Sunday, November 13, 2016

Seni Kriya: Pergumulan Mitos dan Mistis

“Dahulu, ia (seni) tampak sebagai agama, lalu pikiran dan akalpun dihipostatisirnya.”
Clement Greenberg


Meski seni kriya adalah bagian dari seni rupa, namun ada ketidaksamaan mendasar yang membedakan keduanya: seni rupa lebih menitikberatkan pada nilai estetikanya, sedangkan seni kriya lebih mengedepankan aspek fungsinya. Maka itulah, seni kriya sangat membutuhkan unsur kenyamanan sehingga nilai fungsinya dapat terpenuhi dengan baik.


Seni kriya yang berkembang di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri di masing-masing daerah. Tradisi seni kerajinan daerah ini berkembang setelah berkenalan dengan kebudayaan asing: Cina, India, Parsi.  Laju perkembangan seni kriya daerah tidaklah serupa. Di suatu daerah, seni kerajinan masih merupakan suatu bentuk kreatifitas kaum petani. Berbeda dengan jenis seni kerajinan yang berkembang di lingkungan pusat kerajaan. Lahirlah jenis seni kerajinan dalam bentuk klasik yang dituntut oleh segala pedoman dan peraturan seni yang tidak dapat dilepaskan tugas-tugas kegunaannya sebagai benda kebesaran adat istana.

Pada masa Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara terbagi atas kasta-kasta yang menunjukkan strata sosialnya. Ada satu golongan masyarakat yang di dalamnya terdapat orang-orang yang bergerak di bidang perdagangan dan usaha. Termasuk di dalamnya terdapat yang eksis di kerja-kerja seni, seperti: pandai besi, tukang kayu, pembuat periuk belanga, dan seterusnya.  Di dalam prasasti perunggu yang ditemukan di desa Sideteka (Mojokerto), disebut beberapa jenis pandai ialah pande wsi (pandai besi), pande dang (berasal dari kata dandang: tempat untuk menanak nasi), pande mas (perajin emas), pande gangsa (pembuat gamelan), serta undahagi (tukang kayu).

Seni kriya, dalam hubungannya dengan sejarah Nusantara, sangat erat berkaitan dengan mitos dan mistik. Misalnya, karya seni kerajinan yang dihasilkan di lingkungan istana memiliki nilai-nilai kepercayaan dan agama yang sangat kuat. Setiap jenis motif hias dari seni kerajinan tradisional ini memiliki arti perlambangan sesuai dengan kegunaannya. Lagi-lagi ini akan bermuara kembali kepada esensi seni kriya, yang lebih mengutamakan aspek guna (fungsi).

Nilai seni disesuaikan dengan tata hidup masyarakat, termasuk kepercayaannya. Oleh karena itu, hasil seni yang dihasilkan serasi dengan pola hidup yang mengacu pada aturan dari nenek moyang secara temurun. Ini menyebabkan sangat sulit untuk membedakan antara benda-benda sebagai media ritual dan yang hanya sebagai alat sehari-hari saja. Karena sering benda yang peralatan harian tetapi ketika ia semakin tipis dari penyimpanan maka berubah fungsi sebagai benda pusaka.

Pengertian benda pusaka tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan asli bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kekuatan gaib. Kepercayaan kepada benda-benda yang berkekuatan gaib sudah ada sejak zaman pra-sejarah dan masih bertahan terus pada zaman Hindu, Buddha, bahkan Islam. Sekalipun pada dasarnya Islam tidak membenarkan kepercayaan tersebut, namun alam pikiran untuk memandang benda milik raja mengandung kekuatan gaib dan bertuah masih tetap bertahan di kalangan masyarakat.

Sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, istana menjadi pusat kegiatan seni dan budaya. Seni kriya yang dihasilkan antara lain berupa berbagai peralatan senjata, gamelan, wayang, dan sebagainya. Hasil kerajinan ini tidak sedikit yang bermutu seni, yang karena pernah milik kerajaan, selalu dipandang bertuah dan keramat.

Kebiasaan dalam menghasilkan benda-benda seni kerajaan yang dianggap keramat ini kemudian diteruskan pada masa kerajaan Islam. Tidak jarang diberitakan dalam sejarah adanya benda kerajinan hasil karya para Wali atau raja Islam yang masih tersimpan dalam masjid atau kraton lama yang dipandang sebagai benda pusaka dan selalu dipelihara melalui upacara-upacara kebesaran yang bertepatan dengan peringatan hari besar dalam agama Islam.

Jika dilihat dari segi karya seni, benda-benda pusaka tersebut termasuk jenis seni kriya Indonesia yang tidak memiliki ciri khas Islam. Sebaliknya, sebagian besar dari benda pusaka tersebut merupakan hasil perkembangan dari seni pada zaman pra Islam, baik secara teknis maupun estetis. Di zaman Islam, para senimannya berusaha untuk menyempurnakan apa yang sudah dicapai sebelumnya.   

Daftar Pustaka:
Kusnadi, dkk. Sejarah Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1979.
Prandjoto Setjoatmojo. Bacaan Pilihan tentang Estetika. Depdikbud, 1988.
Sudarso, SP. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: BP ISI, 1991.
Sudjoko. Pengantar Seni Rupa. Jakarta: Departemen  Pendidikan Nasional, 2001.


No comments:

Post a Comment