Thursday, October 13, 2016

Peristiwa Tiananmen

BAB I
PENDAHULUAN

Delapan belas tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di negeri China. Puluhan ribu mahasiswa yang menuntut demokratisasi di lapangan Tiananmen ditindak represif, sejumlah tank pasukan Tentara Merah menggilas mereka, ribuan mahasiswa tersungkur dan tewas berlumuran darah. Ribuan mahasiswa ditangkap dijebloskan ke penjara, ratusan lainnya hilang entah ke mana. Sampai sekarang para aktivis mahasiswa masih banyak yang berada di penjara, dan mereka yang berhasil melarikan diri terus memperjuangkan  demokrasi  di  negeri  itu.

Peristiwa Tiananmen yang terjadi pada 4 Juni 1989 adalah sejarah kelam pemerintahan komunis China setelah Revolusi Kebudayaan. Meskipun sudah lima belas tahun berlalu, dosa sejarah ini sepertinya terus membayangi. Seminggu menjelang tanggal 4 Juni, pemerintah China sudah sibuk mengamankan lapangan Tiananmen, pasukan Tentara Merah dalam posisi siaga berjaga-jaga di sekitar lapangan itu. Siapa pun yang mempersoalkan kembali tragedi berdarah itu ditindak. Para wisatawan yang mengambil gambar juga dipaksa untuk menghapus dari kameranya. Seorang fotografer dari Assosiated Press sempat ditangkap ketika mengambil gambar di lokasi pembantaian mahasiswa itu.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.        PERGOLAKAN POLITIK
Mulai bulan November 1985 Partai Komunis Cina berusaha untuk meluruskan jalannya Modernisasi 4 bidang dengan mengadakan operasi pembersihan terhadap para pejabat yang korup. Pada bulan itu juga terjadi demonstrasi mahasiswa yang mengecam Jepang sebagai “agresor ekonomi”. Sekretarjs Jenderal Partai Komunis, Hu Yao Bang dituduh mempunyai hubungan erat dengan Perdana Menteri Jepang, Yashiro Nakasone. Untuk meredakan ketegangan itu Hu Yao Bang mengutus beberapa pembantunya untuk mengadakan dialog dengan para mahasiswa. Sebaliknya Deng Xiao Ping justru menghangatkan suasana dengan memperingatkan Jepang, bahwa surplus neraca dagangnya yang kian meningkat akan mengancam hubungan ekonomi RRC-Jepang.
April 1986 kota Beijing didatangi oleh sekitar 20.000 orang mantan Pengawal merah dengan maksud untuk menuntut Partai Komunis Cina agar seluruh mantan Pengawal Merah yang sejak berakhimya Revolusi Kebudayaan disingkirkan ke daerah-daerah pedalaman, diijinkan kembali ke tempat asal masing-masing. Untuk menanggulangi masalah ini, maka Wali kota Beijing Chen Xi Tong, dan Sekretaris Partai Komunis Cabang Beijing, Li XI Ming telah mengadakan pembicaraan dengan mereka, dan berhasil mendesak untuk kembali ke tempat kerja masing-masing didaerah pedalaman.
Desember 1986 pelbagai ibukota propinsi dilanda demonstrasi mahasiswa, yang menuntut dilaksanakannya demokrasi. Adapun yang paling mencolok adalah demonstrasi mahasiswa Shanghai 20 Desember 1986. Mereka mengajukan tuntutan kepada Walikota Jiang Ze Ming sebagai berikut: (1). agar hak memasang poster dan mengadakan debat secara terbuka diberikan kembali; (2). kebebasan pers; (3). jaminan akan keamanan para mahasiswa yang berdemonstrasi (4). pernyataan dari Walikota bahwa demonstrasi tersebut adalah legal.
