Latar Belakang Kebijakan Raffles
Oleh Pemerintahan Inggris Jawa dijadikan bagian dari
jajahan India, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Gubernur di Indonesia,
Dia ingin mengadakan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Selain
dalam Bidang pemerintahan juga dalam bidang Ekonomi. Dalam Masa pemerintahanya (1811-1816)
Raffles mencoba kebijaksanaan-kebijaksanaannya salah satunya kebijaksanaanya
adalah Sistem Sewa Tanah. Karena Raffles
menganggap bahwa pemerintahan Kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di
daerah jajahan. Karena itu Raffles menganggap bahwa yang menggarap sawah adalah
penyewa dari tanah pemerintah. Oleh karena itu para petani mempunyai kewajiban
membayar sewa tanah kepada
pemerintahan. Sewa
Tanah atau Landrent itu harus diserahkan sebagai suatu pajak atas pemakaian
tanah pemerintah oleh pendududuk. Letnan Gubernur Thomas R.
Raffles mempekenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan.
Sistem Sewa Tanah(Landrent)
Sistem Sewa Tanah yang ditawarkan Raffles diajdikan suatu pegangan dalam menjalankan
kebijaksanaan ekonominya selama berkuasa di Indonesia.Menyewakan tanah-tanah
yang diawasi pemerintah secara langsung itu dalam persil-persil besar atau
kecil menurut keadaan setempat untuk waktu yang terbatas. Berhubungan dengan
pendapat yang salah, bahwa pemerintahan (Gubernemen), sebagai pengganti radja Indonesia,
akan menjadi pemilik semua tanah-tanah dengan menyewan tanah-tanah itu. Dengan
menuntut sewaan yaitu padjak tanah (Landrente, dari bahasa Inggris, Landrent)
Maka pendapatan Negara akan menjadi baik tercipta perekonomian liberal.
Sistem ini yang kemudian dipakai oleh pemerintahan
Belanda setelah Indonesia diserahkan kembali kepada mereka dan berlaku sampai
tahun 1830. Sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Raffles mengandung
maksud yang luas. Sistem tersebut dimaksudkan untuk membebaskan beban kehidupan dari
penderitaan penduduk,dan memeberikan kebebasan serta kepastian hokum atas tanah
yang dimiliki oleh petani. Gagasan Sistem Sewa tanah ini dalam pelaksanaannya
membawa akibat yang jauh. Sistem ini membawa perubahan-perubahan yang penting. Unsur-unsur
paksaan diganti dengan unsure kebebasan, sukarela dan hubungan perjanjian atau
kontrak. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat didasari oleh sifat kontrak. Sistem
kontrak tersebut merupakan hal yang baru bagi penduduk tanah jajahan. Kehidupan
ekonomi barang diganti dengan ekonomi uang.
Sistem sewa tanah ini dalam pelaksanaanya tidak berlaku diseluruh daerah Jawa. Hanya di
beberapa daerah saja yang dapat dilakukan, sedangkan di daerah lain masih
dibiarkan melakukan sistem yang lama. Contohnya: di Daerah-daerah milik swasta (partikelir)
yang ada sekitar Jakarta, dan di Parahyangan yang masih melakukan sistem tanam
wajib. Ditanah Parahyangan, Inggris rupanya Enggan untuk menghapuskan sistem
penanaman kopi yang telah berjalan sejak Zaman VOC. Sampai Tahun 1871 sistem
ini masih menggunakan sistem lama bersifat feodal.
Di daerah sekitar Batavia dan Parahyangan pelaksanaan sistem
sewa itu menimbulkan risiko-resiko Ekonomi yang kecil. Pemungutan pajak tanah
atau Landrent menjamin diteruskanya prestasi karena pajak tanah tidak tidak
berbeda dengan pengenalan wajib yang diperbaiki. Pajak tanah dikatakan
mempunyai bentuk diperbaiki karena hal itu dimaksudkan untuk menghindari
tingginya pungutan oleh para kepala partikelir. Pada Oktober 1813, Raffles
mencoba memeperkenalkan sumber pendapatan pemerintahan dari pajak tanah (landrent).
