Pengertian drama & teater
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku,
bertindak, bereaksi dan sebagainya: dan “drama” berarti: perbuatan, tindakan.
Mengenai seni drama, terdapat beberapa pengertian yang mewakili arti dari drama
itu sendiri. Pertama, drama adalah
kualitas komunikasi, situasi, action (segala
yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada
pendengar dan penonton. Kedua, menurut
Moulton, drama adalah “hidup yang dilukiskan dengan gerak” (life presen in action).
Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam
drama kita melihat kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita
sendiri. Menurut Brander Mathews: konflik dari sifat manusia merupakan sumber
pokok drama. Menurut Ferdinand Brunetierre: drama haruslah melahirkan kehendak
manusia dengan action. Menurut
Balthazar Verhagen: drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia
dengan gerak. Arti yang ketiga, drama
adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada
pentas dengan menggunakan percakapan dan action
di hadapan penonton (audience).[1]
Terdapat berbagai jenis tafsiran orang yang mengartikan
teater sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikannya sebagai “panggung”
(stage). Secara estimologis (asal
kata), teater adalah gedung pertunjukan (auditorium).
Dalam arti luas: teater adalah segala
tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang,
ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong,
topeng, dagelan, sulapan, akrobatik dan sebagainya. Dalam arti sempit: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang
diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media percakapan,
gerak dan laku dengan atau tanpadekor (layer dan sebagainya), didasarkan pada
naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian dan
tari.[2]
Sejarah naskah & pentas
- Sebelum Abad ke-20: tak ada naskah dan pentas. Yang ada ialah
naskah-naskah cerita rakyat dan kisah-kisah yang turun-temurun disampaikan
secara lisan oleh ayah kepada anak. Drama-drama rakyat, istana, keagamaan,
di arena, di bawah atap atau lapangan terbuka
- Permulaan Abad ke-20: karena pengaruh drama barat dan cara pemanggungannya
(staging), timbul bentuk-bentuk drama baru: komedi stambul/ istana/
bangsawan, tonil opera, wyang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain. Tidak
menggunakan naskah (improvisatoris), tetapi menggunakan pentas:
panggungnya berbingkai
- Zaman Pujangga Baru: muncul naskah drama asli yang dipakai oleh
pementasan amatir. Rombongan professional tidak menggunakannya.
- Zaman Jepang: sensor Sendebu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan
professional terpaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget
karena terdiri atas kaum terpelajar. Bagi para professional merupakan
kemajuan, namun sayang karena keinsyafan.
- Zaman Kini: rombongan professional membuang naskah kembali. Organisasi amatir
setia pada naskah, sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur atau
penyalinnya.
Drama saat
ini
Setelah kemerdekaan, muncul dimana-mana di seluruh
pelosok tanah air perkumpulan drama amatir, baik itu kaum awam, setengah awam,
maupun ahli. Sedangkan masalah mengenai drma akan berkisar pada hal-hal
berikut: pertama, naskah. Pementasan
yang berulang-ulang dirasa kurang adanya senthan repertoar asing. Maka naskah
ditambah dengan bumbu repertoar asing dalam proses salinan dan saduran. Kedua, pemain: banyak pementasan yang
mengalami kegagalan. Karena kurangnya latihan ataupun hanya ingin jual tampang
plus minimnya usia dan pengalaman, menjadi hambatan bagi pementasan. Ketiga, stage: di Indonesia telah
bermunculan pelbagai gedung-gedung pertunjukan. Di sini peran dari tempat
teater akan menentukan watak pertunjukan itu sendiri. Keempat, penonton: masyarakat cukup mempunyai minat. Hal ini yang
mendorong munculnya berbagai perkumpulan drama.[3]
Bentuk-bentuk teater
- Yang lahir dalam lingkungan desa: kegiatannya yang terikat erat oleh persoalan
kehidupan sehari-hari dalam desa, yaitu adat dan agama. Contoh: pada
kehidupan teater Bali.
- Yang lahir di Keraton: pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu
dan para pelakunya adalah keluarga bangsawan.
- Yang tumbuh di kota-kota: ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya
kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan
baru.
- Yang diberi predikat madern atau kontemporer: ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe
namun sebagai individu.
Pembelajaran teater
Dalam mempelajari teater dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni:
- Identitas: aspek identitas dapat dimisalkan dengan: apa yang dimaksudkan, bagaimana
cara penyebarannya, berapa usianya dan sebagainya
- Fungsi: aspek fungsi dapat dicontohkan dengan: apa guna teater rakyat bagi
kehidupan bermasyarakat penduduknya, mengapa orang senang senang berperan
di dalamnya, mengapa ada orang yang senang menontonnya dan sebagainya.
Teater rakyat dan setengah lusin pada umumnya, mempunyai
banyak sekali fungsi bagi kehidupan bermasyarakat orang Indonesia. Beberapa
diantaranya yang paling umum adalah: sebagai alat pendidikan anggota
masyarakat, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektiva, sebagai alat
yang memungkinkan seseorang biasa bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap
orang yang menyeleweng, sebagai alat untuk mengeluarkan protes terhadap suatu
ketidakadilan, memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melarikan diri untuk
sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah
dal lain-lain.[4]
[1] RMA.
Harymawan, Dramaturgi, (Bandung: CV. Rosda,
1988), hlm, 1-2
[4] James
Danandjaj, Fungsi Teater Rakyat bagi
Kehidupan Masyarakat Indonesia: Ketoprak/ Dagelan Siswo Budoyo sebagai Suatu
Kasusu Studi), yang dirangkum dalam:
Seni Dalam Masyarakat Indonesia: Suatu
Bunga Rampai, editor: Edi Sedyawati & Supardi Djoko Damono, (Jakarta:
Gramedia, 1983), hlm, 80-81
No comments:
Post a Comment