Friday, December 2, 2016

Peranan Tamansiswa Dalam Perkembangan Pendidikan Di Yogyakarta

PENDAHULUAN

Indonesia pada abad XX mengalami kebangkitan Nasional. Timbulnya rasa perjuangan melawan penjajah ini didasari atas rasa nasionalisme. Pergerakan ini muncul karena adanya reaksi dari masyarakat Indonesia terhadap perlakuak kolonial Belanda. Dalam kehidupan sosial di masyarakat, ada perbedaan mencolok dari kehidupan Belanda dengan rakyat Indonesia. perbedaan itu sangat terlihat pada bidang ekonomi, politik, dan sosial. Masyarakat Indonesia selalu berada di bawah pemerintah kolonial. Dalam struktur masyarakat pun rakyat Indonesia menempati urutan paling bawah, urutannya sebagai berikut, orang-orang Eropa (Belanda), Orang Timur Asing (Cina dan Arab), dan Pribumi. Secara jelas dapat dilihat yang melatar belakangi pergerakan pada abad XX,
antara lain:
Ø  Faktor Ekonomi
Dalam hal ekonomi, Belanda menerapkan sistem dualisme ekonomi. Yaitu sistem ekonomi modern (kapitalis) dan Sistem ekonomi tradisional.
Ø  Faktor sosial dan Budaya
Adanya struktur masyarakat yang di pakai oleh Belanda. Dengan struktur masyarakat menjadikan kedudukan rakyat Indonesia berada di bawah orang-orang asing.
Ø  Faktor Politik
Adanya refitalisme yairu mempertanyakan kembali kedudukan Indonesia. Pergerakan melalui jalan diplomasi ini digunakan untuk memprjuangkan kebebasan yang dilakukan secara damai.
Dalam hal pendidikan rakyat Indonesia tidak mendapat pengajaran yang sesuai. Paling tidak sama dengan pengajaran yang diterima oleh Belanda. Apalagi rakyat Indoneaia yang kelas ekonomi bawah. Di sini pendidikan di Indonesia umumnya dan di Yogyakarta khususnya mulai membaik dengan didirikannya Tamansiswa. Sejarah Tamansiswa adalah sejarah kebangasaan Indonesia. Tamansiswa adalah gerakan dalam bidang pendidikan. Bapak penggerak pendidikan adalah Ki Hadjar Dewantara (R.M. Suwardi Suryaningrat). Tamansiswa bersikap nonkooperatif terhadap pemerintahan Belanda.
BERDIRINYA TAMANSISWA