Polisi membubarkan kaum demonstran akan tetapi hari berikutnya demonstrasi di Shanghai justru membengkak hingga meliputi jumlah puluhan ribu orang. Di sana-sini terjadi bentrokan antara demonstran dan polisi. Di Beijing pun demonstrasi kambuh kembali. Pemenintah RRC mulai memperingatkan bahwa demonstrasi tanpa ijin akan dikenakan tindakan tegas. Deng Xiao Ping pun sampai mengadakan Sidang Komisi Militer Pusat (11-25 Desember 1986).
Dalam sidang tersebut para sesepuh Tentara Pembebasan Rakyat menyatakan kekecewaannya terhadap Hu Yao Bang, yang dinilai terlalu bertenggang rasa terhadap para demonstran, dan tidak mengambil sikap yang jelas dalam menghadapi apa yang dsebut “liberalisasi borjuis”.
Para sesepuh Angkatan Bersenjata itu menegaskan lebih lanjut bahwa kekacauan tidak akan dapat dibiarkan berlangsung terlalu lama. Deng Xiao Ping sebagai pemrakarsa reformasi, dan Chen Yun sebagai pimpinan aliran konservatif sependapat bahwa demonstrasi mahasiswa tidak boleh lepas kendali.
Peng Chen bahkan mengecam Hu Yao Bang telah mengingkari Prinsip Dasar Marxisme, Leninisme, Pikiran Mao Ze Dong. Karena penilalan dan desakan tersebut, maka Hu Yao Bang meletakkan jabatannya sebagai SekretarIs Jenderal Partai Komunis Cina.
Penggantinya adalah Zhao Zi Yang, sedangkan jabatan Perdana Menterl RRC yang ditinqqalkannya dipercayakan kepada Li Peng. Pada hari tahun baru 1987 terjadi suatu demonstrasi tandingan ; sekitar 2000 mahasiswa memasuki lapangan Tian An Men di pusat kota Beijing dengan poster-poster bertulisan slogan-slogan yang serba mendukung Politik Modernisasi, dan sebaliknya mengecam ‘kaum reaksioner dan kaum pengacau”.
Berbeda dengan masa-masa yang lalu, maka pada suasana yang kalut tersebut RRC menyelenggarakan Kongres Rakyat Naslonal VII (Maret 1988).
Perdana Menteri Li Peng yang menyampaikan laporan tentang karya Pemerintah RRC menilai bahwa kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi RRC disebabkan oleh perumusan ekonomi tahun 1987 yang salah. Menumbuhkan perekonomian yang cepat dengan harapan dapat tercipta mekanisme pasar dalam waktu singkat, tanpa memperhatikan jumlah penduduk RRC yang begitu banyaknya itu, ternyata telah mengakibatkan inflasi. Li Peng merumuskan kebijakan berdasarkan prinsip stabilitas ekonomi. Ditegaskan pula bahwa Pemerintah RRC tidak akan mengekor Uni Soviet di bawah pimpinan Gorbachev yang menjalankan “Glaznotch” (keterbukaan) dan “Perestroika” (kebebasan), melainkan berpedoman pada prinsip, bahwa setiap negara harus berjalan sesuai dengan kondisi masing-masing.
Dalam menetapkan kebijakan ekonominya, Pemerintah RRC menyatakan akan mengurangi anggaran belanjanya, menunda pembangunan proyek-proyek baru, dan menutup perusahaan yang menggunakan energi dan bahan mentah yang berlebihan. Sistem perpajakan baru akan diberlakukan guna mengurangi kesenjangan antara yang miskin dan yang berada. Gaji’ buruh dl kota-kota akan dinaikkan.
Aliran konservatif menyarankan agar reformasi dilaksanakan dengan skala kecil dan secara bertahap. Di samping itu mereka mendesak agar diperhatikan kembali piinsip ekonomi berencana yang dikaitkan dengan pertimbangan kemurnian ideologi. Sidang kemudian memilih Jenderal Yang Shang Kun (81 tahun) sebagai Presiden RRC, Wan Li (71 tahun) sebagai Ketua Kongres Rakyat Nasional, Marsekal Li Xian Nian (79 tahun) sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Politik Rakyat Cina.

