Friday, November 11, 2016

Perkembangan Seni Rupa dalam Memberi Warna Dunia

“Seni Rupa Indonesia, seperti pula jenis seni-seni lainnya
 berkembang melalui proses yang sangat panjang.
 Perkembangan dari zaman ke zaman
 telah melalui banyak gesekan.
Baik gesekan peradaban, gesekan kepentingan,
gesekan pemikiran atau bahkan gesekan fisik
 antar sesama seniman itu sendiri”

Pendahuluan

Aliran tua (Klasik) lebih dikenal dengan sifat atau aliran seni yang “kaku” atau “kolot”. Aliran ini lebih menekankan kaidah-kaidah baku terhadap karya-karya seninya. Misalkan saja era klasik, seluruh hasil dari seni rupa berbentuk sama dengan aslinya (seragam). Jika patung ya bentuknya lebih manusiawi—bahkan patung dewa sekalipun. Jika lukisan maka akan berbentuk seperti aslinya. Bahkan Tony Buzan dalam bukunya “Sepuluh Cara Jadi Orang yang Jenius Kreatif”, memaparkan Leonardo Da Vinci dan Michael Angelo membuat gambar hewan dan manusia dengan menggunakan ukuran sebenarnya yang dikecilkan. Aliran Naturalis adalah klasik yang masih ada hingga sekarang dan akan terus ada hingga kapanpun. Aliran ini lebih menekankan hasil seni dengan “penempakan” sewajarnya dari objek imajinasi sang seniman.

   Perkembangan selanjutnya seni rupa melahirkan bentuk-bentuk yang baru, yang lebih dikenal dengan aliran baru (modern). Sebenarnya kemunculan aliran modern ini bukan bermaksud atau bahkan menyaingi keberadaaan aliran klasik, namun sebuah kebosanan membuat para seniman muda melakukan “pemberontakan” ide, akibat kemonotonan dan kebakuan dari aliran klasik. Juga mereka menginginkan sesuatu yang lain, sesuatu yang fresh—yang tidak membuat dirinya terkekang oleh kebakuan, yang lebih mewakili gejolak yang ada di dalam jiwanya. Yang pada akhirnya kemudian melahirkan kaidah-kaidah baru dalam seni, khususnya seni rupa.
Kubisme, Abstrak dan beberapa macam aliran lainnya jika boleh disebut merupakan bentuk dari “pemberontakan” ide tersebut. Toh, biarpun disebut memberontak (menyimpang dari kaidah-kaidah yang seharusnya), karya-karya mereka tetaplah bagus. Namun, tidak hanya itu saja mereka tetap bisa membuat karya yang berpatok pada kaidah tatanan seni rupa klasik, hanya saja mereka (para seniman) lebih memilih kecenderungan jiwanya.

