Friday, November 11, 2016

Seni Lukis Dalam Seni Rupa

Hampir semua pengarang buku Seni Rupa mengatakan bahwa mereka mendapat kesulitan untuk menerangkan secara jelas dan tegas tentang Seni Rupa, terutama tentang Seni Lukis. Sebenarnya seperti tidak mengherankan, karena seni paling tidak mengandung dua komponen yang pokok, yaitu komponen rasio dan komponen emosi. Mereka mendapat kesulitan karena disatu pihak untuk menelaah dan menerangkan Seni Rupa, mereka mengandung komponen emosi, bahkan komponen emosi ini kadang-kadang lebih dominan. Berbicara tentang emosi memerlukan kepekaan intuitif untuk mengungkapkannya, bukan melalui ukuran rasional.[1]

Seni dapat dijabarkan sebagai suatu keindahan. Sejarah kesenian berhubungan dengan seni sebagai ilmu yang berkaitan dengan estetika dan dengan seni manusia diantarkan dari dunia kegiatan manusia ke dunia keagungan estetika. Setiap manusia dapat mengapresiasikan suatu karya seni. Untuk mengapresiasikan karya seni tidak perlu membawa bekal apapun dari kehidupan kita, tanpa pengetahuan apapun mengenai ide-ide serta masalah-masalahnya, tidak terbiasa dengan emosi-emosinya.[2]
Ditinjau dari segi historis, seni lukis sebenarnya sudah ada sejak zaman primitif. Asumsi ini didasarkan pada penemuan peninggalan berupa hasil lukisan yang digoreskan pada dinding gua. Lukisan-lukisan yang ditemukan pada zaman prasejarah itu bisa dijadikan latar belakang perkembangan seni lukis modern. Pertumbuhan seni lukis tidak hanya berhenti pada masa prasejarah saja, namun berlanjut terus. Dengan adanya kesenian Mesir kuno yang kemudian disambung dengan kesenian Mesopotamia dan kemudian lahir juga kesenian di Persia merupakan gambaran perkembangan seni di dunia.
Yunani Kuno muncul kesenian beraliran Naturalistis ideal yang dihiasai dengan idealisasi. Menjelang masa Renaissance di Eropa, lahir pelukis bernama Giotto. Lukisannya dimulai dengan objek-objek yang terlihat oleh mata dan ia juga mulai melepaskan dari belenggu tradisi yang selama ini membelenggu masyarakat. Tahap selanjutnya, Renaissance, seni rupa bersifat ilustratif. Lukisan-lukisan tersebut menggambarkan menggambarkan peristiwa-peristiwa tertentu yang bertemakan religi dan cerita-cerita mitologi. Seni lukis pada zaman Renaissance ini mulai melepaskan diri dari seni yang bertemakan keagamaan.
Seperti halnya suatu permainan, baik kreasi maupun apresiasi seni adalah aktivitas suka rela.[3] Seorang pelukis tidak dapat melukis dengan adanya paksaan. Tetapi mereka melukis dengan menghayati pengalaman estetika yang pernah dia rasakan. Lukisan yang bersifat ilustrasional adalah suatu lukisan yang hanya menggambarkan suatu tema sejarah atau sastra yang memikat orang karena benda yang di tunjukan, tetapi bukan memikat karena nilai yang dimilikinya sebagai seni.
Seorang seniman itu membuat lukisan cuma buat dirinya sendiri, bukan buat orang lain. Dengan demikian, sering kita jumpai seorang seniman terkadang mempunyai perilaku yang aneh-aneh dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya. Seniman yang membuat karya seni buat orang lain, bukanlah seorang seniman sejati. Seni dibuat atas keterwakilannya terhadap dirinya sendiri, apa yang sedang dirasakan jiwanya. Begitu pula seni lukis. Memang tak dipungkiri banyak bertebaran seniman lukis di muka bumi ini, baik terorganisasi dan yang cuma personal, yang melukis berdasarkan pesanannya seseorang. Hal itu akan mengakibatkan penurunan dari kualitas lukisan.
Seni yang hebat ditinjau dari aspek estetika, membuat seseorang masuk ke dalam filalamen-filalamen seni. Bukankah untuk tujuan itu seni dibuat? Bagi lukisan, arti objek dalam hidup tidak ada hubungannya dengan fungsinya atau hubungan-hubungannya dalam kehidupan biasa. Apa itu pohon, anjing, tembok, perahu? Kebanyakan pihak awam menilai baik atau buruknya suatu lukisan dengan melihat bagus atau tidaknya lukisan itu. Mereka bisa menangkap keindahan yang terdapat dalam lukisan itu, maka secara konsekuen mereka akan berkata bahwa lukisan itu bagus. Tetapi, kalau yang terjadi sebaliknya (kurang mengerti dengan lukisannya), secara otomatis mereka pasti berkata kurang begitu berminat. Kenapa? Karena mereka tidak begitu paham letak keindahan dari lukisan tersebut. Misalnya “Bagaimana saya akan mengerti jika lukisan tersebut hanya berpola acak-acakan dan hanya seperti corat-coretan anak kecil?
Melihat (menikmati) karya seni bukan cuma sekedar tahu saja apa yang sedang dilihat, tetapi ketika sedang melihat karya seni jiwa kita akan dibawa melayang pada suatu masa. Entah, dimana kita akan merasakan keindahan mendalam yang tak terperi dalam hati, dan setiap orang itu akan berbeda sense of art-nya. Hal itu banyak diperngaruhi pelbagai faktor, sebut saja: lingkungan, pengalaman, pengetahuan, pribadi masing-masing dll, yang kesemuanya mampu untuk menjadikan hidup lebih berwarna hanya karena modal akan kesenian.



[1]               Katjik Soetijpo. (1989). Sejarah Perkembangan Seni Lukis Modern. Dekdikbud: Jakarta. Halm 1
[2]               Projoto Setjoatmodjo Led.  (1988). Bacaan Tentang Estetika. Dekdikbud: Jakarta.
[3]               Ibid.

No comments:

Post a Comment