Tuesday, November 1, 2016

Kemiskinan Masyarakat Jawa Pada Masa Kolonial

Latar Belakang
Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh pemerintah jajahan Belanda pada tahun 1830 merupakan contoh klasik tentang penindasan kaum penjaiah. Tujuan pokoknya ialah meningkatkan secara pokok kapasitas produksi pertanian orang-orang jawa demi keuntungan perbendaharaan kerajaan Belanda. Jika dipandang dari segi ini, sistem ini memang berhasil dengan baik, dengan dihasilkannya sejumlah besar ekspor, yang penjualannya di eropa semakin menghasilkan dana untuk menopang posisi keuangan belanda yang sedang sulit sekali.

Melonjaknya produksi dan laba ini hampir seluruhnya bersumber pada kerja paksa kaum tani jawa. Pihak pemerintah jajahan sangat sedikit menyediakan penanaman modal, dan upaya mereka untuk memperbaiki tehnik produksi dan pengolahan kurang memadai dan pada umumnya tidak efektif pula. Pengandalan pada kerja paksa itu untuk memperoleh pendapatan lebih daripada hal lain menyebabkan keberhasilan sistem ini diikuti dengan kemiskinan yang secara sistematis dari kaum petani jawa yang dipaksa bekerja yaitu bahwa pulau jawa yang setiap tahun menghasilkan kekayaan sekitar 40 Juta gulden, sementara penduduk tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sebab Kemiskinan
Sistem Tanam Paksa adalah penyebab yang paling berpengaruh terhadap kemiskinan penduduk pulau Jawa. Berkenaan dengan budidaya kopi, yang merupakan budidaya paling luas dan paling menguntungkan, maka kesulitan kaum tani mulai timbul karena kenyataan bahwa tanaman ini paling subur tumbuhnya di kaki gunung yang langka penduduknya dan di dataran tinggi. Budidaya ini paling berhasil tumbuhnya di lahan yang disebut “woeste gronden” (tanah gurun) di Jawa Barat (Priangan), Jawa Tengah bagian Selatan (Kedu) dan daerah ujung Timur pulau Jawa (Pasuruan dan Besuki). Padahal penduduk yang harus menggarapnya adalah penduduk dataran rendah yang pada umumnya menggarap sawah. Akibatnya, kaum tani yang diwajibkan menyelenggarakan budidaya kopi setiap hari harus berjalan berkilo-kilo meter menuju kebun kopi atau perkebunan di daerah hutan atau ada kalanya terpaksa meninggalkan kampung halaman mereka selama berbulan-bulan dalam masa penyelenggaraan budidaya kopi, dengan terpaksa tinggal dalam gubuk-gubuk darurat di dekat perkebunan kopi itu.
Kaum petani itu diwajibkan membuka hutan dan membuat lahan perkebunan, menanam bibit dan merawatnya sampai berbuah, memetik bijinya lalu menjemurnya dan mengupasnya. Setelah selesai tugas ini mereka diwajibkan menyerahkan hasil panen itu ke salah satu dari sejumlah gudang kopi pemerintah yang dibangun di daerah pedalaman, dan acapkali terpaksa memikul kopi itu diatas bahu, karena buruknya keadaan jalan dan karena tidak mempunyai hewan dan kendaraan untuk mengangkut hasil panen tersebut.
Atas segala jerih payahnya itu kaum tani dibayar sejumlah f 25 (25 gulden) untuk setiap pikul (62 kg) kopi yang diserahkannya, namun dari jumlah itu oleh pemerintah dipotong lagi duaperlima untuk pajak bumi dan f 3, untuk menutup bidang administrasi dan biaya angkutan dari gudang kopi likal menuju pelabuhan. Berbeda dengan budidaya kopi, budidaya terpenting lainnya dalam rangka Sistem Tana Paksa ialah tebu dan nila, yang ditanam pada tanah irigasi yang selayaknya ditanami padi. Kedua jenis tanaman ini ditanam bergiliran di sekitar sawah-sawah yang tersedia, dan karena itu sebelum penanaman itu dimulai para petani harus membongkar jaringan pematang dan