Aliran Modern dalam Seni Rupa
   Bentuk patung, lukisan, atau benda-benda di dalam suatu pameran sangat sukar dicerna artinya oleh orang awam. Bentuk rongsokan, sepeda yang dibalut dengan Koran bekas, cat tumpah ke lantai atau dinding yang dicorat-coret dengan cat adalah bagian dari suatu bentuk seni rupa yang ingin disampaikan oleh sang seniman. Jangankan orang awam, para ahlipun terkadang masih meraba-raba makna di balik sebuah karya seni. Sebenarnya dalam memaknai seni, setiap orang berhak memaknainya dalam pelbagai sudut pandang (paradigma), namun—lagi-lagi terkait dengan kaidah teoritis memaknai seni, memang ada teori untuk memahaminya. Cuma orang yang orang-orang ndao yang secara bebas-bebas saja yang menganalisis seni tanpa teori. Atau jangan-jangan orang-orang yang mengaku mempunyai teori-teori seni itu cuma sok-sok-an saja mengerti seni, toh hal tersebut mudah dilakukan dan siapapun pasti bisa melakukan itu.
Contohnya sewaktu pameran seni rupa di Taman Ismail Marzuki (TIM). Di sana ada patung aneh, pikir yang tak mengerti seni. Sebuah keran kuningan yang dapat dengan  mudah bisa kita beli di toko besi, dihubungkan dengan sebuah pipa lengkung yang didudukkan pada sekeping kayu, dari moncong keran itu meleleh timah cair (yang dalam pameran itu tentunya sudah membeku).
   Kalau kita sebagai orang yang tak mengerti tentunya kan sangat susah mencerna maksud dari patung tersebut dibuat. Padahal maksud yang ingin disampaikan oleh sang seniman sebenarnya adalah shock. Shock terhadap apa saja, zaman, ketakutan, orang-orang, politik, dan sebagainya. Unsur shock inilah yang berusaha disampaikan  seniman lewat lelehan timah yang keluar dari moncong keran tersebut.
   Unsur yang sebenarnya dapat lebih dicerna banyak orang dengan bentuk yang lain. Misalnya saja lukisan orang kaget atau bentuk patung yang memberi kesan atau mimik terkejut. Kesan shock yang ingin ditunjukkan sama seniman tersebut jauh dari kaidah klasik yang memilih cara penyampaikan seni yang sederhana pada orang-orang biasa. Namun bukan jalan mudah tersebut yang berusaha ditampilkan seniman itu, akan tetapi sesuatu yang berbeda yang kiranya melegakan gejolak jiwa dan imajinasi,  pikiran (ide) atas kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya melalui karya seninya.
   Patung tersebut diidekan dan divisualisasikan seorang pematung tanah air kita. Adalah Jim Supangkat, seorang kawakan yang sudah malang melintang dalam dunia seni rupa. Tentang keahliannya dalam membuat patung? Jangan ditanya, dia hebat. Tepat seperti sudah dijelaskan di atas, seandainya Jim Supangkat ini mau membuat patung gaya klasik, maka dengan mudah dia dapat membuat patung biasa yang bisa dinikmati banyak orang. Tapi Jim Supangkat kan tidak membuat patung untuk orang lain, dia cuma membuat patung untuk dirinya sendiri, kepuasannya terhadap letupan jiwanya yang bergolak. Dan hanya akan bisa dicapai lewat visual yang seperti itu. Ini yang disebut sebagai aliran modern. Bahasa seninya lebih simbolik.
    Contoh lainnya, adalah Pablo Picasso, pencipta aliran kubisme. Dia seorang pelukis naturalis yang baik, tetapi dia akan lebih baik lagi jika karya-karya yang dibuat mencerminkan dirinya sendiri. Juga Affandi membuat aliran sendiri yang sesuai dengan gayanya. Walaupun sempat pada awal-awal permulaannya mereka yang menemukannya dianggap bersalah terhadap kaidah seni rupa, pada akhirnya masyarakat mengakui pula keberadaan mereka. Seni kan bukan soal benar atau salah, tetapi soal bagus atau tidak. Jika pandangan orang seni sendiri bilang kaidah ini salah, namun masyarakat menerimanya mau dikata apa? Itulah kata-kata yang saya kutip dari Affandi.

Kesimpulan
Ini sama seperti kita masih kecil kemudian beranjak melangkah menjadi besar. Bayangkan ketika kita berumur empat tahun, kita akan mengikuti (membeo) seluruh ucapan, tindakan, yang dilakukan orang tua kita dan orang-orang yang ada di sekeliling kita. Burung-burung penyanyi di Jepang, juga meniru adat yang dilakukan burung utama yang menyanyi sewaktu mereka masih kecil di tempat penangkaran.
Itulah seni, tidak hanya seni rupa saja, namun beragam seni, seni musik, seni tari, seni drama. Setiap manusia yang ingin berkarya dalam seni, akan melalui sebuah proses perjalanan yang panjang. Saya yakin bahwa para seniman ndao yang menyimpang dari adat kaidah seni umumnya, pastinya memiliki bekal teori-teori seni yang mumpuni pula. Bagaimana mungkin mereka bisa menyimpang sedang mereka sendiri saja tidak mengerti apa-apa tentang teori-teori seni? Tidak mungkin. Hasil yang mereka dapatkan kemudian disimpangkan dari jalur kaidah resminya lalu dibentuk sesuai dengan yang lebih sesuai dengan jiwa mereka. Dan hasilnya adalah “pemberontakan” ide dari apa yang disebut sebagai kaidah-kaidah seni yang baku. Inilah sebuah bentuk kebebasan.

Kajian Pustaka
Tony Buzan. Sepuluh Cara Jadi Orang yang Jenius Kreatif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002


--------, Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Editor Edi Sedyawati & Sapardi Djoko Damono, PT Gramedia, Jakarta, 1983

No comments:

Post a Comment