BAB I
PENDAHULUAN
Delapan
belas tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di negeri China.
Puluhan ribu mahasiswa yang menuntut demokratisasi di lapangan Tiananmen
ditindak represif, sejumlah tank pasukan Tentara Merah menggilas mereka, ribuan
mahasiswa tersungkur dan tewas berlumuran darah. Ribuan mahasiswa ditangkap
dijebloskan ke penjara, ratusan lainnya hilang entah ke mana. Sampai sekarang
para aktivis mahasiswa masih banyak yang berada di penjara, dan mereka yang
berhasil melarikan diri terus memperjuangkan
demokrasi di negeri
itu.
Peristiwa
Tiananmen yang terjadi pada 4 Juni 1989 adalah sejarah kelam pemerintahan
komunis China setelah Revolusi Kebudayaan. Meskipun sudah lima belas tahun
berlalu, dosa sejarah ini sepertinya terus membayangi. Seminggu menjelang
tanggal 4 Juni, pemerintah China sudah sibuk mengamankan lapangan Tiananmen,
pasukan Tentara Merah dalam posisi siaga berjaga-jaga di sekitar lapangan itu.
Siapa pun yang mempersoalkan kembali tragedi berdarah itu ditindak. Para
wisatawan yang mengambil gambar juga dipaksa untuk menghapus dari kameranya.
Seorang fotografer dari Assosiated Press sempat ditangkap ketika mengambil
gambar di lokasi pembantaian mahasiswa itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERGOLAKAN POLITIK
Mulai bulan November 1985 Partai Komunis Cina berusaha
untuk meluruskan jalannya Modernisasi 4 bidang dengan mengadakan operasi
pembersihan terhadap para pejabat yang korup. Pada bulan itu juga terjadi
demonstrasi mahasiswa yang mengecam Jepang sebagai “agresor ekonomi”. Sekretarjs
Jenderal Partai Komunis, Hu Yao Bang dituduh mempunyai hubungan erat dengan
Perdana Menteri Jepang, Yashiro Nakasone. Untuk meredakan ketegangan itu Hu Yao
Bang mengutus beberapa pembantunya untuk mengadakan dialog dengan para
mahasiswa. Sebaliknya Deng Xiao Ping justru menghangatkan suasana dengan
memperingatkan Jepang, bahwa surplus neraca dagangnya yang kian meningkat akan
mengancam hubungan ekonomi RRC-Jepang.
April 1986 kota Beijing didatangi oleh sekitar 20.000
orang mantan Pengawal merah dengan maksud untuk menuntut Partai Komunis Cina
agar seluruh mantan Pengawal Merah yang sejak berakhimya Revolusi Kebudayaan
disingkirkan ke daerah-daerah pedalaman, diijinkan kembali ke tempat asal masing-masing.
Untuk menanggulangi masalah ini, maka Wali kota Beijing Chen Xi Tong, dan
Sekretaris Partai Komunis Cabang Beijing, Li XI Ming telah mengadakan
pembicaraan dengan mereka, dan berhasil mendesak untuk kembali ke tempat kerja
masing-masing didaerah pedalaman.
Desember 1986 pelbagai ibukota propinsi dilanda
demonstrasi mahasiswa, yang menuntut dilaksanakannya demokrasi. Adapun yang
paling mencolok adalah demonstrasi mahasiswa Shanghai 20 Desember 1986. Mereka
mengajukan tuntutan kepada Walikota Jiang Ze Ming sebagai berikut: (1). agar
hak memasang poster dan mengadakan debat secara terbuka diberikan kembali; (2).
kebebasan pers; (3). jaminan akan keamanan para mahasiswa yang berdemonstrasi
(4). pernyataan dari Walikota bahwa demonstrasi tersebut adalah legal.
Polisi membubarkan kaum demonstran akan tetapi hari berikutnya
demonstrasi di Shanghai
justru membengkak hingga meliputi jumlah puluhan ribu orang. Di sana-sini
terjadi bentrokan antara demonstran dan polisi. Di Beijing pun demonstrasi
kambuh kembali. Pemenintah RRC mulai memperingatkan bahwa demonstrasi tanpa
ijin akan dikenakan tindakan tegas. Deng Xiao Ping pun sampai mengadakan Sidang
Komisi Militer Pusat (11-25 Desember 1986).