saluran irigasi yang harusnya digunakan untuk penanaman  padi, dan mereka harus menyiapkan lahan kebun yang luas untuk ditanami kebu atau nila. Lalu setelah lahan itu dikembalikan untuk ditanami padi lagi, maka akar-akar harus disingkirkan terlebuh dahulu, kemudian dibentuk lagi petak-petak sawahnya. Adakalanya tanah itu disusun dalam komplek yang luas, yang harus digarap oleh beberapa desa bersama-sama. Untuk maksud ini kaum petani harus menempuh jarak yang cukup jauh dari desanya menuju kebun kebu. Namun lambat laun diatur sedemikian rupa, sehingga setiap desa terdapat kebun tebunya sendiri, tetapi dalam hal ini timbul kesulitan bila dalam suatu desa tidak atau sedikit terdapat lahan yang sesuai dengan budidaya tebu atau nila, dalam keadaan demikian kaum tani terpaksa harus pergi ke desa-desa yang secara intensif melaksanakan budidaya budidaya ekspor untuk memenuhi kewajiban budidaya itu dan mereka harus menyerahkan sebagian dari tanah sawah sendiri kepada penduduk desa bersangkutan. Sebagai imbalan untuk pelaksanaan budidaya panen , penggarap tebu itu diberi upah sesuai dengan jumlah gula yang dihasilkan dari tebu yang telah mereka tanam, mereka menerima upah tambahan untuk pekerjaan penebusan tebu, mengangkutnya dan mengerjakan di pabrik gula yang semua itu merupakan kerja wajib pula. Dalam hal budi daya nila para petani tidak hanya diwajibkan menanam dan merawat tanaman melainkan juga wajib mengambil hasil panen, mengangkut daun nila ke pabrik setempat, lalu mengerjakan pengolahan nila itu dalam proses tidak sedap sehingga menghasilkan lempengan bahan pewarna indigo. Berbeda dengan keadaan para pekerjaan tebu, mereka hanya diberikan bayaran tunggal untuk berbagai jenis tugasnya itu, didasarkan kepada banyaknya bahan pewarna yang dihasilkan dari daun nila yang diserahkannya.
Disamping aneka tugas yang langsung berkaitan dengan budi daya paksaan, sistem tanam paksa juga menuntut agar kaum tani melakukan kerja rodi (dengan imbalan kecil atau sama sekali tanpa imbalan) untuk melaksanakan pekerjaan umum. Kerja rodi itu, yang dibebankan diatas pekerjaan yang lazim mereka lakukan untuk para pembesar bumi putera, atau untuk keperluan masyarakat desa, ditunjukkan kepada upaya perbaikan prasarana yang diperlukan untuk menjamin pelaksanaan dan keberhasilan keberhasilan sistem tanam paksa itu. Demi kelancaran sistem diperlukan jalan dan jembatan untuk pengangkutan hasil budi daya, penyempurnaan fasilitas pelabuhan, pembangunan gedung kantor dan kediaman para pejabat, serta untuk pabrik dan gudang untuk hasil budi dayanya dan juga perluasan area budidaya dengan membangun bendungan dan menggali saluran-saluran irigasi. Semakin pentingnya pulau jawa untuk pihak belanda, diperlukan pengerahan sejumlah besar kaum tani untuk membangun kubu-kubu pertahanan, diantaranya yang paling buruk namanya ialah benteng yang dibangun di Surabaya pada pertengahan abad itu.
Disamping pajak berupa tenaga kerja atau rodi, dipungut pula pajak berupa uang tunai. Pajak bumi tetap dikenakan dan ditagih dari penduduk, bahkan juga atas tanah yang dipakai untuk budidaya paksaan; bahkan lahan-lahan ini dibebani pajak yang lebih tinggi dari lahan lainnya. Apalagi andaipun ada, yang diperolehnya dari kegiatan dan tugas-tugas yang bertambah banyak sekali. Lahan yang diperbaiki dengan kerja rodi pada bangunan irigasi dibebani pajak bumi setelah waktu lenggang yang singkat. Uang tunai yang diuberikan kepada kaum tani acap kali dikejar-kejar oleh pemerintah dengan tindakan gegabah, yaitu menaikan jumlah pajak bumi secara progresif. Residen rembang misalnya, dengan gigihnya melaksanakan kebijaksanaan dalam hal ini, dengan akibat bahwa hasil pajak bumi di daerah residensi itu meningkat dari f 301.191 pada tahun 1844 menjadi f 593.635 pada tahun 1848. Gubernur Jendral Rochussen pada tahun 1847 memperkirakan bahwa 2/3 dari jumlah yang dibayar kepada kaum tani untuk hasil budidaya itu masuk kembali kedalam perbendaharaan Pemerintah dalam bentuk aneka pajak.
