A.
Pendahuluan
Tidak dapat disangkal bahwa Islam merupakan komponen
penting yang turut membentuk dan mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia
dari waktu ke waktu. Perjuangan umat Islam merupakan suatu proses ke arah
pembentukan pola tatanan baru dalam dinamika kehidupan beragama, berbangsa, dan
bernegara.
Dalam kurun waktu permulaan abad 20 hingga abad 21
sekarang ini, pergerakan Islam memberikan peran tersendiri di negeri ini.
Perjalanan sejarah umat Islam di Indonesia memperlihatkan peranan yang amat
dominan dalam menyuarakan dan menegakkan kemerdekaaan dalam segala aspeknya;
menentang penjajahan, mengupayakan kemerdekaan politik untuk membebaskan diri
dari belenggu pen-jajahan, perjuangan bersenjata dalam perang kemerdekaan,
perjuangan di alam pembangunan dalam mengisi kemerde-kaaan, hingga menyuarakan
kemerdekaaan berpikir, umat Islam tampil paling depan dengan segala
konsekwensinya. Tapi, terkadang ia tampil dalam pentas politik nasional, dan
terkadang pula ia terpental darinya.
B.
Zaman Kolonial Belanda
Bangsa Indonesia
/ umat Islam sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 berada di bawah
kekuasaan imperialisme Barat (Belanda yang paling lama) yang menguasai segala
aspek kehidupan dan mencoba melumpuhkan kekuatan. Sejak zaman VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie) masa awal penjajahan Belanda, berganti ke zaman
Cultuur Stelsel (tanam paksa) terus ke periode Etische Politiek (polotik etis),
hingga zaman Volksraad (Dewan Rakyat) tempat berbagai diplomasi politik
ber-kembang, dan berakhir pada zaman Exorbitante Rechten (hak luar biasa di
tangan Gubernur Jenderal), kekayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia dihisap
oleh penjajah Belanda. Kemerdekaan berpikir dan bertindak dirampas oleh
kekuatan politik kolonial. Akibat dari lima
periode penjajahan Belanda tersebut bangsa Indonesia
menanggung penderitaan yang tiada tara . Umat
Islam pun bangkit menentangnya. Umat Islam menjadi barisan terdepan dalam
menghadapi penjajahan Belanda, karena Islam pada dasarnya anti imperialisme
dalam segala bentuk dam manifestasinya. Sebut saja Sultan Hasanudin, Sultan
Ageng Tirtayasa, Imam Bonjol, Pengeran Dipenogoro, Teuku Umar, Tjut Nyak Dien,
dan masih banyak pemimpin-pemimpin Islam lainnya, mereka bangkit mengobarkan
perlawanan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
Pemerintah Belanda pun memahami, jika kesadaran
persatuan umat Islam yang bersumber kepada ajaran tergalang, maka bahaya dan
bencana besar bagi kekuatan kolonial Belanda akan mengancam. Pada akhirnya
mereka pun menggunakan politik devide et impera; memecah belah untuk kemudian
menguasai.
C.
Berdirinya Syarekat Dagang Islam
Kesadaran akan pentingnya persatuan umat Islam dalam
menentang penjajahan kolonial Belanda dalam bentuk organisasi baru terwujud dan
berkembang pada awal abad ke-20. Masa akhir penjajahan Belanda, memberikan
gambaran tentang pertumbuhan pergerakan keislaman di Indonesia . Pada masa permulaan abad
20, ketika rasa nasionalisme modern masih baru tumbuh, kata “Islam” merupakan
kata pemersatu bagi bangsa Indonesia
yang berhadapan bukan saja dengan pihak Belanda tapi juga dengan orang-orang
Cina.
Haji Samanhudi di bawah keadaan ini, terpanggil untuk
menjawab tantangan penjajah yang benar-benar dirasakan melumpuhkan ummat.
Penguasa pribumi dilumpuhkan dengan "perlakuan baik" oleh penjajah,
sehingga mematikan kewaspadaannya terhadap upaya penindasan penjajah. Seperti
yang dituturkan oleh RA Kartini dalam 'Habis Gelap Terbitlah Terang', bahwa
kondisi bangsawan Surakarta sudah dekadensi, pemadat dan memiliki isteri dalam
jumlah di luar ajaran Islam. Seorang bangsawan rendah memiliki 26 isteri.
Sebaliknya petani sudah tidak memiliki tanah karena sudah dikuasai pemodal
asing. Lalu apa yang dirintis oleh Samanhudi di tengah keadaan yang sudah
seperti ini?
