Hampir semua pengarang buku
Seni Rupa mengatakan bahwa mereka mendapat kesulitan untuk menerangkan secara
jelas dan tegas tentang Seni Rupa, terutama tentang Seni Lukis. Sebenarnya
seperti tidak mengherankan, karena seni paling tidak mengandung dua komponen
yang pokok, yaitu komponen rasio dan komponen emosi. Mereka mendapat kesulitan
karena disatu pihak untuk menelaah dan menerangkan Seni Rupa, mereka mengandung
komponen emosi, bahkan komponen emosi ini kadang-kadang lebih dominan.
Berbicara tentang emosi memerlukan kepekaan intuitif untuk mengungkapkannya,
bukan melalui ukuran rasional.[1]
Seni
dapat dijabarkan sebagai suatu keindahan. Sejarah kesenian berhubungan dengan
seni sebagai ilmu yang berkaitan dengan estetika dan dengan seni manusia diantarkan dari
dunia kegiatan manusia ke dunia keagungan estetika. Setiap manusia dapat
mengapresiasikan suatu karya seni. Untuk mengapresiasikan karya seni tidak
perlu membawa bekal apapun dari kehidupan kita, tanpa pengetahuan apapun
mengenai ide-ide serta masalah-masalahnya, tidak terbiasa dengan
emosi-emosinya.[2]
Ditinjau
dari segi historis, seni lukis sebenarnya sudah ada sejak zaman primitif.
Asumsi ini didasarkan pada penemuan peninggalan berupa hasil lukisan yang
digoreskan pada dinding gua. Lukisan-lukisan yang ditemukan pada zaman
prasejarah itu bisa dijadikan latar belakang perkembangan seni lukis modern.
Pertumbuhan seni lukis tidak hanya berhenti pada masa prasejarah saja, namun
berlanjut terus. Dengan adanya kesenian Mesir kuno yang kemudian disambung
dengan kesenian Mesopotamia dan kemudian lahir juga kesenian di Persia
merupakan gambaran perkembangan seni di dunia.
Yunani
Kuno muncul kesenian beraliran Naturalistis ideal yang dihiasai dengan
idealisasi. Menjelang masa Renaissance di Eropa, lahir pelukis bernama Giotto.
Lukisannya dimulai dengan objek-objek yang terlihat oleh mata dan ia juga mulai
melepaskan dari belenggu tradisi yang selama ini membelenggu masyarakat. Tahap
selanjutnya, Renaissance, seni rupa bersifat ilustratif. Lukisan-lukisan
tersebut menggambarkan menggambarkan peristiwa-peristiwa tertentu yang
bertemakan religi dan cerita-cerita mitologi. Seni lukis pada zaman Renaissance
ini mulai melepaskan diri dari seni yang bertemakan keagamaan.
Seperti
halnya suatu permainan, baik kreasi maupun apresiasi seni adalah aktivitas suka
rela.[3]
Seorang pelukis tidak dapat melukis dengan adanya paksaan. Tetapi mereka
melukis dengan menghayati pengalaman estetika yang pernah dia rasakan. Lukisan
yang bersifat ilustrasional adalah suatu lukisan yang hanya menggambarkan suatu
tema sejarah atau sastra yang memikat orang karena benda yang di tunjukan,
tetapi bukan memikat karena nilai yang dimilikinya sebagai seni.
Seorang
seniman itu membuat lukisan cuma buat dirinya sendiri, bukan buat orang lain.
Dengan demikian, sering kita jumpai seorang seniman terkadang mempunyai
perilaku yang aneh-aneh dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya. Seniman
yang membuat karya seni buat orang lain, bukanlah seorang seniman sejati. Seni
dibuat atas keterwakilannya terhadap dirinya sendiri, apa yang sedang dirasakan
jiwanya. Begitu pula seni lukis. Memang tak dipungkiri banyak bertebaran
seniman lukis di muka bumi ini, baik terorganisasi dan yang cuma personal, yang
melukis berdasarkan pesanannya seseorang. Hal itu akan mengakibatkan penurunan
dari kualitas lukisan.
Seni
yang hebat ditinjau dari aspek estetika, membuat seseorang masuk ke dalam
filalamen-filalamen seni. Bukankah untuk tujuan itu seni dibuat? Bagi lukisan,
arti objek dalam hidup tidak ada hubungannya dengan fungsinya atau
hubungan-hubungannya dalam kehidupan biasa. Apa itu pohon, anjing, tembok,
perahu? Kebanyakan pihak awam menilai baik atau buruknya suatu lukisan dengan
melihat bagus atau tidaknya lukisan itu. Mereka bisa menangkap keindahan yang
terdapat dalam lukisan itu, maka secara konsekuen mereka akan berkata bahwa
lukisan itu bagus. Tetapi, kalau yang terjadi sebaliknya (kurang mengerti
dengan lukisannya), secara otomatis mereka pasti berkata kurang begitu
berminat. Kenapa? Karena mereka tidak begitu paham letak keindahan dari lukisan
tersebut. Misalnya “Bagaimana
saya akan mengerti jika lukisan tersebut hanya berpola acak-acakan dan hanya
seperti corat-coretan anak kecil?”
Melihat
(menikmati) karya seni bukan cuma sekedar tahu saja apa yang sedang dilihat,
tetapi ketika sedang melihat karya seni jiwa kita akan dibawa melayang pada
suatu masa. Entah, dimana kita akan merasakan keindahan mendalam yang tak
terperi dalam hati, dan setiap orang itu akan berbeda sense of art-nya. Hal itu
banyak diperngaruhi pelbagai faktor, sebut saja: lingkungan, pengalaman,
pengetahuan, pribadi masing-masing dll, yang kesemuanya mampu untuk menjadikan
hidup lebih berwarna hanya karena modal akan kesenian.
No comments:
Post a Comment