Sunday, August 21, 2016

Kebijakan Sewa Tanah ( Landrente) Oleh Thomas R. Raffles (1811-1816)

Latar Belakang Kebijakan Raffles

Oleh Pemerintahan Inggris Jawa dijadikan bagian dari jajahan India, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Gubernur di Indonesia, Dia ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Selain dalam Bidang pemerintahan juga dalam bidang Ekonomi. Dalam Masa pemerintahanya (1811-1816) Raffles mencoba kebijaksanaan-kebijaksanaannya salah satunya kebijaksanaanya adalah  Sistem Sewa Tanah. Karena Raffles menganggap bahwa pemerintahan Kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah jajahan. Karena itu Raffles menganggap bahwa yang menggarap sawah adalah penyewa dari tanah pemerintah. Oleh karena itu para petani mempunyai kewajiban membayar    sewa tanah kepada pemerintahan. Sewa Tanah atau Landrent itu harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh pendududuk. Letnan Gubernur Thomas R. Raffles mempekenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan.


Sistem Sewa Tanah(Landrent)   
Sistem Sewa Tanah yang ditawarkan Raffles  diajdikan suatu pegangan dalam menjalankan kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia.Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung itu dalam persil-persil besar atau kecil menurut keadaan setempat untuk waktu yang terbatas. Berhubungan dengan pendapat yang salah, bahwa pemerintahan (Gubernemen), sebagai pengganti radja Indonesia, akan menjadi pemilik semua tanah-tanah dengan menyewan tanah-tanah itu. Dengan menuntut sewaan yaitu padjak tanah (Landrente, dari bahasa Inggris, Landrent) Maka pendapatan Negara akan menjadi baik tercipta perekonomian liberal.
Sistem ini yang kemudian dipakai oleh pemerintahan Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali kepada mereka dan berlaku sampai tahun 1830. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Raffles mengandung maksud yang luas. Sistem tersebut dimaksudkan  untuk membebaskan beban kehidupan dari penderitaan penduduk,dan memeberikan kebebasan serta kepastian hokum atas tanah yang dimiliki oleh petani. Gagasan Sistem Sewa tanah ini dalam pelaksanaannya membawa akibat yang jauh. Sistem ini membawa perubahan-perubahan yang penting. Unsur-unsur paksaan diganti dengan unsure kebebasan, sukarela dan hubungan perjanjian atau kontrak. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat didasari oleh sifat kontrak. Sistem kontrak tersebut merupakan hal yang baru bagi penduduk tanah jajahan. Kehidupan ekonomi barang diganti dengan ekonomi uang.
Sistem sewa tanah ini dalam pelaksanaanya  tidak berlaku diseluruh daerah Jawa. Hanya di beberapa daerah saja yang dapat dilakukan, sedangkan di daerah lain masih dibiarkan melakukan sistem yang lama. Contohnya: di Daerah-daerah milik swasta (partikelir) yang ada sekitar Jakarta, dan di Parahyangan yang masih melakukan sistem tanam wajib. Ditanah Parahyangan, Inggris rupanya Enggan untuk menghapuskan sistem penanaman kopi yang telah berjalan sejak Zaman VOC. Sampai Tahun 1871 sistem ini masih menggunakan sistem lama bersifat feodal.
Di daerah sekitar Batavia dan Parahyangan pelaksanaan sistem sewa itu menimbulkan risiko-resiko Ekonomi yang kecil. Pemungutan pajak tanah atau Landrent menjamin diteruskanya prestasi karena pajak tanah tidak tidak berbeda dengan pengenalan wajib yang diperbaiki. Pajak tanah dikatakan mempunyai bentuk diperbaiki karena hal itu dimaksudkan untuk menghindari tingginya pungutan oleh para kepala partikelir. Pada Oktober 1813, Raffles mencoba memeperkenalkan sumber pendapatan pemerintahan dari pajak tanah (landrent). Pajak ini diharapakn dibayar dalam bentuk uang kontan hanya dalam keadaan terpaksa, Rakyat boleh menggantinya dngan hasil bumi. Khususnya padi. Sehubungan dengan itu dibedakan dua jenis mutu tanah dengan tingkat pajak yang berbeda pula, yaitu sawah dan tegalan. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, Kelas Dua 40%, Kelas Tiga 33%. Hasil tegalan kelas satu kena pajak 40%, Kelas dua 33%, dan Kelas Tiga 25%.
Raffles mencoba sistem fiskal baru, salah satu pertimbangannya adalah keberhasilan Inggris di India melaksanakan sistem serupa. Selain itu, mengumpulkan dan menyimpan hasil pajak berupa uang tentu lebih mudah. Daripada Hasil bumi yang penyerahanya masih dipaksa seperti dilakukan oleh belanda. Pertimbangan lain yang tidak kalah penting Belanda selalu tekor dengan sistem tersebut, Apalagi pada masa itu Raffles tahu bahwa hasil bumi bertumpuk di gudang. Pajak tanah ini cukup menarik masalahnya cocok tidaknya pola itu dengan susunan masyarakat Indonesia.
Masa pemerintahan Raffles tidak lama, karena dia mengalami banyak kesulitan. Keuangan Negara dan peggawai-pegawai yang cakap jumlahnya terbatas. Masyarakat Indonesia pada waktu itu berbeda dengan masyarakat India. Masyarakat India telah mengenal perdagangan ekspor yang ramai dan mengenal Ekonomi uang. Dalam abad 19 itu masyarakat dilihat hanya dapat memenuhi kebutuhanya sendiri dan tidak dapat untuk melaksanakan perdagangan.Ekonomi Desa belum memungkinkan untuk memeperoleh uang sebagai pengganti hasil bumi. Dilain pihak waktu itu belum ada pengukuran tanah milik penduduk secara tepat.Kebanyakan pemilikan tanah masih didasarkan pada warisan dapat setempat. Oleh karena itu pelaksanaan pemungutan pajak tanah atau sewa tanah   mengalami kesulitan.Pungutan terpaksa tidak dilakukan secara perseorangan tetapi secara kelompok desa.Pungutan itu dilakukan oleh para pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup. Usaha Raffles dala melaksanakan system sewa tanah ini gagal.
Walaupun Sistem Sewa tanah tersebut harus terdiri dari penghapusan sistem feodal, Namun Raffles mengikuti jejak Daendels, memeperluas tanah-tanah pertikelir dengan menjual tanah baru   yang terpaksa dilakukan oleh pemerintahanya. Yang paling terkenal dari pembaharuan Raffles berdasarkan kaidah-kaidah itu adalah pelaksanaan pajak tanah (Landrent). Hal ini terkenal  sebagian karena selama sekali berbeda dari pola belanda sebelumnya,yakni pengerahan hasil bumi secara paksa (contingenten) dari petani, sebagian lagi karena penguasa lokal, bahkan pejabat yang orang Eropa tidak boleh ikut campur   dalam pemungutan pajak tanah.


DAFTAR PUSTAKA



Notosusanto, Nugroho.1981.Sejarah Nasional Indonesia II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Burger Prajudi. 1962. Sedjarah Ekonomi Sosiologis Indonesia Djilid I. Prapanjaparamita: Jakarta.
Simbolon. Parakitri. 2006. Menjadi Indonesia. Buku kompas:  Jakarta.


No comments:

Post a Comment