Tanggal 17 September Jansen
menandatangi surat menyerah dari Inggris di Salatiga. Pada tanggal itu pula
Thomas Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur di Jawa, pada saat pemerintahan
Inggris tidak ada istilah Gubernur Jendral. Alasan dipilihnya Raffles adalah
karena orang yang telah banyak mempelajari masalah Jawa dan Melayu. Dalam pemerintahannya Raffles menerapkan politik Liberal yang bertujuan untuk
mensejahterakan rakyat dan juga memberikan kebebasan khususnya pada penanaman
tanaman dagang. Pelaksaanan politik liberal berarti stuktur tradisional dan feodal
Jawa perlu dirombak dan bila perlu diganti.
Sebelumnya Inggris sudah
mengenal India sebagai Negara jajahannya dan dengan dasar itulah Raffles
berusaha mengadopsi sistem yang telah diterapkan Inggris di India, yaitu
membebaskan ekonomi Jawa dari unsur paksaan yang ada pada masa VOC (Verenignig
Ost Indische Compagnie) agar tidak terlihat sama sekali. Prinsip kebebasan yang diterapkan Raffles juga
terinspirasi dari Revolusi Perancis yaitu kebebasan, persamaan dan
persaudaraan. Feodalisme dan ketradisionalan di Jawa juga menjadi fokus
kebijakan Raffles yang pada saat itu VOC berkuasa menjadi senjata tajam untuk
mengeruk keuntngan yang sebesar-besarnya.
Raffles menerapkan tiga
pokok kebijakan dalam pemerintahannya. Pertama, kerja paksa pada masa VOC
dihapuskan dan hak penanaman sepenuhnya berada ditangan petani. Kedua,
pemerintah sebagai pengontrol keberlangsungan penanaman oleh petani dan juga
pajak langsung ditarik melalui pemerintah, bupati pada masa VOC berperan
sebagai penarik pajak mulai dihilangkan. Ketiga dengan anggapan bahwa
pemerintah adalah pemilik tanah maka para petani diwajibkan membayar sewa tanah
yang kemudian sewa tanah ini menjadi dasar pemerintahan pada masa Raffles. Sewa
tanah dianggap sebagai revolusi pada masa Raffles, selain sebagai perubahan
dari sistem kerja paksa. Sewa tanah juga mencoba menghilngkan ekonomi feodal
Jawa dan juga pemerintah Inggris memperkenalkan sistem kontrak yang sebelumnya
tidak dikenal oleh orang-orang Jawa.
Pada pelaksaanannya sewa
tanah tidak meliputi seluruh Jawa. Termasuk daerah di Batavia (wilayah
Partikelir), Parahyangan dan Vorstenlanden. Hal ini disebabkan daerah sekitar
Batavia adalah milik swasta, Parahyangan merupakan daerah yang sangat
berpotensi untuk penanaman kopi yang pada sebelumnya telah banyak menguntungkan
pemerintah Belanda, sehingga Inggris juga beranggapan demikian. Sedangkan untuk
daerah Vorstenlanden merupakan daerah yang bebas sebab memiliki pemerintahan
sendiri, yakni kerajaan.
Dalam melaksanakan sewa
tanah pemerintah Inggris memberikan kebijakan pembayaran berkisar antara ½,
2/5, 1/3 dan 1/4 tergantung dari hasil dan mutu panen yang diperoleh oleh
petani. Untuk alat pembayaran dapat berupa beras, padi ataupun uang. Sedangkan
tanaman-tanaman palawija tidak diperkenankan sebagai alat membayar pajak atau
sewa tanah. Bagi keluarga yang tidak mempunyai dan membuka lahan pertanian
dianjurkan membayar pajak keluarga.
Sistem sewa tanah sendiri
mengandung tiga aspek penting. Pertama sewa tanah diharapkan dapat mendukung
penyelenggaraan pemerintahan modern di Hindia-Belanda. Kedua sudah barang tentu
anggapan bahwa tanah adalah milik pemerintah, sedangkan petani adalah penyewa,
maka petani harus membayar pajak berupa sewa terhadap tanah tersebut. Ketiga
tujuan pencanangan sewa tanah adah penunjang perkembangan pananam tanaman yang
dapat mendukung program eksport pemerintahan Inggris.
Secara keseluruhan sistem
sewa tanah oleh Raffles ini tidak berhasil diterapkan di Jawa, terutama dalam
upaya untuk menghapuskan feodalisme dan hubungan kultural Jawa sangat
menentukan keinginan petani di sawah. Selain itu adalah usaha agar petani-petani
untuk dapat langsung berhubungan dengan produsen gagal. Orang-orang Jawa belum
mengetahui sepenuhnya perihal transaksi dipasar bebas. Jikalau dilihat dari
upaya untuk pensejahteraan dan rakyat juaga gagal. Raffles beranggapan bahwa
Jawa seperti India, padahal tidak ada persamaan sama sekali. Sekitar abad keXVI
India sudah mengenal mata uang dan cara mengoperasikannya sedangkan Jawa belum
mengenal hal tersebut. Orang-orang Jawa juga belum bisa untuk menanam tanaman
eksport sendiri, mereka masih perlu suruhan dan arahan karena prinsip dasar pertanian
dan perekonomian Jawa adalah memenuhi kebutuhan sendiri (Self Sufficient).
Seperti yang telah
disinggung di depan bahwa Raffles (Inggris) memerintah di Jawa sekitar lima
tahun. Dengan singkatnya pemerintahan Raffles ini, maka Raffles belum
sepenuhnya berhasil mengembangkan sistem yang dicanangkan. Selain itu para
pegawai yang membantu Raffles juga tidak professional. Dengan pelbagai alasan
yang telah dikemukakan diatas menyebabkan gagalnya sistem sewa tanah Raffles,
walaupun pada akhirnya sistem ini juga diteruskan oleh pemerintah Kolonial
Belanda sampai sekitar tahun 1830 sebelum dihapus oleh Van den Bosch.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati, dkk. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka.
M. C. Ricklef. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: Serambi.
Sanusi Pane. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sartono
Kartodirjo. (1999). Pengantar Sejarah
Indonesia 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Diktat Kuliah
Sejarah Imdonesia Abad XIX dan XX: Sistem Politik Kolonial dan Administrasi
Pemerintahan Hindia-Belanda. Drs. Daliman, M. Pd.
No comments:
Post a Comment