“Seni Rupa Indonesia, seperti pula jenis seni-seni lainnya
berkembang melalui proses
yang sangat panjang.
Perkembangan dari zaman ke
zaman
telah melalui banyak gesekan.
Baik gesekan peradaban, gesekan kepentingan,
gesekan pemikiran atau bahkan gesekan fisik
antar sesama seniman itu
sendiri”
Pendahuluan
Aliran
tua (Klasik) lebih dikenal dengan sifat atau aliran seni yang “kaku” atau
“kolot”. Aliran ini lebih menekankan kaidah-kaidah baku terhadap karya-karya
seninya. Misalkan saja era klasik, seluruh hasil dari seni rupa berbentuk sama
dengan aslinya (seragam). Jika patung ya bentuknya lebih manusiawi—bahkan
patung dewa sekalipun. Jika lukisan maka akan berbentuk seperti aslinya. Bahkan
Tony Buzan dalam bukunya “Sepuluh Cara
Jadi Orang yang Jenius Kreatif”, memaparkan Leonardo Da Vinci dan Michael
Angelo membuat gambar hewan dan manusia dengan menggunakan ukuran sebenarnya
yang dikecilkan. Aliran Naturalis adalah klasik yang masih ada hingga sekarang
dan akan terus ada hingga kapanpun. Aliran ini lebih menekankan hasil seni
dengan “penempakan” sewajarnya dari objek imajinasi sang seniman.
Perkembangan selanjutnya
seni rupa melahirkan bentuk-bentuk yang baru, yang lebih dikenal dengan aliran
baru (modern). Sebenarnya kemunculan aliran modern ini bukan bermaksud atau
bahkan menyaingi keberadaaan aliran klasik, namun sebuah kebosanan membuat para
seniman muda melakukan “pemberontakan” ide, akibat kemonotonan dan kebakuan
dari aliran klasik. Juga mereka menginginkan sesuatu yang lain, sesuatu yang fresh—yang tidak membuat dirinya terkekang oleh
kebakuan, yang lebih mewakili gejolak yang ada di dalam jiwanya. Yang
pada akhirnya kemudian melahirkan kaidah-kaidah baru dalam seni, khususnya seni
rupa.
Kubisme, Abstrak dan beberapa macam aliran lainnya jika boleh
disebut merupakan bentuk dari “pemberontakan” ide tersebut. Toh, biarpun
disebut memberontak (menyimpang dari kaidah-kaidah yang seharusnya),
karya-karya mereka tetaplah bagus. Namun, tidak hanya itu saja mereka tetap
bisa membuat karya yang berpatok pada kaidah tatanan seni rupa klasik, hanya
saja mereka (para seniman) lebih memilih kecenderungan jiwanya.
Aliran Modern dalam Seni Rupa
Bentuk
patung, lukisan, atau benda-benda di dalam suatu pameran sangat sukar dicerna
artinya oleh orang awam. Bentuk rongsokan, sepeda yang dibalut dengan Koran
bekas, cat tumpah ke lantai atau dinding yang dicorat-coret dengan cat adalah
bagian dari suatu bentuk seni rupa yang ingin disampaikan oleh sang seniman.
Jangankan orang awam, para ahlipun terkadang masih meraba-raba makna di balik
sebuah karya seni. Sebenarnya dalam memaknai seni, setiap orang berhak
memaknainya dalam pelbagai sudut pandang (paradigma), namun—lagi-lagi terkait
dengan kaidah teoritis memaknai seni, memang ada teori untuk memahaminya. Cuma
orang yang orang-orang ndao yang
secara bebas-bebas saja yang menganalisis seni tanpa teori. Atau jangan-jangan
orang-orang yang mengaku mempunyai teori-teori seni itu cuma sok-sok-an saja mengerti seni, toh hal
tersebut mudah dilakukan dan siapapun pasti bisa melakukan itu.
Contohnya sewaktu pameran seni rupa di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Di sana ada patung aneh, pikir yang tak mengerti seni. Sebuah keran kuningan
yang dapat dengan mudah bisa kita beli
di toko besi, dihubungkan dengan sebuah pipa lengkung yang didudukkan pada
sekeping kayu, dari moncong keran itu meleleh timah cair (yang dalam pameran
itu tentunya sudah membeku).
