Friday, November 11, 2016

Sejarah Performence Art (Drama n Teater)

Pengertian drama & teater
Kata drama berasal dari bahasa Yunani draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi dan sebagainya: dan “drama” berarti: perbuatan, tindakan. Mengenai seni drama, terdapat beberapa pengertian yang mewakili arti dari drama itu sendiri. Pertama, drama adalah kualitas komunikasi, situasi, action (segala yang terlihat dalam pentas) yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting), dan ketegangan pada pendengar dan penonton. Kedua, menurut Moulton, drama adalah “hidup yang dilukiskan dengan gerak” (life presen in action).
Jika buku roman menggerakkan fantasi kita, maka dalam drama kita melihat kehidupan manusia diekspresikan secara langsung di muka kita sendiri. Menurut Brander Mathews: konflik dari sifat manusia merupakan sumber pokok drama. Menurut Ferdinand Brunetierre: drama haruslah melahirkan kehendak manusia dengan action. Menurut Balthazar Verhagen: drama adalah kesenian melukiskan sifat dan sikap manusia dengan gerak. Arti yang ketiga, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog, yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan action di hadapan penonton (audience).[1]

Terdapat berbagai jenis tafsiran orang yang mengartikan teater sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikannya sebagai “panggung” (stage). Secara estimologis (asal kata), teater adalah gedung pertunjukan (auditorium). Dalam arti luas: teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Misalnya wayang orang, ketoprak, ludruk, srandul, membai, randai, mayong, arja, rangda, reog, lenong, topeng, dagelan, sulapan, akrobatik dan sebagainya. Dalam arti sempit: drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media percakapan, gerak dan laku dengan atau tanpadekor (layer dan sebagainya), didasarkan pada naskah yang tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik, nyanyian dan tari.[2]
  
Sejarah naskah & pentas
  1. Sebelum Abad ke-20: tak ada naskah dan pentas. Yang ada ialah naskah-naskah cerita rakyat dan kisah-kisah yang turun-temurun disampaikan secara lisan oleh ayah kepada anak. Drama-drama rakyat, istana, keagamaan, di arena, di bawah atap atau lapangan terbuka
  2. Permulaan Abad ke-20: karena pengaruh drama barat dan cara pemanggungannya (staging), timbul bentuk-bentuk drama baru: komedi stambul/ istana/ bangsawan, tonil opera, wyang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain. Tidak menggunakan naskah (improvisatoris), tetapi menggunakan pentas: panggungnya berbingkai
  3. Zaman Pujangga Baru: muncul naskah drama asli yang dipakai oleh pementasan amatir. Rombongan professional tidak menggunakannya.
  4. Zaman Jepang: sensor Sendebu sangat keras, diharuskan menggunakan naskah. Rombongan professional terpaksa belajar membaca. Perkumpulan amatir tidak kaget karena terdiri atas kaum terpelajar. Bagi para professional merupakan kemajuan, namun sayang karena keinsyafan.
  5. Zaman Kini: rombongan professional membuang naskah kembali. Organisasi amatir setia pada naskah, sayang sering mengabaikan pengarang, penyadur atau penyalinnya.

Drama saat ini
Setelah kemerdekaan, muncul dimana-mana di seluruh pelosok tanah air perkumpulan drama amatir, baik itu kaum awam, setengah awam, maupun ahli. Sedangkan masalah mengenai drma akan berkisar pada hal-hal berikut: pertama, naskah. Pementasan yang berulang-ulang dirasa kurang adanya senthan repertoar asing. Maka naskah ditambah dengan bumbu repertoar asing dalam proses salinan dan saduran. Kedua, pemain: banyak pementasan yang mengalami kegagalan. Karena kurangnya latihan ataupun hanya ingin jual tampang plus minimnya usia dan pengalaman, menjadi hambatan bagi pementasan. Ketiga, stage: di Indonesia telah bermunculan pelbagai gedung-gedung pertunjukan. Di sini peran dari tempat teater akan menentukan watak pertunjukan itu sendiri. Keempat, penonton: masyarakat cukup mempunyai minat. Hal ini yang mendorong munculnya berbagai perkumpulan drama.[3]

Bentuk-bentuk teater
  1. Yang lahir dalam lingkungan desa: kegiatannya yang terikat erat oleh persoalan kehidupan sehari-hari dalam desa, yaitu adat dan agama. Contoh: pada kehidupan teater Bali.
  2. Yang lahir di Keraton: pertunjukan dilakukan pada upacara-upacara tertentu dan para pelakunya adalah keluarga bangsawan.
  3. Yang tumbuh di kota-kota: ia lahir dari kebutuhan yang timbul dengan tumbuhnya kelompok-kelompok baru dalam masyarakat dan sebagai produk dari kebutuhan baru.
  4. Yang diberi predikat madern atau kontemporer: ia menampilkan peranan manusia bukan sebagai tipe namun sebagai individu.

Pembelajaran teater
Dalam mempelajari teater dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:
  1. Identitas: aspek identitas dapat dimisalkan dengan: apa yang dimaksudkan, bagaimana cara penyebarannya, berapa usianya dan sebagainya
  2. Fungsi: aspek fungsi dapat dicontohkan dengan: apa guna teater rakyat bagi kehidupan bermasyarakat penduduknya, mengapa orang senang senang berperan di dalamnya, mengapa ada orang yang senang menontonnya dan sebagainya.
Teater rakyat dan setengah lusin pada umumnya, mempunyai banyak sekali fungsi bagi kehidupan bermasyarakat orang Indonesia. Beberapa diantaranya yang paling umum adalah: sebagai alat pendidikan anggota masyarakat, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektiva, sebagai alat yang memungkinkan seseorang biasa bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap orang yang menyeleweng, sebagai alat untuk mengeluarkan protes terhadap suatu ketidakadilan, memberikan kesempatan bagi seseorang untuk melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah dal lain-lain.[4]



[1] RMA. Harymawan, Dramaturgi, (Bandung: CV. Rosda, 1988), hlm, 1-2
[2] ibid
[3] ibid., hlm5-8
[4] James Danandjaj, Fungsi Teater Rakyat bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia: Ketoprak/ Dagelan Siswo Budoyo sebagai Suatu Kasusu Studi), yang  dirangkum dalam: Seni Dalam Masyarakat Indonesia: Suatu Bunga Rampai, editor: Edi Sedyawati & Supardi Djoko Damono, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm, 80-81

No comments:

Post a Comment