Tamansiswa dibentuk salah satunya bertujuan untuk memberi kesempatan rakyat Indonesia yang tidak bisa mengenyam pendidikan di sekolah milik Belanda. Pada permulaan abad ke-XX, perhatian masyarakat Indonesia terhadap pengajaran sangat besar, sampai departemen pengajaran kewalahan untuk mengatasinya. Ini dikarenakan banyaknya orang yang ingin sekolah, tetapi tempatnya tidak mencukupi. Banyak masyarakat yang ingin anak-anaknya mengenyam pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang diajarkan Belanda adalah pelajaran Bahasa Belanda dengan kurikulum Belanda. Semua orang ingin belajar bahasa Belanda, karena bahasa ini adalah satu-satunya alat untuk mendapat jabatan yang baik, sedangkan usaha untuk meningkatkan kebudayaan bangsa belum terpikirkan.
Anak-anak yang mengenyam pendidikan dari sekolah Belanda, banyak yang kehilangan tabiat kerakyatannya dan merasa lebih tinggi derajatnya dari pada saudara-saudara yang tidak pandai berbahasa Belanda. Seandainya anak-anak Indonesia setiap hari dididik demikian, mereka itu tidak akan mencintai bangsa dan kebudayaannya. Dalam hal pendidikan pemerintah tidak dapat memberi kepuasan rakyat. Sistem pendidikan ala Eropa itu menghasilkan anak-anak yang bertabiat kasar, kurang memiliki rasa kemanusiaan sehingga tumbuh rasa individualisme dan melupakan kebudayaan bangsa. Sistem dan pola semacam ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
Sistem pendidikan yang sesuai dengan rakyat Indonesia adalah sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan yang dimaksud adalah suatu sistem pendidikan baru berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia, medeka dan mengutamakan kepentingan masyarakat. Dari sini mulailah timbul keberanian beberapa orang Indonesia untuk mendirikan sekolah-sekolah sendiri tanpa subsidi dari pemerintah. Alasan-alasan tersebut yang mendorong pendirian Tamansiswa pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara yang pada mulanya bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa”. Pilihan Ki Hadjar Dewantara untuk mengambil perjuangan melalui pendidikan didorong oleh hasrat untuk turut bertanggung jawab atas nasib bangsa serta kemanusiaan umumnya berdasarkan faktor-faktor objektif yang ada dan terjadi dalam masyarakat kolonial, serta faktor-faktor subjektif yaitu hasrat dan tekad bangsa Indonesia untuk terus berjuang mencapai kemerdekaan.
Semboyan yang digunakan oleh Tamansiswa adalah “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.” Sementara inti dalam asas 1922 ialah sebagai berikut:
1.      Pasal Pertama: dasar kemerdekaan bagi tiap-tipa orang untuk mengatur dirinya sendiri. Kebebasan itu bukanlah suatu kebebasan yang leluasa, tetapi kebebasan yang terbatas dan herus menginget tertib damainya hidup bersama.
2.      Pasal kedua: dasar-dasar kemerdekaan tersebut hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berfikir.
3.      Pasal ketiga: Harus diperhatikan kepentingan-kepentingan sosial ekonomi dan politik.
4.      Pasal keempat: Dasar kerakyatan. Mempertinggi pengajaran dianggap perlu, namun jangan menghambat tersebarnya pendidikan dan pendidikan untuk seluruh masyarakat murba.
5.      Pasal kelima: asas kemerdekaan. Jangan menenerima bantuan yang dapat mengikat diri kita.
6.      Pasal keenam: Keharusan untuk membelanjai sendiri segala usaha Tamansiswa.
7.      Pasal ketujuh: Keikhlasan lahir dan Batin untuk mengorbankan segala kepentingan kita kepada selamat bahagianya anak-anak yang kita didik.

PERKEMBANGAN TAMANSISWA SEBELUM MASA KEMERDEKAA
A.    Tamansiswa Pada Masa Pendudukan Belanda

Pemerintah Belanda menganggap bahwa Tamansiswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat Indonesia di masa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk menumbangkan kekuasaan kolonial. Karena itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk mengahlang-halangi perkembangan Tamansiswa khususnya dan sekolah-sekolah partikelir umumnya. Kegelisahan Belanda ini dijawab dengan dikeluarkannya “ Ordonsis Pengawasan” yang dibuat dalam Staatsblad No. 494 tanggal 17 September 1932.
Ordonasi Pengawasan ini dinyatakan mulai berlaku pada 1 Oktober 1932. isi dan tujuan ordonasi tersebut ialah memberi kuasa pada alat-alat pemerintah untuk mengurus ujud dan isi sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir tersebut harus meminta ijin lebih dulu sebelum dibuka dan guru0gurunya harus mempunyai ijin mengajar. Rencana pelajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga peraturan-peraturannya. Ordonasi ini menimbulkan berbagai protes dari masyarakat Indonesia.
Menanggapi Ordonasi tersebut, Ki Hadjar Dewantara mengirimkan maklumat melalui telegram kepada Gurbenur Jendral di Bogor pada tanggal 1 Oktober 1932. Banyak yang mendukung Ki Hadjar untuk memprotes Ordonasi tersebut.
Pemerintah terkejut akan tekad perlawanan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hadjar, akhirnya dengan keputusan Gubernur Jendral tanggal 13 Februari 1933 Ordonasi Sekolah Liar diganti dengan ordonasi baru. Dengan adanya persatuan yang kuat antara tokoh-tokoh dan masyarakat Indonesia dalam melawan pemerintahan Belanda akhirnya dapat berhasil.
B.     Tamansiswa Pada Masa Pendudukan Jepang

