“Dahulu, ia (seni) tampak sebagai agama, lalu pikiran dan akalpun
dihipostatisirnya.”
Clement Greenberg
Meski seni kriya adalah bagian dari seni rupa, namun ada ketidaksamaan
mendasar yang membedakan keduanya: seni rupa lebih menitikberatkan pada nilai
estetikanya, sedangkan seni kriya lebih mengedepankan aspek fungsinya. Maka
itulah, seni kriya sangat membutuhkan unsur kenyamanan sehingga nilai fungsinya
dapat terpenuhi dengan baik.
Seni kriya yang berkembang di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri di
masing-masing daerah. Tradisi seni kerajinan daerah ini berkembang setelah
berkenalan dengan kebudayaan asing: Cina, India, Parsi. Laju perkembangan seni kriya daerah tidaklah
serupa. Di suatu daerah, seni kerajinan masih merupakan suatu bentuk
kreatifitas kaum petani. Berbeda dengan jenis seni kerajinan yang berkembang di
lingkungan pusat kerajaan. Lahirlah jenis seni kerajinan dalam bentuk klasik
yang dituntut oleh segala pedoman dan peraturan seni yang tidak dapat
dilepaskan tugas-tugas kegunaannya sebagai benda kebesaran adat istana.
Pada masa Hindu-Buddha, masyarakat Nusantara terbagi atas kasta-kasta yang
menunjukkan strata sosialnya. Ada satu golongan masyarakat yang di dalamnya
terdapat orang-orang yang bergerak di bidang perdagangan dan usaha. Termasuk di
dalamnya terdapat yang eksis di kerja-kerja seni, seperti: pandai besi, tukang
kayu, pembuat periuk belanga, dan seterusnya.
Di dalam prasasti perunggu yang ditemukan di desa Sideteka (Mojokerto),
disebut beberapa jenis pandai ialah pande
wsi (pandai besi), pande dang (berasal
dari kata dandang: tempat untuk
menanak nasi), pande mas (perajin
emas), pande gangsa (pembuat gamelan), serta undahagi (tukang kayu).
Seni kriya, dalam hubungannya dengan sejarah Nusantara, sangat erat
berkaitan dengan mitos dan mistik. Misalnya, karya seni kerajinan yang
dihasilkan di lingkungan istana memiliki nilai-nilai kepercayaan dan agama yang
sangat kuat. Setiap jenis motif hias dari seni kerajinan tradisional ini
memiliki arti perlambangan sesuai dengan kegunaannya. Lagi-lagi ini akan bermuara kembali kepada esensi seni kriya, yang lebih
mengutamakan aspek guna (fungsi).
Nilai seni disesuaikan dengan tata hidup masyarakat, termasuk
kepercayaannya. Oleh karena itu, hasil seni yang dihasilkan serasi dengan pola
hidup yang mengacu pada aturan dari nenek moyang secara temurun. Ini
menyebabkan sangat sulit untuk membedakan antara benda-benda sebagai media
ritual dan yang hanya sebagai alat sehari-hari saja. Karena sering benda yang
peralatan harian tetapi ketika ia semakin tipis dari penyimpanan maka berubah
fungsi sebagai benda pusaka.
Pengertian benda pusaka tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan asli
bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan kekuatan gaib. Kepercayaan kepada
benda-benda yang berkekuatan gaib sudah ada sejak zaman pra-sejarah dan masih
bertahan terus pada zaman Hindu, Buddha, bahkan Islam. Sekalipun pada dasarnya
Islam tidak membenarkan kepercayaan tersebut, namun alam pikiran untuk
memandang benda milik raja mengandung kekuatan gaib dan bertuah masih tetap
bertahan di kalangan masyarakat.
Sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha, istana menjadi pusat kegiatan seni dan
budaya. Seni kriya yang dihasilkan antara lain berupa berbagai peralatan
senjata, gamelan, wayang, dan sebagainya. Hasil kerajinan ini tidak sedikit
yang bermutu seni, yang karena pernah milik kerajaan, selalu dipandang bertuah
dan keramat.
Kebiasaan dalam menghasilkan benda-benda seni kerajaan yang dianggap
keramat ini kemudian diteruskan pada masa kerajaan Islam. Tidak jarang
diberitakan dalam sejarah adanya benda kerajinan hasil karya para Wali atau
raja Islam yang masih tersimpan dalam masjid atau kraton lama yang dipandang
sebagai benda pusaka dan selalu dipelihara melalui upacara-upacara kebesaran
yang bertepatan dengan peringatan hari besar dalam agama Islam.
Jika dilihat dari segi karya seni, benda-benda pusaka tersebut termasuk
jenis seni kriya Indonesia yang tidak memiliki ciri khas Islam. Sebaliknya,
sebagian besar dari benda pusaka tersebut merupakan hasil perkembangan dari
seni pada zaman pra Islam, baik secara teknis maupun estetis. Di zaman Islam,
para senimannya berusaha untuk menyempurnakan apa yang sudah dicapai
sebelumnya.
Daftar Pustaka:
Kusnadi, dkk. Sejarah
Seni Rupa di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1979.
Prandjoto Setjoatmojo. Bacaan Pilihan tentang Estetika. Depdikbud, 1988.
Sudarso, SP. Beberapa
Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: BP ISI, 1991.
Sudjoko. Pengantar
Seni Rupa. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, 2001.
No comments:
Post a Comment