Dalam sidang tersebut para sesepuh Tentara Pembebasan
Rakyat menyatakan kekecewaannya terhadap Hu Yao Bang, yang dinilai terlalu bertenggang
rasa terhadap para demonstran, dan tidak mengambil sikap yang jelas dalam
menghadapi apa yang dsebut “liberalisasi borjuis”.
Peng Chen bahkan mengecam Hu Yao Bang telah mengingkari
Prinsip Dasar Marxisme, Leninisme, Pikiran Mao Ze Dong. Karena penilalan dan
desakan tersebut, maka Hu Yao Bang meletakkan jabatannya sebagai SekretarIs Jenderal
Partai Komunis Cina.
Penggantinya adalah Zhao Zi Yang, sedangkan jabatan Perdana Menterl
RRC yang ditinqqalkannya dipercayakan kepada Li Peng. Pada hari tahun baru 1987
terjadi suatu demonstrasi tandingan ; sekitar 2000 mahasiswa memasuki lapangan
Tian An Men di pusat kota Beijing dengan poster-poster bertulisan slogan-slogan
yang serba mendukung Politik Modernisasi, dan sebaliknya mengecam ‘kaum reaksioner
dan kaum pengacau”.
Berbeda dengan masa-masa yang lalu, maka pada suasana
yang kalut tersebut RRC menyelenggarakan Kongres Rakyat Naslonal VII (Maret
1988).
Perdana Menteri Li Peng yang menyampaikan laporan
tentang karya Pemerintah RRC menilai bahwa kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi
RRC disebabkan oleh perumusan ekonomi tahun 1987 yang salah. Menumbuhkan
perekonomian yang cepat dengan harapan dapat tercipta mekanisme pasar dalam
waktu singkat, tanpa memperhatikan jumlah penduduk RRC yang begitu banyaknya
itu, ternyata telah mengakibatkan inflasi. Li Peng merumuskan kebijakan
berdasarkan prinsip stabilitas ekonomi. Ditegaskan pula bahwa Pemerintah RRC
tidak akan mengekor Uni Soviet di bawah pimpinan Gorbachev yang menjalankan
“Glaznotch” (keterbukaan) dan “Perestroika” (kebebasan), melainkan berpedoman
pada prinsip, bahwa setiap negara harus berjalan sesuai dengan kondisi masing-masing.
Dalam menetapkan kebijakan ekonominya, Pemerintah RRC
menyatakan akan mengurangi anggaran belanjanya, menunda pembangunan
proyek-proyek baru, dan menutup perusahaan yang menggunakan energi dan bahan
mentah yang berlebihan. Sistem perpajakan baru akan diberlakukan guna
mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang berada. Gaji’ buruh dl
kota-kota akan dinaikkan.
Aliran konservatif menyarankan agar reformasi
dilaksanakan dengan skala kecil dan secara bertahap. Di samping itu mereka
mendesak agar diperhatikan kembali piinsip ekonomi berencana yang dikaitkan
dengan pertimbangan kemurnian ideologi. Sidang kemudian memilih Jenderal Yang
Shang Kun (81 tahun) sebagai Presiden RRC, Wan Li (71 tahun) sebagai Ketua
Kongres Rakyat Nasional, Marsekal Li Xian Nian (79 tahun) sebagai Ketua Majelis
Permusyawaratan Politik Rakyat Cina.
B.
PERISTIWA BERDARAH
Pada tanggal 28 Maret 1989 suatu kelompok wartawan
Hongkong tiba di kota
Tian Jin, yang terletak 60 km di sebelah Timur Beijing. Mereka mengajukan
petisi kepada Kongres Rakyat Nasional agar seluruh tahanan politik di RRC
dibebaskan. Petisi tersebut ditandatangani oleh 24.000 simpatisan dari seluruh
pelosok dunia. Juru bicara Dewan Harian Kongres Rakyat Nasional menolak petisi
tersebut. Perdana Menteri Li Peng dalam salah satu pemyataannya mengutarakan,
bahwa proses demokrasi tidak dapat dilangsungkan secara tergesa-gesa, atau
secara benlebihan.
Di Beijing para mahasiswa secara berbondong-bondong
memasuki Tian An Men untuk meletakkan karangan bunga di sekitar tugu pahlawan
sebagai tanda duka cita dan rasa hormat. Dari hari ke hari kerumunan mahasiswa bertambah.
