Wednesday, November 9, 2016

Kesenian Tunggal

Shock Therapy Seni Rupa Indonesia

“Angkatan Tua” lebih dikenal dengan sifat atau aliran seni yang “kaku” atau “kolot”. Angkatan ini lebih dapat menelorkan hasil seninya melalui pakem-pakem  yang sewajarnya. Aliran Naturalis kalau boleh dibilang adalah salah satu jalur dari “Aliran Tua” yang bertahan sampai saat ini. Aliran ini lebih menekankan hasil seni dengan “penampakan” sewajarnya dari objek imajinasi sang seniman.


Seni patung
Jika patung ya bentuknya lebih manusiawi—bahkan patung dewa sekalipun. Jika lukisan maka akan berbentuk seperti aslinya. Bahkan Tony Buzan dalam bukunya “Sepuluh Cara Jadi Orang yang Jenius Kreatif”, memaparkan Leonardo Da Vinci dan Michael Angelo membuat gambar hewan dan manusia dengan menggunakan ukuran sebenarnya yang dikecilkan.
Contoh lainnya, adalah Pablo Picasso, pencipta aliran kubisme. Dia seorang pelukis naturalis yang baik, tetapi dia akan lebih baik lagi jika karya-karya yang dibuat mencerminkan dirinya sendiri. Juga Affandi membuat aliran sendiri yang sesuai dengan gayanya. Walaupun sempat pada awal-awal permulaannya mereka yang menemukannya dianggap bersalah terhadap kaidah seni rupa, pada akhirnya masyarakat mengakui pula keberadaan mereka. Seni kan bukan soal benar atau salah, tetapi soal bagus atau tidak. Jika pandangan orang seni sendiri bilang kaidah ini salah, namun masyarakat menerimanya mau dikata apa? Itulah kata-kata yang saya kutip dari Affandi.

Seni Kriya

            Seni Kriya jika ditilik dari bentuk perwujudannya, termasuk sebagai seni rupa.Jika ditilik dari sudut matranya, maka seni kriya termasuk ke dalam seni rupa dua matra, yaitu seni rupa yang mempunyai 2 ukuran, yaitu ukuran panjang dan lebar. Kata lain seni rupa dua matra bersifat dasar, tidak mempunyai ketebalan sehingga tidak memakan ruang, contoh dari seni kriya dua matra ini misalnya saja, kerajinan hiasan dinding Selain itu jenis seni kriya dapat pula dikategorikan ke dalam senirupa tiga matra. Seni rupa tiga matra yaitu seni yang memakan ruang karena mempunyai matra panjang , lebar dan tebal. Seni rupa tiga matra tidak mempunyai bidang dasar dan tidak datar, maka dari itu, penempatannya tidak menempel, tetap berdiri bebas. Da;am kategori ini, seni.
Sebagai contoh, benda-benda dari tanah liat yang ditemukan di Kraton Bekas Kerajaan Majapahit, di Trowulan, jenisnya adalah gerabah,; guci, celengan berbentuk semar. Kemudian ditemukan pula hiasan atau peralatan rumah, seperti guci, miniatur bangunan.[2] Selain itu, pada zaman perunggu juga ditemukan kesenian yang tergolong dalam seni kriya. Dalam kehidupan sehari-hari, ditemukan bentuk seperti mangkuk-mangkuk, sendok.
Seni kriya yang berkembang di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri di masing-masing daerah. Tradisi seni kerajinan daerah ini berkembang setelah berkenalan dengan kebudayaan asing: Cina, India, Parsi.  Laju perkembangan seni kriya daerah tidaklah serupa. Di suatu daerah, seni kerajinan masih merupakan suatu bentuk kreatifitas kaum petani. Berbeda dengan jenis seni kerajinan yang berkembang di lingkungan pusat kerajaan. Lahirlah jenis seni kerajinan dalam bentuk klasik yang dituntut oleh segala pedoman dan peraturan seni yang tidak dapat dilepaskan tugas-tugas kegunaannya sebagai benda kebesaran adat istana.
Di dalam prasasti perunggu yang ditemukan di desa Sideteka (Mojokerto), disebut beberapa jenis pandai ialah pande wsi (pandai besi), pande dang (berasal dari kata dandang: tempat untuk menanak nasi), pande mas (perajin emas), pande gangsa (pembuat gamelan), serta undahagi (tukang kayu).
Seni kriya, dalam hubungannya dengan sejarah Nusantara, sangat erat berkaitan dengan mitos dan mistik. Misalnya, karya seni kerajinan yang dihasilkan di lingkungan istana memiliki nilai-nilai kepercayaan dan agama yang sangat kuat. Setiap jenis motif hias dari seni kerajinan tradisional ini memiliki arti perlambangan sesuai dengan kegunaannya.
Nilai seni disesuaikan dengan tata hidup masyarakat, termasuk kepercayaannya. Oleh karena itu, hasil seni yang dihasilkan serasi dengan pola hidup yang mengacu pada aturan dari nenek moyang secara temurun. Ini menyebabkan sangat sulit untuk membedakan antara benda-benda sebagai media ritual dan yang hanya sebagai alat sehari-hari saja. Karena sering benda yang peralatan harian tetapi ketika ia semakin tipis dari penyimpanan maka berubah fungsi sebagai benda pusaka.
Jika dilihat dari segi karya seni, benda-benda pusaka tersebut termasuk jenis seni kriya Indonesia yang tidak memiliki ciri khas Islam. Sebaliknya, sebagian besar dari benda pusaka tersebut merupakan hasil perkembangan dari seni pada zaman pra Islam, baik secara teknis maupun estetis. Di zaman Islam, para senimannya berusaha untuk menyempurnakan apa yang sudah dicapai sebelumnya.

No comments:

Post a Comment