Kalau kita sebagai orang
yang tak mengerti tentunya kan sangat susah mencerna maksud dari patung
tersebut dibuat. Padahal maksud yang ingin disampaikan oleh sang seniman
sebenarnya adalah shock. Shock
terhadap apa saja, zaman, ketakutan, orang-orang, politik, dan sebagainya.
Unsur shock inilah yang berusaha disampaikan seniman lewat lelehan timah yang keluar dari
moncong keran tersebut.
Unsur yang sebenarnya dapat
lebih dicerna banyak orang dengan bentuk yang lain. Misalnya saja lukisan orang
kaget atau bentuk patung yang memberi kesan atau mimik terkejut. Kesan shock
yang ingin ditunjukkan sama seniman tersebut jauh dari kaidah klasik
yang memilih cara penyampaikan seni yang sederhana pada orang-orang biasa.
Namun bukan jalan mudah tersebut yang berusaha ditampilkan seniman itu, akan
tetapi sesuatu yang berbeda yang kiranya melegakan gejolak jiwa dan
imajinasi, pikiran (ide) atas
kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya melalui karya seninya.
Patung tersebut diidekan dan
divisualisasikan seorang pematung tanah air kita. Adalah Jim Supangkat, seorang
kawakan yang sudah malang melintang dalam dunia seni rupa. Tentang keahliannya
dalam membuat patung? Jangan ditanya, dia hebat. Tepat seperti sudah dijelaskan
di atas, seandainya Jim Supangkat ini mau membuat patung gaya klasik, maka
dengan mudah dia dapat membuat patung biasa yang bisa dinikmati banyak orang.
Tapi Jim Supangkat kan tidak membuat
patung untuk orang lain, dia cuma membuat patung untuk dirinya sendiri,
kepuasannya terhadap letupan jiwanya yang bergolak. Dan hanya akan bisa dicapai
lewat visual yang seperti itu. Ini yang disebut sebagai aliran modern. Bahasa
seninya lebih simbolik.
Contoh lainnya, adalah Pablo Picasso, pencipta
aliran kubisme. Dia seorang pelukis naturalis yang baik, tetapi dia akan lebih
baik lagi jika karya-karya yang dibuat mencerminkan dirinya sendiri. Juga
Affandi membuat aliran sendiri yang sesuai dengan gayanya. Walaupun sempat pada
awal-awal permulaannya mereka yang menemukannya dianggap bersalah terhadap
kaidah seni rupa, pada akhirnya masyarakat mengakui pula keberadaan mereka.
Seni kan bukan soal benar atau salah,
tetapi soal bagus atau tidak. Jika pandangan orang seni sendiri bilang kaidah
ini salah, namun masyarakat menerimanya mau dikata apa? Itulah kata-kata yang
saya kutip dari Affandi.
Kesimpulan
Ini sama seperti kita
masih kecil kemudian beranjak melangkah menjadi besar. Bayangkan ketika kita
berumur empat tahun, kita akan mengikuti (membeo) seluruh ucapan, tindakan,
yang dilakukan orang tua kita dan orang-orang yang ada di sekeliling kita.
Burung-burung penyanyi di Jepang, juga meniru adat yang dilakukan burung utama
yang menyanyi sewaktu mereka masih kecil di tempat penangkaran.
Itulah seni, tidak
hanya seni rupa saja, namun beragam seni, seni musik, seni tari, seni drama.
Setiap manusia yang ingin berkarya dalam seni, akan melalui sebuah proses
perjalanan yang panjang. Saya yakin bahwa para seniman ndao yang menyimpang dari adat kaidah seni umumnya, pastinya
memiliki bekal teori-teori seni yang mumpuni pula. Bagaimana mungkin mereka
bisa menyimpang sedang mereka sendiri saja tidak mengerti apa-apa tentang
teori-teori seni? Tidak mungkin. Hasil yang mereka dapatkan kemudian
disimpangkan dari jalur kaidah resminya lalu dibentuk sesuai dengan yang lebih
sesuai dengan jiwa mereka. Dan hasilnya adalah “pemberontakan” ide dari apa
yang disebut sebagai kaidah-kaidah seni yang baku. Inilah sebuah bentuk
kebebasan.
Kajian Pustaka
Tony Buzan. Sepuluh Cara Jadi Orang yang Jenius Kreatif. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2002
--------, Seni Dalam Masyarakat Indonesia,
Editor Edi Sedyawati & Sapardi Djoko Damono, PT Gramedia, Jakarta, 1983
No comments:
Post a Comment