Pada akhir pemerintahan Belanda jumlah cabang Tamansiswa ada 199 dengan 207 perguruan, tersevar di seluruh nusantara, di Sumatra terdapat 49 cabang, Jawa Barat 28, Jawa Tengah 42, Jawa Timur 70, Bali 4, Kalimantan 2, Sulawesi 2, ambon dan Ternate masing-masing satu cabang. Kedatangan Jepang dianggap sebagai pembebas oleh sebagian pemimpin Indonesia, demikian juga oleh sebagian kalangan Tamansiswa sendiri.
Pada masa Jepang banyak perguruan yang ditutup karena ditinggalkan oleh guru-gurunya untuk bekerja pada sekolah-sekolah negeri, sebagian lagi ditutup oleh Jepang. Mereka beranggapan dengan kedatangan Jepang Indonesia sudah merdeka, sehingga mereka menginginkan pengurusan Tamansiswa deserahkan peda pemerintah.
Pendidikan Tamansiswa sangat maju ketika awal Jepang datang, keadaan ini hanya di Tamansiswa Yogyakarta. Pada perkembangannya pada masa jepang pada umumnya sekolah swasta dilarang. Sesuai dengan garis kebijaksanaan pada waktu itu yang mengutamakan sekolah kejuruan, maka dibuka sekolah Taman Tari dan Taman Rini (keputrian). Jepang hanya memperbolehkan sekolah-sekolah kejuruan, Jepang memerintahkan penutupan sekolah-sekolah partikelir, terutama tingkat menengahnya. Seolah-olah Jepang menghendaki adanya golongan masyarakat yang berdarah dan berkulit Indonesia, tetapi rasa, pendapat, moral dan kecerdasannya serba Jepang.
Secara organisatori zaman Jepang merupakan kemunduran bagi Tamansiswa. Hilangnya cabang-cabang yang ada di Kalimantan, sulawesi, Ambon, Ternate dan kemudian Bali menyebabkan perjuangan Tamansiswa dalam memupuk kader bangsa terbatas di Sumatra dan Jawa. Sampai pada akhirnya tercapainya kemerdekaan nasional. Banyak bekas guru dan murid Tamansiswa yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.

