Shock Therapy Seni Rupa Indonesia
“Angkatan Tua” lebih dikenal dengan
sifat atau aliran seni yang “kaku” atau “kolot”. Angkatan ini lebih dapat
menelorkan hasil seninya melalui pakem-pakem yang sewajarnya. Aliran Naturalis kalau boleh
dibilang adalah salah satu jalur dari “Aliran Tua” yang bertahan sampai saat
ini. Aliran ini lebih menekankan hasil seni dengan “penampakan” sewajarnya dari
objek imajinasi sang seniman.
Seni patung
Jika patung ya bentuknya lebih
manusiawi—bahkan patung dewa sekalipun. Jika lukisan maka akan berbentuk
seperti aslinya. Bahkan Tony Buzan dalam bukunya “Sepuluh Cara Jadi Orang yang Jenius Kreatif”, memaparkan Leonardo
Da Vinci dan Michael Angelo membuat gambar hewan dan manusia dengan menggunakan
ukuran sebenarnya yang dikecilkan.
Contoh lainnya, adalah
Pablo Picasso, pencipta aliran kubisme. Dia seorang pelukis naturalis yang
baik, tetapi dia akan lebih baik lagi jika karya-karya yang dibuat mencerminkan
dirinya sendiri. Juga Affandi membuat aliran sendiri yang sesuai dengan gayanya.
Walaupun sempat pada awal-awal permulaannya mereka yang menemukannya dianggap
bersalah terhadap kaidah seni rupa, pada akhirnya masyarakat mengakui pula
keberadaan mereka. Seni kan bukan
soal benar atau salah, tetapi soal bagus atau tidak. Jika pandangan orang seni
sendiri bilang kaidah ini salah, namun masyarakat menerimanya mau dikata apa?
Itulah kata-kata yang saya kutip dari Affandi.
Seni
Kriya
Seni
Kriya jika ditilik dari bentuk perwujudannya, termasuk sebagai seni rupa.Jika
ditilik dari sudut matranya, maka seni kriya termasuk ke dalam seni rupa dua
matra, yaitu seni rupa yang mempunyai 2 ukuran, yaitu ukuran panjang dan lebar.
Kata lain seni rupa dua matra bersifat dasar, tidak mempunyai ketebalan
sehingga tidak memakan ruang, contoh dari seni kriya dua matra ini misalnya
saja, kerajinan hiasan dinding Selain itu jenis seni kriya dapat pula
dikategorikan ke dalam senirupa tiga matra. Seni rupa tiga matra yaitu seni
yang memakan ruang karena mempunyai matra panjang , lebar dan tebal. Seni rupa
tiga matra tidak mempunyai bidang dasar dan tidak datar, maka dari itu,
penempatannya tidak menempel, tetap berdiri bebas. Da;am kategori ini, seni.
Sebagai contoh,
benda-benda dari tanah liat yang ditemukan di Kraton Bekas Kerajaan Majapahit,
di Trowulan, jenisnya adalah gerabah,; guci, celengan berbentuk semar. Kemudian
ditemukan pula hiasan atau peralatan rumah, seperti guci, miniatur bangunan.[2]
Selain itu, pada zaman perunggu juga ditemukan kesenian yang tergolong dalam
seni kriya. Dalam kehidupan sehari-hari, ditemukan bentuk seperti
mangkuk-mangkuk, sendok.
Seni kriya yang berkembang
di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri di masing-masing daerah. Tradisi
seni kerajinan daerah ini berkembang setelah berkenalan dengan kebudayaan
asing: Cina, India, Parsi. Laju
perkembangan seni kriya daerah tidaklah serupa. Di suatu daerah, seni kerajinan
masih merupakan suatu bentuk kreatifitas kaum petani. Berbeda dengan jenis seni
kerajinan yang berkembang di lingkungan pusat kerajaan. Lahirlah jenis seni
kerajinan dalam bentuk klasik yang dituntut oleh segala pedoman dan peraturan
seni yang tidak dapat dilepaskan tugas-tugas kegunaannya sebagai benda
kebesaran adat istana.
Di dalam prasasti perunggu
yang ditemukan di desa Sideteka (Mojokerto), disebut beberapa jenis pandai
ialah pande wsi (pandai besi), pande dang (berasal dari kata dandang: tempat untuk menanak nasi), pande mas (perajin emas), pande gangsa (pembuat gamelan), serta undahagi (tukang kayu).
Seni kriya, dalam
hubungannya dengan sejarah Nusantara, sangat erat berkaitan dengan mitos dan
mistik. Misalnya, karya seni kerajinan yang dihasilkan di lingkungan istana
memiliki nilai-nilai kepercayaan dan agama yang sangat kuat. Setiap jenis motif
hias dari seni kerajinan tradisional ini memiliki arti perlambangan sesuai
dengan kegunaannya.
Nilai seni disesuaikan
dengan tata hidup masyarakat, termasuk kepercayaannya. Oleh karena itu, hasil
seni yang dihasilkan serasi dengan pola hidup yang mengacu pada aturan dari
nenek moyang secara temurun. Ini menyebabkan sangat sulit untuk membedakan
antara benda-benda sebagai media ritual dan yang hanya sebagai alat sehari-hari
saja. Karena sering benda yang peralatan harian tetapi ketika ia semakin tipis
dari penyimpanan maka berubah fungsi sebagai benda pusaka.
Jika dilihat dari segi
karya seni, benda-benda pusaka tersebut termasuk jenis seni kriya Indonesia
yang tidak memiliki ciri khas Islam. Sebaliknya, sebagian besar dari benda
pusaka tersebut merupakan hasil perkembangan dari seni pada zaman pra Islam,
baik secara teknis maupun estetis. Di zaman Islam, para senimannya berusaha
untuk menyempurnakan apa yang sudah dicapai sebelumnya.
No comments:
Post a Comment