Dicobanya mendirikan Taman Pewarta (1902-1915) agar
dapat mensilaturrahmikan ide jiwa wiraniaga ke rumah-rumah ummat Islam.
Samanhudi bersama-sama temannya (Sumowardoyo, Jarmani, Harjosumarto, Sukir dan
Martodikoro) mendirikan Syarekat Dagang Islam (SDI) 16 Oktober 1905,. Dalam
perkembangan selanjutnya, organisasi ini berganti nama Syarekat Islam (SI), dan
akhirnya menjadi Partai Syarekat Islam Indonesia (PSII).
Taman Pewarta ini dicetak di percetakan Sie Dhian Ho.
Betapa cepatnya reaksi pemerintah kolonial Belanda terhadap aktivis jurnalistik
Samanhudi. Segera ditandingi oleh terbitnya Soenda Berita (1903-1905) yang
dipimpin oleh Tirto Adhisoerjo dengan penyandang dana Bupati Cianjur, RAA
Adipati Aria Prawiradiredjo. Bupati Cianjur ini terkaya di antara bupati di
pulau Jawa. Namun sekalipun dengan dana yang melimpah, tidak menunjang
berlangsungnya Soenda Berita, yang hanya mampu berlangsung 3 tahun.
Sepulangnya dari Maluku, Soenda Berita sekalipun tidak
mengalami kesulitan dana, namun tak berlanjut terbit. Itu akibat Tirto Adi
Soerjo menerbitkan Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Keduanya
mendapatkan dukungan dari Bupati RTA Tirtokoesoemo sebagai regent Karanganyar
dan Presiden Budi Utomo (BU). Perlu dicatat bahwa Putri Hindia mendapatkan
bintang kehormatan dari Ratu Belanda. Mengapa di tengah deru kebangkitan
nasional yang menentang penjajah Protestan Belanda tiba-tiba Ratu Belanda
memberikan hadiah? Tentu isi Putri
Hindia pemberitaannya dianggap sejalan dengan tujuan upaya
pelestarian penjajahan kerajaan
Protestan Belanda.
Pemerintah Belanda tidak hanya menandingi Taman Pewarta
dengan media cetak seperti di atas, tetapi juga mendirikan organisasi dagang
tandingan SDI Solo dengan membangun organisasi Sarekat Dagang Islamiyah (27
Maret 1909) di Bogor yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo. Ternyata hanya mampu
bertahan sampai tahun 1912. Pasalnya Tirto Adhi Soerjo kemudian bergabung
dengan Sarekat Islam, dan meninggalkan BU.
D.
Provokasi Huru-hara Anti Cina
Pemerintah kolonial Belanda membaca hubungan akrab SDI
Solo dengan Cina Indonesia
yang membentuk organisasi Khong Sing. Kerja sama dagang ini terjadi akibat
pengaruh kemenangan revolusi Cina Sun Jat Sen 1911, yang mendapatkan bantuan
Cina Islam di Tiongkok. Oleh karena itu Sun Jat Sen sangat berterima kasih
dengan peryataannya, "Bangsa Cina tidak akan melupakan bantuan yang telah
diberikan oleh teman senegara yang beragama Islam, demi kepentingan tercapainya
keadaan yang teratur dan kemerdekaan."
Sebaliknya pemerintah kolonial Belanda khawatir pengaruh
revolusi Cina 1911 menjalar ke Indonesia .
Di Surabaya terlihat aktivitas politik Cina Indonesia meningkat. Untuk
menghentikannya agar tidak menjalar ke Jawa Barat perlu diciptakan provokasi di
Jawa Tengah yang mengakibatkan Huru-hara anti Cina di Jawa Tengah. Kemudian SDI
Solo dikambing hitamkan atau scapegoating yang bertanggung jawab terhadap huru
hara tersebut.
Semula pedagang batik tidak percaya bahwa Cina Solo
memonopoli segenap bahan batik. Samanhudi sebagai pemilik pabrik batik, tidak
terpengaruh berita provokatif. Untuk mempercepat proses, pemerintah Belanda
menggunakan tentara Mangkunegaran sebagai pemicunya, meletuslah Huru-hara anti
Cina 1912. Diikuti dengan serangan tentara berkuda dari legium Mangkunegaraan
ke perkampungan Cina. Dan dikembangkan dengan berita dan tuduhan, SDI sebagai biang keladinya.
E.