Sesekali pasukan polisi dikerahkan untuk mengusir mereka, terutama setelah
terdengar teriakan “Li Peng keluar! Li Peng keluar! “Televisi mulai menayangkan
himbauan agar demonstrasi dihentikan disertai ancaman tindakan tegas.
Ketika Partai Komunis menyelenggarakan upacara resmi
atas kematian Hu Yao Bang (22 April 1989), sekitar 100.000 mahasiswa bersama
pelbagai golongan masyarakat umum bersorak sorai menuntut kebebasan pers dan
berkumpul, diumumkannya kekayaan para pemimpin, serta pemulihan nama baik Hu
Yao Bang.
Pada upacara tersebut Sekretaris Jenderal Partai Komunis
yang baru, Zao Zi Yang memuji Hu Yao Bang sebagai seorang pejuang yang berani. Bentrokan
pertama terjadi di kota
Xi An dan Chang Sha di Cina Tengah (22-23 April 1989), ialah karena para
mahasiswa sehabis mengikuti siaran televisi mengenai upacara penghormatan
terhadap jenazah Hu Yao Bang kemudian mengadakan aksi pengrusakan terhadap
gedung-gedung Pemerintah dan kendaraan bermotor.
Pasukan Polisi yang dikerahkan untuk memulihkan
ketertiban mendapat perlawanan, sehingga ratusan orang menderita cedera dan
puluhan lainnya dikenakan tahanan. Sehari kemudian mahasiswa Universitas
Beijing mengadakan aksi mogok kuliah, yang segera dilkuti oieh mahasiswa
Universitas Qing Hua dan Universitas Rakyat di kota
Beijing .
Pemerintah RRC dalam seruannya melalui siaran televisi menegaskan : “Agar para
mahasiswa menghentikan aksinya, karena keonaran yang berlangsung itu tidák lain
adalah garapan segelintir manusia yang hendak meracuni pikiran rakyat,
menciptakan kegaduhan, dan mengganggu stabilitas politlk.
Namun demikian demonstrasi tidak kunjung reda, melainkan
semakin menjadi-jadi, apalagi setelah mereka mendapat dukungan dari pelbagai
buruh. Uluran tangan Pemerintah RRC dalam bentuk tukar-pikiran pun hanya
mendapat sambutan dari beberapa orang pimpinan kelompok mahasiswa. Bahkan
itupun tidak mencapai hasil suatu apa, karena pihak mahasiswa merasa tidak
tertampung kehendaknya. Apa lagi ketika tuntutan mahasiswa untuk dapat
berunding dengan Biro Pollilk Partai Komunis ditolak oleh pihak Pemenntah RRC, ketegangan
semakin meningkat. Mulai tanggal 3 Mei 1989 sekitar 1000 orang di antara para
demonstran mulai menjalani mogok makan; mereka mengulangi tuntutannya untuk
diberi kesempatan bertukar pikiran mengenai reformasi politik dengan pucuk pimpinan
Partai Komunis. Akan tetapi tuntutan tersebut tidak mendapat tanggapan sama
sekali. Selanjutnya seolah-olah pekerjaan rutin pemerintah berlangsung seperti
biasa. Bahkan rencana kunjungan Mikhail Gorbachev, Sekretanis Jenderal Partai
Komunis Uni Soviet pada tanggal 19 Mei tidak mengalami perubahan.
