Seperti halnya dengan sejarah, kebudayaan akan melaju dengan
seiiringnya jalnnya waktu. Kebudayaan lama akan runtuh dengan digantinya
kebudayaan baru.[1] Dengan kata
lain, semua perubahan tersebut memberi arti lain: kehidupan dengan menegaskan
fungsinya dalam hubungannya dengan tujuan dari hidup itu sendiri. Seperti kata
Koentjaraningrat: “Alam, kemajuan, dan perkembangan akal manusia sangat besar
peranannya dalam pertumbuhan budaya.”[2]
Demikian pula dengan salah satu unsur kebudayaan Indonesia, seni
tari, yang juga mulai menggeliat dengan perkembangan di dalamnya untuk
memperkaya dan memperindah khasanah budaya Nusantara. Perkembangan yang
menumbuh pada seni tari di Indonesia menyiratkan pengertian suatu perubahan
yang dapat dipahami terutama dalam pengertian dasar-dasar estetis, yakni suatu
penciptaan, pembaharuan dengan kreativitas menmbah ataupun memperkaya tanpa
meninggalkan nilai-nilai tradisi yang telah ada. Faktor yang penting bahwa
sesuatu itu berkembang setelah adanya kebutuhan sosial yang menghendaki suatu
bentuk, struktur, pola, atau sistem yang baru, karena apa yang telah ada
dianggap tidak lagi memadai atau tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan.[3]
Mulanya, istana merupakan pusat seni tari yang semakin tahun
kian berkembang. Kesenian tari di istana begitu terpelihara dengan baik dan
tari menjadi seni yang hidup dan tumbuh. Namun, sejak tari berhenti dari
istana, maka perkembangan pusat-pusat tari itu bergeser ke wadah-wadah
organisasi kesenian, termasuk di dalamnya jalur pendidikan formal.
Beberapa peristiwa yang patut dicatat sehubungan dengan usaha-usaha
mengembangkan seni tari melalui jalur kegiatan pendidikan formal adalah:
1. Dekade
1950-1960
Dialog yang terjadi antara seniman-seniman pada Jawatan Kebudayaan
tidak sempat berkembang karena sikap
seniman yang nampaknya kurang menghendaki pengelolaan kesenian sebagai kegiatan
studi di perguruan tinggi ke arah pendidikan kesarjanaan.
2. Dekade
1960-1970
Konservatori Tari Indonesia berdiri dalam program tiga tahun
setingkat Sekolah Menengah Tingkat Atas.[4] Sedangkan
Akademi Seni Tari Indonesia berdiri di Yogyakarta disusul pendirian ASTI di
Bali dan di Bandung. Semua sekolah seni tari ini di bawah pengelolaan Dirjen
Kebudayaan.
3. Dekade 1970-1980
Pengelolaan Sekolah dan Akademi tari kemudian dialihkan kepada
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan ASTI kepada Dirjen Pendidikan
Tinggi.
4. Dekade
1980- ...
Pemantapan akademi-akademi kesenian untuk dikembangkan sebagai
bagian dalam wadah Institut Kesenian Indonesia untuk memberkan kemungkinan
perkembangan lebih luas dan tingkat yang lebih lanjut. Selain itu juga mulai
dibukanya program Diploma kependidikan pada Insititut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan seperti di Yogyakarta, Surabaya, dan Solo.
Dari kenyataan
tersebut di atas, tampaklah bahwa pendidikan tinggi tari tidaklah terkait
secara langsung dengan Universitas/Institut dalam program kesarjanaan, sehingga
studi tari yang berkembang melalui disiplin-disiplin ilmu sosial maupun
humaniora tidak dapat berkembang. [5] namun,
bagaimanapun juga, upaya-upaya untuk menyelenggarakan kegiatan berseni tari
dalam jalur formal merupakan langkah baru guna melestarikan seni tari di
Indonesia.
[1] Soedarso S.P, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Seni Kita, (Yogyakarta: BP
ISI, 1991), hlm, 97
[2] Soedarsono (ed.), Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa, (Jakarta: Depdikbud, 1986),
hlm, 21
[4] Ben Suharto, Tari:
Analisa Bentuk, Gaya, dan Isi Sebagai Penunjang Proses Kreatif, (Yogyakarta:
Acara Produksi Bentara Budaya, 1983), hlm, 3
No comments:
Post a Comment