Jelas dari sini sistem tanam paksa dan kerja rodi merupakan suatu sumber yang subur untuk melakukan tindakan korupsi oleh oknum-oknum yang diberi wewenang mengelolanya. Semua garis pedoman yang saengaja dibuat kurang tegas misalnya yang mengenai penggunaan tenaga kaum tani, membuka peluang untuk praktek-praktek kaum pejabat baik bumi putra maupun Belanda untuk menggunakan tenaga kerja itu untuk kepentingan pribadi. Lebih celaka lagi, memang sangat umum dilazimkan oleh kaum pejabat untuk menggunakan kekausaan mereka yang meningkat itu demi menambah kekayaan serta wewenang mereka. Sering kali terjadi peristiwa mengenai pejabat bumi putra serta para kepala desa yang menahan sebagian dari pembayaran untuk hasil budi daya, yang seharusnya disampaikan kaum tani tersebut banyak yang menyalahgunakan pengaruh serta wewenang sebagai pejabat untuk mengadakan intimidasi terhadap penduduk agar tanah mereka diserahkan kepada pejabat bersangkutan. Sistem pembayaran uang perangsang atas hasil produksi budidaya ekspor dan hasrat untuk naik pangkat acap kali mendorong pejabat itu untuk meningkatkan produksi komoditi ekspor dengan memaksakan pembebanan berlebihan terhadap lahan dan kaum tani di wilayah jabatan masing-masing.
Sistem tanam itu serta segala pembebanan dan penyalahgunaannya akhirnya membawa akibat buruk bagi kaum tani disekitar pertengahan dan akhir tahun 1840an, tatkala terjadi serangkaian wabah penyakit dan kegagalan panen yang mengakibatkan bencana kelaparan dan kematian bagi ribuan kaum tani di daerah Jawa Tengan bagian utara. Menurut pandangan yang umum diterima, wabah kelaparan itu diakibatkan oleh kombinasi pajak yang terlalu tinggi dan penggunaan yang melebihi batas atas lahan-lahan serta kerja paksa untuk keperluan tanam paksa itu; kaum tani merasakan bahwa tidak mungkin bagi mereka menghasilkan hasil bumi yang secukupnya, untuk memenuhi kewajiban keuangan mereka disamping menjamin makanannya sendiri dan khususnya kaum liberal yang gigih di negeri Belanda dipandanga sebagai konsekuensi yang mutlak dari logika sistem tanam paksa itu. Kehebohan yang timbul karenanya memacu amarah dan maju, yang pada akhirnya menamatkan sistem tanam paksa itu.

Kesimpulan
            Dari penjelasan diatas dapat diambil suatu pandangan bahwa penyebab utama kemiskinan masyarakat tani jawa pada masa kolonial adalah praktek Sistem Tanam Paksa, Kerja Rodi dan Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan baik itu dari pihak Belanda ataupun Bumiputera. Dari kemiskinan tersebut maka terjadi bencana kelaparan yang dasyat di daerah Jawa. Dari bencana tersebut banyak masyarakat terutama kaum tani yang meninggal dunia akibat kelaparan.

DAFTAR PUSTAKA


Anne Booth, dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES.

Nugroho Notosusanto, dkk. 1993. Sejarah Nasional Indonesia  4. Jakarta : Balai Pustaka.

Sartono Kartodirjo. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Jakarta : PT Gramedia Pustaka.



No comments:

Post a Comment