Pajak ini diharapakn dibayar dalam bentuk uang kontan hanya dalam keadaan terpaksa,
Rakyat boleh menggantinya dngan hasil bumi. Khususnya padi. Sehubungan dengan
itu dibedakan dua jenis mutu tanah dengan tingkat pajak yang berbeda pula, yaitu
sawah dan tegalan. Hasil sawah kelas satu dibebani 50% pajak, Kelas Dua 40%, Kelas
Tiga 33%. Hasil tegalan kelas satu kena pajak 40%, Kelas dua 33%, dan Kelas
Tiga 25%.
Raffles mencoba sistem fiskal baru, salah satu
pertimbangannya adalah keberhasilan Inggris di India melaksanakan sistem
serupa. Selain itu, mengumpulkan dan menyimpan hasil pajak berupa uang tentu
lebih mudah. Daripada Hasil bumi yang penyerahanya masih dipaksa seperti
dilakukan oleh belanda. Pertimbangan lain yang tidak kalah penting Belanda
selalu tekor dengan sistem tersebut, Apalagi pada masa itu Raffles tahu bahwa
hasil bumi bertumpuk di gudang. Pajak tanah ini cukup menarik masalahnya cocok
tidaknya pola itu dengan susunan masyarakat Indonesia.
Masa pemerintahan Raffles tidak lama, karena dia
mengalami banyak kesulitan. Keuangan Negara dan peggawai-pegawai yang cakap
jumlahnya terbatas. Masyarakat Indonesia pada waktu itu berbeda dengan
masyarakat India. Masyarakat India telah mengenal perdagangan ekspor yang ramai
dan mengenal Ekonomi uang. Dalam abad 19 itu masyarakat dilihat hanya dapat
memenuhi kebutuhanya sendiri dan tidak dapat untuk melaksanakan perdagangan.Ekonomi
Desa belum memungkinkan untuk memeperoleh uang sebagai pengganti hasil bumi. Dilain pihak waktu itu belum ada pengukuran tanah milik penduduk secara
tepat.Kebanyakan pemilikan tanah masih didasarkan pada warisan dapat setempat. Oleh
karena itu pelaksanaan pemungutan pajak tanah atau sewa tanah mengalami kesulitan.Pungutan terpaksa tidak
dilakukan secara perseorangan tetapi secara kelompok desa.Pungutan itu
dilakukan oleh para pejabat yang bertindak sewenang-wenang dan korup. Usaha
Raffles dala melaksanakan system sewa tanah ini gagal.
Walaupun Sistem Sewa tanah tersebut harus terdiri dari
penghapusan sistem feodal, Namun Raffles mengikuti jejak Daendels, memeperluas
tanah-tanah pertikelir dengan menjual tanah baru yang terpaksa dilakukan oleh pemerintahanya.
Yang paling terkenal dari pembaharuan Raffles berdasarkan kaidah-kaidah itu
adalah pelaksanaan pajak tanah (Landrent). Hal ini terkenal sebagian karena selama sekali berbeda dari
pola belanda sebelumnya,yakni pengerahan hasil bumi secara paksa (contingenten)
dari petani, sebagian lagi karena penguasa lokal, bahkan pejabat yang orang
Eropa tidak boleh ikut campur dalam
pemungutan pajak tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
Notosusanto, Nugroho.1981.Sejarah Nasional Indonesia II.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.
Burger Prajudi. 1962. Sedjarah Ekonomi Sosiologis
Indonesia Djilid I. Prapanjaparamita: Jakarta.
Simbolon. Parakitri. 2006. Menjadi Indonesia. Buku kompas: Jakarta.
No comments:
Post a Comment