Sunday, November 13, 2016

Sejarah Singkat Seni Tari

         Seperti halnya dengan sejarah, kebudayaan akan melaju dengan seiiringnya jalnnya waktu. Kebudayaan lama akan runtuh dengan digantinya kebudayaan baru.[1] Dengan kata lain, semua perubahan tersebut memberi arti lain: kehidupan dengan menegaskan fungsinya dalam hubungannya dengan tujuan dari hidup itu sendiri. Seperti kata Koentjaraningrat: “Alam, kemajuan, dan perkembangan akal manusia sangat besar peranannya dalam pertumbuhan budaya.”[2]

Demikian pula dengan salah satu unsur kebudayaan Indonesia, seni tari, yang juga mulai menggeliat dengan perkembangan di dalamnya untuk memperkaya dan memperindah khasanah budaya Nusantara. Perkembangan yang menumbuh pada seni tari di Indonesia menyiratkan pengertian suatu perubahan yang dapat dipahami terutama dalam pengertian dasar-dasar estetis, yakni suatu penciptaan, pembaharuan dengan kreativitas menmbah ataupun memperkaya tanpa meninggalkan nilai-nilai tradisi yang telah ada. Faktor yang penting bahwa sesuatu itu berkembang setelah adanya kebutuhan sosial yang menghendaki suatu bentuk, struktur, pola, atau sistem yang baru, karena apa yang telah ada dianggap tidak lagi memadai atau tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan.[3]
Mulanya, istana merupakan pusat seni tari yang semakin tahun kian berkembang. Kesenian tari di istana begitu terpelihara dengan baik dan tari menjadi seni yang hidup dan tumbuh. Namun, sejak tari berhenti dari istana, maka perkembangan pusat-pusat tari itu bergeser ke wadah-wadah organisasi kesenian, termasuk di dalamnya jalur pendidikan formal.
Beberapa peristiwa yang patut dicatat sehubungan dengan usaha-usaha mengembangkan seni tari melalui jalur kegiatan pendidikan formal adalah:
1. Dekade 1950-1960
Dialog yang terjadi antara seniman-seniman pada Jawatan Kebudayaan  tidak sempat berkembang karena sikap seniman yang nampaknya kurang menghendaki pengelolaan kesenian sebagai kegiatan studi di perguruan tinggi ke arah pendidikan kesarjanaan.
2. Dekade 1960-1970
Konservatori Tari Indonesia berdiri dalam program tiga tahun setingkat Sekolah Menengah Tingkat Atas.[4] Sedangkan Akademi Seni Tari Indonesia berdiri di Yogyakarta disusul pendirian ASTI di Bali dan di Bandung. Semua sekolah seni tari ini di bawah pengelolaan Dirjen Kebudayaan.
3. Dekade 1970-1980
Pengelolaan Sekolah dan Akademi tari kemudian dialihkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, sedangkan ASTI kepada Dirjen Pendidikan Tinggi.
4. Dekade 1980- ...
Pemantapan akademi-akademi kesenian untuk dikembangkan sebagai bagian dalam wadah Institut Kesenian Indonesia untuk memberkan kemungkinan perkembangan lebih luas dan tingkat yang lebih lanjut. Selain itu juga mulai dibukanya program Diploma kependidikan pada Insititut Keguruan dan Ilmu Pendidikan seperti di Yogyakarta, Surabaya, dan Solo.
            Dari kenyataan tersebut di atas, tampaklah bahwa pendidikan tinggi tari tidaklah terkait secara langsung dengan Universitas/Institut dalam program kesarjanaan, sehingga studi tari yang berkembang melalui disiplin-disiplin ilmu sosial maupun humaniora tidak dapat berkembang. [5] namun, bagaimanapun juga, upaya-upaya untuk menyelenggarakan kegiatan berseni tari dalam jalur formal merupakan langkah baru guna melestarikan seni tari di Indonesia.




[1] Soedarso S.P, Beberapa Catatan tentang Perkembangan Seni Kita, (Yogyakarta: BP ISI, 1991), hlm, 97
[2] Soedarsono (ed.), Kesenian, Bahasa, dan Folklor Jawa, (Jakarta: Depdikbud, 1986), hlm, 21
[3] Ibid., hlm. 98.
[4] Ben Suharto, Tari: Analisa Bentuk, Gaya, dan Isi Sebagai Penunjang Proses Kreatif, (Yogyakarta: Acara Produksi Bentara Budaya, 1983), hlm, 3
[5] Ibid., hlm.4.

No comments:

Post a Comment