yang menempatkan manusia sama di depan Tuhan dan di depan
sejarah.
Perubahan
zaman harus mengubah cara berpikir kita, tetapi nilai-nilai dasar yang autentik
wajib dipertahankan. Dalam perspektif ini, prinsip syura dalam Alquran adalah
salah satu nilai dasar yang wajib dipedomani dan diartikulasikan sesuai dengan
keperluan zaman kita. Logika sejarah mengatakan begitu. Maka, bentuk demokrasi
lebih dekat kepada sistem syura itu.
B.
Fakta dalam Sejarah
Dalam
proses analisa, sejarawan harus selalu memikirkan unsur-unsur yang relevan
didalam dokumen, lebih daripada dokumen itu sendiri didalam keseluruhannya.
Sambil memperhatikan setiap unsur ia bertanya; apakah unsur itu kredibel? Tidak
ada salahnya untuk menekankan sekali lagi bahwa apa yang dimaksud jika sesuatu
unsur disebut kredibel bukanlah bahwa unsur itu adalah apa yang sungguh-sungguh
terjadi, melainkan bahwa unsur itu paling dekat dengan apa yang sungguh-sungguh
terjadi, sejauh dapat kita ketahui berdasarkan suatu penyelidikan kritis
terhadap sumber-sumber terbaik yang ada. Dengan perkataan lain sejarawan
menetapkan sesuatu sebagai “nampaknya benar” dan bukannya sebagai benar secara
obyektif. Meskipun terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya, namun mereka
tidak perlu harus identik[1].
Dalam
penulisan karya sejarah, seorang sejarawan selalu dikaitkan dengan sumber
sejarah sebagai sumber yang utama. Tentu saja dari sumber-sumber sejarah ini
seorang sejarawan tidak bisa langsung menggunakannya mentah-mentah, melainkan
perlu pengolahan yang lebih lanjut sehingga nantinya dari sumber yang diperoleh
ini dihasilkan sebuah karya sejarah. Mulai dari pengolahan sumber melalui
metode penelitian sejarah[2]
hingga dihasilkan fakta dan dari berbagi fakta sejarah bisa dirangkai merjadi
karya sejarah dan dari fakta sejarah ini pula yang membedakan karya sejarah
dengan karya-karya tulis yang lain.
Fakta
adalah intisari dari sumber-sumber sejarah, sehingga fakta itu disimpulkan dari
sumber-sumber sejarah[3].
Fakta itu adalah bahan mentah yang harus dimasak terlebih dahulu. Ibarat
manusia, fakta adalah rangka dan perlu diberi daging dan jiwa[4]
berupa buah pikir (imajinasi) kita sebagai sejarawan agar fakta itu kemudian
bisa menjadi sebuah karya sejarah. Kadang fakta-fakta itu banyak terdapat
kesamaan antara satu sama lain. Tapi akan sangat jelas berbeda ketika ditulis
oleh orang lain. Ibarat orang membuat sebuah bangunan rumah meski terbuat dari
bahan-bahan yang sama, tetapi akan dihasilkan bentuk bangunan rumah yang
berbeda tergantung si pembuat bangunan rumah itu. Hal
ini dikarenakan adanya perbedaan pandangan atau pemikiran masing-masing pembuat
rumah. Sebagaimana FJ Teggart menyatakan bahwa Fakta adalah sebagai hasil dari
penyelidikan yang kritis, pernyataan-pernyataan yang ditarik dari bahan-bahan
dokumenter dan pernyataan ini adalah fakta sejarah[5].
Fakta-fakta itu disimpulkan dari bahan-bahan sejarah. Dengan metode penelitian
sejarah, peneliti sejarah menggali sumber-sumber sejarah dan mengeluarkan fakta
dari dalamnya.
Fakta-fakta dihubungkan dengan dasar sebab akibat yang tidak
selalu jelas karena suatu kejadian selalu disebabkan oleh jalinan dari beberapa
sebab[6].
Jadi satu kejadian sejarah tidak mungkin disebabkan oleh satu sebab saja. Tapi
bila rangkaian fakta saja dianggap sebagai sejarah, maka jelas bahwa rangkaian
itu tidak mudah dimengerti artinya. Fakta-fakta itu harus disusun lagi sehingga
akan muncul dan tampak menjadi sebuah cerita dengan bentuk yang lain.
Apabila
orang dalam debat mengatakan bahwa fakta adalah fakta, tidak dapat diubah atau
sudah tetap, maka tidak disadari oleh pembicara bahwa fakta adalah hasil
konstruksi subjek. Dapat dijelaskan bahwa ada fakta untuk jangka lama belum
mantap atau disebut fakta lunak, seperti fakta tentang pembunuhan J. F.
Kennedy.[7]
Masih sangat kontroversial siapa pembunuhnya, dan banyak teori berbeda-beda
mengenai peristiwa itu. Ada juga fakta keras, ialah suatu kejadian/ peristiwa
yang memang telah di ketahui kebenarannya, dengan bukti-bukti yang relevan dan
kuat. Antara lain yang menunjuk Proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus
1945. Banyak dokumen-dokumen yang tersimpan, didalamnya terdapat banyak data.
Data sebagai bahan memerlukan pengolahan, penyeleksian, pengkategorisasian,
yang semua itu berdasarkan kriteria seleksi tertentu yang tergantung pada
subjek yang melakukan pengkajian.
Sistematisasi data menghasilkan tabel-tabel yang kepada pembaca ahli
menunjukkan fakta-fakta. Pendekatan dan dimensi apa yang dipergunakan akan
menentukan jenis fakta yang diseleksi. Sejarah yang komprehensif akan lebih
banyak mempergunakan fakta dari pada sejarah satu segi.[8]
Dalam
fakta terdapat 2 buah teori, teori yang pertama adalah teori kebenaran
korespondensi yaitu suatu pernyataan yang benar apabila sama dengan realitas.
Sedangkan yang kedua adalah teori kebenaran koherensi yaitu pernyataan yang
benar apabila cocok dengan pernyataan lain yang pernah dinyatakan.
[1] Gottschalk,
Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Terj.
Nugroho Notosusanto. Jakarta
: UI Prees. Hal. 95
[2] Helius
Sjamsuddin, 1996, Metode Penelitian
Sejarah, Jakarta : Depdikbud, Hal. 43.
[3] R.M. Ali, 1983, Pengantar Sejarah Indonesia, Jakarta,
Hal. 18
[4] Ibid. Hal. 20
[5] Sidi Gazalba,
1981, Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu,
Jakarta : Bhratara Karya Aksara, Hal. 34
[6] Garraghan,
Gilbert J., S.J. 1957. A Guide to
Historical Method. New York
: Fordham U.P. Hal. 330.
[7] Sartono
Kartodirdjo. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial
Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. hal 17
[8] Ibid. hal 18
No comments:
Post a Comment