JALAN KE PENGASINGAN
Pengarang : John Ingleson
Penerbit : LP3ES
Tahun : 1983
Tebal : 263 Halaman
Buku ini ditulis
seorang mahasiswa pasca sarjana pada jurusan sejarah pada Universitas New South Wales yaitu John
Ingleson. Di dalam buku ini kita diberikan pengetahuan tentang sejarah Indonesia
pada masa pergerakan nasional. Kelebihan dalam penulisan buku ini adalah
penulis mampu menjelaskan langkah langkah yang diambil oleh para tokoh
pergerakan nasional. Sedangkan kekurangan dari buku ini adalah kurang dijelaskannya tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda sewaktu masa penjajahan.
Sedangkan ikhtisar dari buku tersebut adalah seperti di
bawah ini ; Kematian kaum non-kooperasi telah ikut mempercepat perkembangan PBI
dan Budi Utomo yang menjadi pokok pembicaraan sejak tahun 1930. Pada bulan
Desember 1935 kedua organisasi itu membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra)
yang terus melanjutkan politik kooperasi yang moderatnya. Parindra dan Gerindo
merupakan organisasi kaum nasionalis yang paling terkemuka setelah tahun 1934
karena usaha-usahanya untuk tetap menghidupkan perjuangan politik. Suara kedua
organisasi itu tersendat-sendat oleh pembatasan-pembatasan terhadap pers, tetap
berlakunya larangan mengadakan rapat umum yang bersifat politik dan peringatan
pemerintah yang berulang-ulang bahwa setiap usaha yang bermaksud untuk
menghidupkan kembali partai-partai non-kooperator tersebut akan ditumpas.
Gubernur Jenderal Van Starkenborgh Stachouwer yang mengganti De Jonge pada
tahun 1936 meneruskan politik represif terhadap kaum nasionalis, Volksraad
hampir merupakan satu-satunya forum yang tidak mendapat sensor dari pemerintah.
ini bukanlah sesuatu yang membesarkan hati karena permohonan yang terkecil
sekalipun untuk pembaruan politik tetap tak digubris oleh pemenintah yang dalam
kepicikannya merasa yakin bahwa, ‘ketenangan dan ketertiban’ telah terpulih dan
bahwa kaum nasionalis itu adalah suatu kelompok yang kecil saja, tidak
representatif dan juga impoten. Kaum nasionalis semakin merasa putus asa untuk
memperoleh konsesi apa pun dan Belanda dan karenanya berharap bahwa perang
Pasifik yang semakin mendekat itu dapat mengakhiri cengkeraman Belanda atas
Hindia Belanda.
Politik agitasi Sukarno telah membuat pemerintah marah sebagaimana telah
diramalkan oleh para pengritiknya, tetapi politik pembentukan kader dan Hatta
yang lebih berhati-hati ternyata sama juga hasilnya. Pada akhirnya keduanya
mengalami nasib yang sama. PNI Baru telah ditindas seperti halnya Partindo,
tetapi ia mempunyai potensi yang jauh lebih besar untuk berkembang menjadi
suatu organisasi massa
yang rapi organisasinya. Dengan pembuangan Hatta dan Sjahrir serta déngan
penghancuran PNI Baru, maka tantangan ideologis partai itu kepada Partindo
berakhir lebih cepat daripada seharusnya. Radikalisme sosial dan ekonomi PNI
Baru tetap bertahan di kalangan sebagian kecil kaum nasionalis sekuler dengan
konsekuensi-konsekuensi penting bagi revolusi setelah tahun 1945.
Pada akhirnya Hatta dan Sukarno saling melengkapi karena
keduanya sama-sama memberikan sumbangan kepada proses pendalaman yang luar
biasa dan kesadaran nasional pada periode ini. Ideologi kaum nasionalis sekuler
itu banyak berhutang budi kepada Hatta, dan sikapnya yang terus menerus
menekankan perlunya organisasi yang kuat serta kader yang berdisiplin dan
terdidik telah agak meredakan sikap Sukarno yang lebih agitatif dan flamboyan,
akan tetapi jangkauan pengaruh Hatta kurang lebih hanya terbatas pada
pemimpin-pemimpin pergerakan yang berasal dan elite kota yang berpendidikan
Barat. Ia tak pandai berpidato di depan umum dan tidak terlalu mudah
berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas.
Berlanjutnya tekanan terhadap pers nasional oleh
pemerintah Hindia Belanda dan larangan untuk mengadakan rapat-rapat umum yang
bersifat politik secara ironis telah turut mencegah munculnya orang-orang yang
dapat menantang kepemimpinan Sukarno dan Hatta selama keduanya berada dalam
keadaan yang merana di tempat pembuangan. Penindasan terhadap Partindo dan PNI
Baru ternyata jauh lebih ringan dari tindakan terhadap PKI dulu ketika ribuan
anggota biasa juga dibuang atau diasingkan ke Boven Digul. Setelah tahun 1934,
baik Sukarno maupun Hatta tetap terus menulis untuk pers Indonesia , walaupun bukan mengenai
masalah-masalah politik, dan dan tempat pembuangan keduanya tetap
mempertahankan kepemimpinan rohani mereka. Untunglah bahwa kekuasaan Belanda
hanya masih bertahan selama delapan tahun lagi, suatu masa yang cukup panjang
untuk tumbuhnya kemasyhuran mereka sebagai martir tetapi cukup singkat bagi
teman-teman seperjuangan mereka untuk mengingat dan menghargai kualitas pribadi
dan kecakapan politik mereka.
Keadaannya kemudian tergantung pada orang-orang Jepang
yang mengadakan serangan pada tahun 1942 untuk menghancurkan ketenangan semua
masyarakat Indonesia dan membiarkan semangat kaum nasionalis sekali lagi muncul
ke permukaan, Kemudian Sukarno, Hatta dan mereka yang telah memimpin PNI,
Partindo dan PNT Baru memakai kepercayaan yang telah mereka peroleh dari kaum
nasionalis selama masa penjajahan untuk memimpin gerakan terakhir menuju
kemerdekaan. Proklamasi kernerdekaan Indonesia oleh Sukarno dan Hatta
pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah titik puncak perjuangan politik selama lebih
dari 20 tahun.
Dalam buku karangan John Ingleson, penggunaan bahasanya
masih kurang baik, walaupun begitu saya rasa buku ini wajib di baca apabila
kita ingin melihat atau mengetahui sejarah masa pergerakan nasional.
No comments:
Post a Comment