PERKEMBANGAN TAMANSISWA PASCA KEMERDEKAAN

Ki Hadjar Dewantara sejak hari proklamasi ada di Jakarta. Kabinet pertama dibentuk pada tanggal 19 Agustus, beliau menduduki kursi menteri pangajaran hingga penggantian kabinet tanggal 15 November 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan diadakan Rapat Besar (Konferensi) yang ke 9 di Yogayakarta. Dalam rapat tersebut terdapat tiga pendapat:
1.      pendapat bahwa tugas Tamansiswa telah selesai dengan tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini peranan Tamansiswa sebagai penggugah keinsyafan nasional sudah habis dan faktor melawan pemerintah jajahan tidak ada lagi.
2.      Tamansiswa masih perlu ada, sebelum pemerintah Republik dapat mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi kebutuhan rakyat.
3.      sekolah partikelir yang mempunyai dasar tersendiri tetap diperlukan walaupun nantinya jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah nasional.
Pada periode 1954-1965/1968, setelah Indonesia merdeka sedikit-sedikit tamansiswa dibuka kembali. Tahun 1946 Tamansiswa di Babad, Teluk Bentung dibuka kembali, tahun 1947 Tamansiswa di Malang, Sukabumi Galang, Lubuk Paham, Juwana, Bin Jai dibuka kembali. Tanggal 1 September 1951 Persatuan Tamansiswa telah berbadan hukum. Pada tanggal 15 november 1955 didirikan Taman Sarjana (Khursus B-1) oleh K.H. dewantara dengan jurusan Alam Pasti, Bahasa dan Ilmu Sosial. Taman Sarjana ini disebut Yayasan Sarjana Wiyata.
Sebelum kemerdekaan Tamansiswa mendidik untuk sadar dan aktif dalam pembelaan negara. Setelah kemerdekaan, kewajibannya sama dengan pemuda-pemuda yang lain. Di Tamansiswa sendiri tidak mengajarkan gemblengan fisik secara khusus. Tapi ada juga di Tamansiswa pelajaran beladiri.
Tamansiswa lebih berkembang dari sebelumnya. Sebelum kemerdekaan mendapat tentangan dari Belanda. Badan-badan pendidikan yang lain setelah kemerdekaan juga berkembang. Pada akhirnya perkembangan Tamansiswa tidak terlihat karena kalah dengan yang lain. Sehingga tampaknya Tamansiswa mengalami stagnasi.
Pada dasarnya struktur dan organisasi di Tamansiswa antara sebelum dan setelah kemerdekaan masih sama. Struktur organisasi di lembaga pendidikannya menyesuaikan ketentuan pemerintah. Pada era globalisasi mau tidak mau Tamansiswa harus menjalin kerjasama baik nasional maupun internasional. Adanya kerjasama dengan luarnegri untuk studi lanjut di luar negeri dan mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari luarnegeri, adanya tukar pelajar ke luar negeri dll. Maka harus menerima kebudayaan asing dan menjaga kebudayaan asli Indonesia.
Museum Tamansiswa tersebut terletak di Jalan Tamansiswa, yang bernama Museum Dewantarakirti Museum tersebut adalah rumah Ki Hadjar Dewantara yang terletak dilingkungan Tamansiswa. sampai sekarang museum tersebut berfungsi dalam membantu penelitian pendidikan.
Untuk menunjang pendidikan yang lebih tinggi didirikan perguruan tinggi Tamansiswa yang diberinama, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa yang didirikan yada tahun 1955. asrama Rini yang dulu digunakan sebagai asrama putri berubah menjadi Kos-kosan Putri Mahasiswa UST pada masa sekarang. Tamansiswa sampai sekarang masih eksis.

KESIMPULAN 

Tamansiswa pada 3 Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara yang pada mulanya bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa” didirikan dengan alasan kurang puasnya masyarakat Indonesia terhadap pendidikan yang diterapkan ala Belanda. Pendirian Tamansiswa ini sangat membantu pendidikan di Indonesia umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya. Dengan semboyannya Ing Ngarso Sung tuladha Inh Madya Mngun karso dan Tutwuri handayani.
Tamansiswa memiliki banyak cabang baik di Jawa maupun di luar pulau Jawa. Pada masa penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia Tamansiswa mengalami banyak halangan, Tapi dengan semangat pendidikan nasional yang merdeka semua itu dapat diatasi. Sampai setelah kemerdekaan pun Tamansiswa masih tetap berjalan. Dengan partisipasinya dalam pendidikan bersama dengan pemerintah mewujudkan pendidikan nasional. Untuk Jasa-jasanya K.H. Dewantara dijadikan bapak pendidikan Nasional dan hari tanggal kelahirannya yaitu 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Buku Peringatan Tamansiswa 30 Tahun 1922-1952. Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa. 1952.

Anonim. Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman. Yogyakarta: Depdikbud. 1979.

Anonim. Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: CV Tumatiti. 1976/1977.

Barnadib, Sutari Imam. Sejarah Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset. 1983.

Suratmin, Suhartono, Suharyanto dan Suhatno. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Proyek IDSN, CV. Tumatiti. 1990.

Surjomihardjo, Adurrachman. Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sedjarah Indonesia Modern. Jakarta: PT. Sinar Harapan. 1986.

No comments:

Post a Comment