Pada saat itu kaum demonstran mahasiswa telah diperkuat
dengan partisapasi guru, cendekiawan, wartawan, dari pelbagai kalangan
masyarakat umum, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan ribu orang. Oleh karena
itulah maka acara Mikhall Gorbachev untuk meletakkan karangan bunga di tugu Pahlawan
di tengah-tengah lapangan Tian An Men terpaksa dibatalkan. Hal ini dinilai
sebagai suatu “tamparan” terhadap kehormatan Partai Komunis maupun Pemerintah
RRC, meskipun perundingan antara Deng Xiao Ping dan Gorbachev di Balai Agung
Rakyat Cina yang terletak di pinggiran Selatan Lapangan Tian An Men tetap
dilangsungkan.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina Zhao Zi Yang
berseru agar para mahasiswa bersikap tenang dan menjaga ketertiban. Bahkan
sesudah Gorbachev meninggalkan RRC pada tanggal 18 Mei 1989 Zhao Zi Yang
bersama Li Peng dan beberapa anggota Biro Politik Iainnya mengunjungi para
mahasiswa di rumah sakit karena mereka jatuh pingsan sebagai akibat dan aksi
mogok makan yang telah berlangsung selama 5 hari itu. Tampaknya akan terjadi
suatu pendekatan. Akan tetapi nyatanya adalah berlainan. Hari berikutnya Li
Peng dalam pidatonya di depan rapat kader Partai menegaskan bahwa demonstrasi
mahasiswa tersebut adalah suatu “pengacauan”. Setelah itu kota
Beijing
dinyatakan dalam keadaan bahaya. Rencana kunjungan Ratu Beatrix dari negara
Belanda tanggal 24-29 Mei 1989 dibatalkan. Justru pada suasana yang genting itu
beberapa puluh mahasiswa kesenian membuat patung setinggi 10 m dengan bentuk
yang menyerupai patung” Dewi Kebebasan” di lepas pantai pelabuhan New York .
Kaum demonstran mentakbiskan patung tersebut dengan nama
“Dewi Kemerdekaan”. Peragaan ini dianggap sebagai penghinaan oleh Pemerintah
RRC. Tanggal 3 Juni ribuan tentara tak bersenjata api mulai dikerahkan menuju
lapangan Tian An Men; akan tetapi ketika mendekati pintu gerbang dari padanya
mereka dihadang oleh puluhan ribu mahasiswa bersama ribuan rakyat umum
pendukung kaum demonstran.
Polisi bersama tentara yang masih mencoba menghalau kaum
demonstran dengan pentung dan tongkat pemukul terdesak mundur karena jumlahnya
terlalu sedikit. Malam datang bala bantuan tentara dan polisi yang kali itu
bersenjatakan gas air-mata. Perketahihan pun terjadi di Tian An Men bagian
Utara, yaitu di depan gedung Zhong Nan Hai, bekas tempat tinggal Mao Ze Dong
(kini dijadikan kantor Perdana Menteri RRC). Beberapa truk militer berhasil
dirusak dan beberapa orang tentara disandera oleh kaum demonstran. Pada kedua
belah pihak jatuh korban. Sejak itu ketegangan sudah demikian menghangatnya,
sehingga siapapun dapat memperkirakan bahwa letusan yang menentukan segera akan
terjadi.
Ratusan ribu demonstran bersitegang berada di tempat
dengan poster- poster dan slogan-slogan yang menghendaki kebebasan di segala
bidang dan penindakan terhadap para pemimpin yang dianggap menyeleweng
Seballknya Partai Komunis Cina pada pokoknya mempertahankan Prinsip Dasar :
Marxisme-Leninisme-Pikiran Mao Ze Dong, dan Pembangunan Sosialis (yaitu
Modernisasi 4 Bidang). Bagi para penguasa RRC, tuntutan para demonstran adalah
“demokrasi liberal”, yang tidak mungkin dipenuhi.
Letusan yang menentukan itu terjadi pada tanggal 4 Juni
1989 tengah malam, ketika tentara Pembebasan Rakyat Cina sejumlah sekitar
50.000 orang mengadakan serbuan terhadap para demonstran dengan menggunakan
satuan kendaraan berlapis baja dan senjata otomatis. Hal yang sama pun terjadi
di Shang Hai, Nan Jing, Canton dan beberapa ibu kota propinsi lainnya.
Habislah riwayatnya demonstran mahasiswa dalam satu malam saja. Menurut
pengumuman resmi, maka korban jiwa berjumlah 300 orang, sedangkan yang terluka
berjumlah 7000 orang, dan beberapa ribu orang ditangkap.
Presiden Amerika Serikat George Bush segera
menanggapinya dengan menyesalkan terjadinya tindakan kekerasan tersebut (5 Juni
1989). Untuk sementara seluruh rencana penjualan senjata kepada RRC dan
perdagangan antara Pemerintah dihentikan. Pemerintah Inggris hanya menghentikan
penjualan senjatanya. Sedangkan Uni Soviet mendukung Partai dan Pemerintah RRC,
dan Perancis membekukan hubungan diplomatiknya dengan RRC.
No comments:
Post a Comment