Dampak Huru-hara
Dengan mudah Residen Solo G.F. Van Wijk menjatuhkan
hukuman skorsing terhadap SDI Solo, untuk menghentikan segenap aktifitas
organisasinya. Tetapi skorsing ini hanya berlaku sampai seminggu. Pada 26
Agustus 1912 dicabut kembali, dengan syarat bahwa SDI hanya untuk Surakarta
saja, tidak diperkenankan meluaskan organisasinya sampai Nusantara.
Samanhudi segera melakukan konsolidasi. Menyerahkan
kepemimpinan SDI kepada Oemar Said Tjokroaminoto, salah seorang anggota SDI.
Konsolidasi ini segera menghidupkan kembali Sarekat Islam (SI) yang sudah
dibangun sejak 1906. Perubahan nama ini guna menghindarkan diri dari ketentuan
persyaratan skorsing di atas. Samanhudi ternyata menemukan pelaku sejarah yang
brilian, yakni Oemar Said Tjokroaminoto yang menjadikan SI pada 10 September
1912, mendapatkan badan hukum.
F.
Syarekat Islam
Syarekat Islam membela kepentingan-kepentingan pedagang Indonesia
dari pedagang Cina. namun kenyataannya Syarikat Islam lebih luas dari maksud
semula dan seolah-olah merupakan suatu isyarat bagi orang-orang muslim untuk
memulai suatu gerakan untuk melawan semua kepincangan dan ketidakadilan yang
menimpa rakyat Indonesia Indonesia baik dari saudagar-saudagar Cina maupun dari
pemerintah kolonialis bahkan dari bangsa sendiri yang berkhianat.
Organisasi ini digerakkan oleh orang-orang yang tidak
menjadi pegawai pemerintah kolonial, bahkan ditegaskan bahwa pegawai negari tidak
boleh menjadi anggota pengurus. diantara yang menjadi anggota adalah alim ulama
dan kyai-kyai, yang membela kepentingan rakyat kecil yang dirasakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Kongres Syarikat Islam pertama kali diadakan pada bulan
Januari 1913 di Surabaya. H. Oemar Said Tjokroaminoto terpilih sebagai ketua
Syarikat Islam dan kota Surabaya ditetapkan sebagai Pusat kedudukan Syarikat
Islam.
Tujuan Syarikat Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Mengembangkan jiwa dagang.
2.
Membantu anggota-anggota yang
kesulitan dalam bidang usaha.
3.
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat derajat rakyat.
4.
Memperbaiki pendapat-pendapat
keliru tentang ajaran Islam.
5.
Hidup menurut perintah agama.
Dari kegiatan organisasi ini dapat dilihat bahwa
Syarekat Islam memperjuangkan hal-hal yang sesungguhnya terletak di bidang
politik juga, yaitu perjuangan terhadap penindasan dan pemerasan oleh
pemerintah kolonial dari segi keadilan dan kebenaran. Seluruh media massa Indonesia
telah membantu menyebarluaskan cita-cita Syarekat Islam dan sudah tentu dengan
aksi-aksinya.
Laju pertumbuhan Syarekat Islam sudah tidak dapat
dibendung lagi dan pertumbuhan
organisasi ini berhasil masuk sampai kelapisan bawah masyarakat, ini
disebabkan oleh beberapa hal :
1.
Membela kepentingan rakyat
kecil.
2.
Menekankan pertentangan ekonomi
yang tidak seimbang.
3.
Bertalian dengan agama Islam,
agama yang banyak dianut oleh rakyat Indonesia .
Pada tahun 1913-1914 terjadi banyak kerusuhan anti Cina
di Jawa seperti di Surabaya , Solo, Semarang , Cirebon ,
Tangerang, dan banyak desa-desa diresahkan oleh keterangan-keterangan komunal.
Di samping itu juga timbul keributan-keributan yang ditimbulkan oleh legitasi
yang dipimpin oleh Syarekat Islam yang arahnya menentang pemerintah kolonial.
Maka pada tahun 1913 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang menetapkan
bahwa cabang-cabang Syarekat Islam harus berdiri sendiri untuk daerah
masing-masing. Namun suatu pengurus sentral yang merupakan badan perwakilan
dari Syarekat Islam itu tetap diijinkan.
Bagi Cina Indonesia , huru-hara anti Cina
dikondisikan menjadi pecah dengan pribumi. Konsekuensi lanjutnya adalah tidak
mendukung gerakan nasional Indonesia .
Cina memohon pelindungan kepada pemerintah kolonial Belanda dan menolak segenap
pengaruh gerakan kemerdekaan dari Negeri Cina. Dalam hal ini Viktor Purcell,
dalam The Chinese in Southeast Asia, mengistilahkan Cina Indonesia sebagai
Watchdog (penjaga setia), bertugas membendung pengaruh Pemberontakan Bokser dan
Revolusi Cina Sun Jat Sen agar tidak masuk ke Indonesia.
