Monday, November 14, 2016

Kebijakan Thomas. S. Raffles (Sewa Tanah atau Landrente 1811-1816)

Tanggal 17 September Jansen menandatangi surat menyerah dari Inggris di Salatiga. Pada tanggal itu pula Thomas Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur di Jawa, pada saat pemerintahan Inggris tidak ada istilah Gubernur Jendral. Alasan dipilihnya Raffles adalah karena orang yang telah banyak mempelajari masalah Jawa dan Melayu. Dalam pemerintahannya Raffles menerapkan politik Liberal yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat dan juga memberikan kebebasan khususnya pada penanaman tanaman dagang. Pelaksaanan politik liberal berarti stuktur tradisional dan feodal Jawa perlu dirombak dan bila perlu diganti.

Sebelumnya Inggris sudah mengenal India sebagai Negara jajahannya dan dengan dasar itulah Raffles berusaha mengadopsi sistem yang telah diterapkan Inggris di India, yaitu membebaskan ekonomi Jawa dari unsur paksaan yang ada pada masa VOC (Verenignig Ost Indische Compagnie) agar tidak terlihat sama sekali. Prinsip kebebasan yang diterapkan Raffles juga terinspirasi dari Revolusi Perancis yaitu kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Feodalisme dan ketradisionalan di Jawa juga menjadi fokus kebijakan Raffles yang pada saat itu VOC berkuasa menjadi senjata tajam untuk mengeruk keuntngan yang sebesar-besarnya.
Raffles menerapkan tiga pokok kebijakan dalam pemerintahannya. Pertama, kerja paksa pada masa VOC dihapuskan dan hak penanaman sepenuhnya berada ditangan petani. Kedua, pemerintah sebagai pengontrol keberlangsungan penanaman oleh petani dan juga pajak langsung ditarik melalui pemerintah, bupati pada masa VOC berperan sebagai penarik pajak mulai dihilangkan. Ketiga dengan anggapan bahwa pemerintah adalah pemilik tanah maka para petani diwajibkan membayar sewa tanah yang kemudian sewa tanah ini menjadi dasar pemerintahan pada masa Raffles. Sewa tanah dianggap sebagai revolusi pada masa Raffles, selain sebagai perubahan dari sistem kerja paksa. Sewa tanah juga mencoba menghilngkan ekonomi feodal Jawa dan juga pemerintah Inggris memperkenalkan sistem kontrak yang sebelumnya tidak dikenal oleh orang-orang Jawa.
Pada pelaksaanannya sewa tanah tidak meliputi seluruh Jawa. Termasuk daerah di Batavia (wilayah Partikelir), Parahyangan dan Vorstenlanden. Hal ini disebabkan daerah sekitar Batavia adalah milik swasta, Parahyangan merupakan daerah yang sangat berpotensi untuk penanaman kopi yang pada sebelumnya telah banyak menguntungkan pemerintah Belanda, sehingga Inggris juga beranggapan demikian. Sedangkan untuk daerah Vorstenlanden merupakan daerah yang bebas sebab memiliki pemerintahan sendiri, yakni kerajaan.
Dalam melaksanakan sewa tanah pemerintah Inggris memberikan kebijakan pembayaran berkisar antara ½, 2/5, 1/3 dan 1/4 tergantung dari hasil dan mutu panen yang diperoleh oleh petani. Untuk alat pembayaran dapat berupa beras, padi ataupun uang. Sedangkan tanaman-tanaman palawija tidak diperkenankan sebagai alat membayar pajak atau sewa tanah. Bagi keluarga yang tidak mempunyai dan membuka lahan pertanian dianjurkan membayar pajak keluarga.
Sistem sewa tanah sendiri mengandung tiga aspek penting. Pertama sewa tanah diharapkan dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan modern di Hindia-Belanda. Kedua sudah barang tentu anggapan bahwa tanah adalah milik pemerintah, sedangkan petani adalah penyewa, maka petani harus membayar pajak berupa sewa terhadap tanah tersebut. Ketiga tujuan pencanangan sewa tanah adah penunjang perkembangan pananam tanaman yang dapat mendukung program eksport pemerintahan Inggris.
Secara keseluruhan sistem sewa tanah oleh Raffles ini tidak berhasil diterapkan di Jawa, terutama dalam upaya untuk menghapuskan feodalisme dan hubungan kultural Jawa sangat menentukan keinginan petani di sawah. Selain itu adalah usaha agar petani-petani untuk dapat langsung berhubungan dengan produsen gagal. Orang-orang Jawa belum mengetahui sepenuhnya perihal transaksi dipasar bebas. Jikalau dilihat dari upaya untuk pensejahteraan dan rakyat juaga gagal. Raffles beranggapan bahwa Jawa seperti India, padahal tidak ada persamaan sama sekali. Sekitar abad keXVI India sudah mengenal mata uang dan cara mengoperasikannya sedangkan Jawa belum mengenal hal tersebut. Orang-orang Jawa juga belum bisa untuk menanam tanaman eksport sendiri, mereka masih perlu suruhan dan arahan karena prinsip dasar pertanian dan perekonomian Jawa adalah memenuhi kebutuhan sendiri (Self Sufficient).
Seperti yang telah disinggung di depan bahwa Raffles (Inggris) memerintah di Jawa sekitar lima tahun. Dengan singkatnya pemerintahan Raffles ini, maka Raffles belum sepenuhnya berhasil mengembangkan sistem yang dicanangkan. Selain itu para pegawai yang membantu Raffles juga tidak professional. Dengan pelbagai alasan yang telah dikemukakan diatas menyebabkan gagalnya sistem sewa tanah Raffles, walaupun pada akhirnya sistem ini juga diteruskan oleh pemerintah Kolonial Belanda sampai sekitar tahun 1830 sebelum dihapus oleh Van den Bosch.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati, dkk. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
M. C. Ricklef. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Sanusi Pane. Sejarah Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirjo. (1999). Pengantar Sejarah Indonesia 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium Jilid I. Jakarta: Gramedia.
Diktat Kuliah Sejarah Imdonesia Abad XIX dan XX: Sistem Politik Kolonial dan Administrasi Pemerintahan Hindia-Belanda. Drs. Daliman, M. Pd.

No comments:

Post a Comment