Thursday, October 13, 2016

Resensi Buku JALAN KE PENGASINGAN

JALAN KE PENGASINGAN
Pengarang       : John Ingleson
Penerbit           : LP3ES
Tahun              : 1983
Tebal               : 263 Halaman

            Buku ini ditulis seorang mahasiswa pasca sarjana pada jurusan sejarah pada Universitas New South Wales yaitu John Ingleson. Di dalam buku ini kita diberikan pengetahuan tentang sejarah Indonesia pada masa pergerakan nasional. Kelebihan dalam penulisan buku ini adalah penulis mampu menjelaskan langkah langkah yang diambil oleh para tokoh pergerakan nasional. Sedangkan kekurangan dari buku ini  adalah kurang dijelaskannya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda sewaktu masa penjajahan.
Sedangkan ikhtisar dari buku tersebut adalah seperti di bawah ini ; Kematian kaum non-kooperasi telah ikut mempercepat perkembangan PBI dan Budi Utomo yang menjadi pokok pembicaraan sejak tahun 1930. Pada bulan Desember 1935 kedua organisasi itu membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra) yang terus melanjutkan politik kooperasi yang moderatnya. Parindra dan Gerindo merupakan organisasi kaum nasionalis yang paling terkemuka setelah tahun 1934 karena usaha-usahanya untuk tetap menghidupkan perjuangan politik. Suara kedua organisasi itu tersendat-sendat oleh pembatasan-pembatasan terhadap pers, tetap berlakunya larangan mengadakan rapat umum yang bersifat politik dan peringatan pemerintah yang berulang-ulang bahwa setiap usaha yang bermaksud untuk menghidupkan kembali partai-partai non-kooperator tersebut akan ditumpas. Gubernur Jenderal Van Starkenborgh Stachouwer yang mengganti De Jonge pada tahun 1936 meneruskan politik represif terhadap kaum nasionalis, Volksraad hampir merupakan satu-satunya forum yang tidak mendapat sensor dari pemerintah. ini bukanlah sesuatu yang membesarkan hati karena permohonan yang terkecil sekalipun untuk pembaruan politik tetap tak digubris oleh pemenintah yang dalam kepicikannya merasa yakin bahwa, ‘ketenangan dan ketertiban’ telah terpulih dan bahwa kaum nasionalis itu adalah suatu kelompok yang kecil saja, tidak representatif dan juga impoten. Kaum nasionalis semakin merasa putus asa untuk memperoleh konsesi apa pun dan Belanda dan karenanya berharap bahwa perang Pasifik yang semakin mendekat itu dapat mengakhiri cengkeraman Belanda atas Hindia Belanda.
Politik agitasi Sukarno telah membuat pemerintah marah sebagaimana telah diramalkan oleh para pengritiknya, tetapi politik pembentukan kader dan Hatta yang lebih berhati-hati ternyata sama juga hasilnya. Pada akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama. PNI Baru telah ditindas seperti halnya Partindo, tetapi ia mempunyai potensi yang jauh lebih besar untuk berkembang menjadi suatu organisasi massa yang rapi organisasinya. Dengan pembuangan Hatta dan Sjahrir serta déngan penghancuran PNI Baru, maka tantangan ideologis partai itu kepada Partindo berakhir lebih cepat daripada seharusnya. Radikalisme sosial dan ekonomi PNI Baru tetap bertahan di kalangan sebagian kecil kaum nasionalis sekuler dengan konsekuensi-konsekuensi penting bagi revolusi setelah tahun 1945.
Pada akhirnya Hatta dan Sukarno saling melengkapi karena keduanya sama-sama memberikan sumbangan kepada proses pendalaman yang luar biasa dan kesadaran nasional pada periode ini. Ideologi kaum nasionalis sekuler itu banyak berhutang budi kepada Hatta, dan sikapnya yang terus menerus menekankan perlunya organisasi yang kuat serta kader yang berdisiplin dan terdidik telah agak meredakan sikap Sukarno yang lebih agitatif dan flamboyan, akan tetapi jangkauan pengaruh Hatta kurang lebih hanya terbatas pada pemimpin-pemimpin pergerakan yang berasal dan elite kota yang berpendidikan Barat. Ia tak pandai berpidato di depan umum dan tidak terlalu mudah berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas.
Berlanjutnya tekanan terhadap pers nasional oleh pemerintah Hindia Belanda dan larangan untuk mengadakan rapat-rapat umum yang bersifat politik secara ironis telah turut mencegah munculnya orang-orang yang dapat menantang kepemimpinan Sukarno dan Hatta selama keduanya berada dalam keadaan yang merana di tempat pembuangan. Penindasan terhadap Partindo dan PNI Baru ternyata jauh lebih ringan dari tindakan terhadap PKI dulu ketika ribuan anggota biasa juga dibuang atau diasingkan ke Boven Digul. Setelah tahun 1934, baik Sukarno maupun Hatta tetap terus menulis untuk pers Indonesia, walaupun bukan mengenai masalah-masalah politik, dan dan tempat pembuangan keduanya tetap mempertahankan kepemimpinan rohani mereka. Untunglah bahwa kekuasaan Belanda hanya masih bertahan selama delapan tahun lagi, suatu masa yang cukup panjang untuk tumbuhnya kemasyhuran mereka sebagai martir tetapi cukup singkat bagi teman-teman seperjuangan mereka untuk mengingat dan menghargai kualitas pribadi dan kecakapan politik mereka.
Keadaannya kemudian tergantung pada orang-orang Jepang yang mengadakan serangan pada tahun 1942 untuk menghancurkan ketenangan semua masyarakat Indonesia dan membiarkan semangat kaum nasionalis sekali lagi muncul ke permukaan, Kemudian Sukarno, Hatta dan mereka yang telah memimpin PNI, Partindo dan PNT Baru memakai kepercayaan yang telah mereka peroleh dari kaum nasionalis selama masa penjajahan untuk memimpin gerakan terakhir menuju kemerdekaan. Proklamasi kernerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah titik puncak perjuangan politik selama lebih dari 20 tahun.
Dalam buku karangan John Ingleson, penggunaan bahasanya masih kurang baik, walaupun begitu saya rasa buku ini wajib di baca apabila kita ingin melihat atau mengetahui sejarah masa pergerakan nasional.

No comments:

Post a Comment