Pada tahun 1915 di Surabaya
didirikan Central Syarekat Islam (CSI). Tugasnya membatu Syarekat Islam daerah kearah
kemajuan dan mengatur kerjasama antara Syarekat Islam daerah. Pada bulan Juni
1916 di Bandung diadakan suatu kongres nasional Syarekat Islam. Dalam kongres
ini resmi digunakan bahasa melayu. Sedangakan Kongres yang ke II di Jakarta ,
menghendaki Volksraad menjadi parlemen sejati.
Sebagian kecil pemimpin Syarekat Islam menolak masuk
Volksraad, karena menganggap volksraad hanyalah sebagai alat kaum kapitalis
untuk mengelabuai rakyat. Kaum sosialis kiri yang bergabung dalam Indische
Social Vereeniging (ISDV) yang didirikan pada tahun 1914 yang dipimpin H.J.F.M.
Sneevliet, berhasil menyusup ke Syarekat Islam oleh karena tujuannya yang sama
yaitu membela rakyat dan menentang kaum kapitalisme tetapi dengan cara yang
berbeda, mereka berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh Syarekat Islam antara lain :
Semaun, Darsono, Tan Malaka dan Alimin Prawirodirjo. Yang menyebabkan ISDV elakukan
infiltrasi kedalam tubuh Syarekat Islam. hal ini disebabkan oleh :
1.
CSI sebagai badan koordinasi
pusat kekuasaannya masih lemah.
2.
Tiap cabang Syarekat Islam
berdiri sendiri secara bebas.
3.
Para pemimpin lokal yang kuat mempunyai pengaruh yang menentukan di
Syarekat Islam cabang.
4.
Kondisi kepartaian pada saat
itu menmungkinkan seseorang menjadi anggota 2 paratai sekaligus.
Dengan demikian beberapa pemimpin muda Syarekat Islam
juga menjadi pemimin di ISDV, terutama Syarekat Islam cabang Semarang . Oleh sebab itu Orientasi Syarekat
Islam Semarang di bawah pengaruh ISDV mereka menjadi lawan CSI yang dipimpin
oleh HOS Cokroaminoto. Sejak saat itu Syarekat Islam Semarang berhasil di bawa
ke arah Komunis Rusia.
Berhasilnya revolusi Rusia tahun 1917, maka kaum komunis
Indonesia tanpa
mempertimbangkan keadaan yang nyata di Indonesia
juga menyerukan Indonesia
agar melakukan Revolusi. Sementara itu, ketitakpuasan terhadap volksrood yang
dituntut agar diganti dengan parlemen sejati menimbulkan masalah serius di Indonesia .
Untuk meredakan ketegangan, pemerintah belanda melalui Gubernur Jendral Belanda
mengeluarkan pengumuman pada bulan November 1918, yang berisi janji untuk
memperbaharui ketatanegaraan di Indonesia .
Maka pada bulan November 1919 dibentuk komisi peninjauan kembali. Hasil komisi
ini tidak memuaskan pergerakan Nasional Indonesia. Ketika keadaan sudah reda,
pemerintah mengmbil tindakan keras. Orang-orang Belanda yang Radikal diusir
dari Indonesia dan beberapa
pemimpin Indonesia
di tangkap.
Kongres Syarekat Islam Maret 1921 di Yogyakarta, Haji
Facrudin sebagai wakil ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan
bahwa Pan Muslim tidak mungkin bekerjasama dengan komunis. Akhirnya atas
desakan-desakan keras dari tokoh-tokoh Syarekat Islam seperti Abdul Muis dan
Agus Salim maka cabang-cabang Syarekat Islam yang terpengaruh PKI memisahkan
diri. Dalam kongres bulan Pebruari 1928 di Madiun, diganti nama CSI dengan
Partai Syarekat Islam (PSI). Sikap non Kooperasi dengan pemerintah Belanda
tetap dijalankan.
DAFTAR PUSTAKA
Kahin, George Mc Turman, Nationalism and Revolution Indonesia ,
Ithaca : Cornel University
Press, 1952.
Legge, J.D., Indonesia , Kuala Lumpur : Percetakan
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981.
Pringgodigdo,
A.K., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia,
Jakarta : Pustaka Rakyat, 1960.
Sartono
Kartodirjo, Sejarah Nasional Indonesia
Jilid V, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1970.
No comments:
Post a Comment