B.        PERISTIWA BERDARAH
Pada tanggal 28 Maret 1989 suatu kelompok wartawan Hongkong tiba di kota Tian Jin, yang terletak 60 km di sebelah Timur Beijing. Mereka mengajukan petisi kepada Kongres Rakyat Nasional agar seluruh tahanan politik di RRC dibebaskan. Petisi tersebut ditandatangani oleh 24.000 simpatisan dari seluruh pelosok dunia. Juru bicara Dewan Harian Kongres Rakyat Nasional menolak petisi tersebut. Perdana Menteri Li Peng dalam salah satu pemyataannya mengutarakan, bahwa proses demokrasi tidak dapat dilangsungkan secara tergesa-gesa, atau secara benlebihan.
Di Beijing para mahasiswa secara berbondong-bondong memasuki Tian An Men untuk meletakkan karangan bunga di sekitar tugu pahlawan sebagai tanda duka cita dan rasa hormat. Dari hari ke hari kerumunan mahasiswa bertambah. Sesekali pasukan polisi dikerahkan untuk mengusir mereka, terutama setelah terdengar teriakan “Li Peng keluar! Li Peng keluar! “Televisi mulai menayangkan himbauan agar demonstrasi dihentikan disertai ancaman tindakan tegas.
Ketika Partai Komunis menyelenggarakan upacara resmi atas kematian Hu Yao Bang (22 April 1989), sekitar 100.000 mahasiswa bersama pelbagai golongan masyarakat umum bersorak sorai menuntut kebebasan pers dan berkumpul, diumumkannya kekayaan para pemimpin, serta pemulihan nama baik Hu Yao Bang.
Pada upacara tersebut Sekretaris Jenderal Partai Komunis yang baru, Zao Zi Yang memuji Hu Yao Bang sebagai seorang pejuang yang berani. Bentrokan pertama terjadi di kota Xi An dan Chang Sha di Cina Tengah (22-23 April 1989), ialah karena para mahasiswa sehabis mengikuti siaran televisi mengenai upacara penghormatan terhadap jenazah Hu Yao Bang kemudian mengadakan aksi pengrusakan terhadap gedung-gedung Pemerintah dan kendaraan bermotor.
Pasukan Polisi yang dikerahkan untuk memulihkan ketertiban mendapat perlawanan, sehingga ratusan orang menderita cedera dan puluhan lainnya dikenakan tahanan. Sehari kemudian mahasiswa Universitas Beijing mengadakan aksi mogok kuliah, yang segera dilkuti oieh mahasiswa Universitas Qing Hua dan Universitas Rakyat di kota Beijing. Pemerintah RRC dalam seruannya melalui siaran televisi menegaskan : “Agar para mahasiswa menghentikan aksinya, karena keonaran yang berlangsung itu tidák lain adalah garapan segelintir manusia yang hendak meracuni pikiran rakyat, menciptakan kegaduhan, dan mengganggu stabilitas politlk.
Namun demikian demonstrasi tidak kunjung reda, melainkan semakin menjadi-jadi, apalagi setelah mereka mendapat dukungan dari pelbagai buruh. Uluran tangan Pemerintah RRC dalam bentuk tukar-pikiran pun hanya mendapat sambutan dari beberapa orang pimpinan kelompok mahasiswa. Bahkan itupun tidak mencapai hasil suatu apa, karena pihak mahasiswa merasa tidak tertampung kehendaknya. Apa lagi ketika tuntutan mahasiswa untuk dapat berunding dengan Biro Pollilk Partai Komunis ditolak oleh pihak Pemenntah RRC, ketegangan semakin meningkat. Mulai tanggal 3 Mei 1989 sekitar 1000 orang di antara para demonstran mulai menjalani mogok makan; mereka mengulangi tuntutannya untuk diberi kesempatan bertukar pikiran mengenai reformasi politik dengan pucuk pimpinan Partai Komunis. Akan tetapi tuntutan tersebut tidak mendapat tanggapan sama sekali. Selanjutnya seolah-olah pekerjaan rutin pemerintah berlangsung seperti biasa. Bahkan rencana kunjungan Mikhail Gorbachev, Sekretanis Jenderal Partai Komunis Uni Soviet pada tanggal 19 Mei tidak mengalami perubahan.
Pada saat itu kaum demonstran mahasiswa telah diperkuat dengan partisapasi guru, cendekiawan, wartawan, dari pelbagai kalangan masyarakat umum, yang jumlahnya sudah mencapai ratusan ribu orang. Oleh karena itulah maka acara Mikhall Gorbachev untuk meletakkan karangan bunga di tugu Pahlawan di tengah-tengah lapangan Tian An Men terpaksa dibatalkan. Hal ini dinilai sebagai suatu “tamparan” terhadap kehormatan Partai Komunis maupun Pemerintah RRC, meskipun perundingan antara Deng Xiao Ping dan Gorbachev di Balai Agung Rakyat Cina yang terletak di pinggiran Selatan Lapangan Tian An Men tetap dilangsungkan.
Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina Zhao Zi Yang berseru agar para mahasiswa bersikap tenang dan menjaga ketertiban. Bahkan sesudah Gorbachev meninggalkan RRC pada tanggal 18 Mei 1989 Zhao Zi Yang bersama Li Peng dan beberapa anggota Biro Politik Iainnya mengunjungi para mahasiswa di rumah sakit karena mereka jatuh pingsan sebagai akibat dan aksi mogok makan yang telah berlangsung selama 5 hari itu. Tampaknya akan terjadi suatu pendekatan. Akan tetapi nyatanya adalah berlainan. Hari berikutnya Li Peng dalam pidatonya di depan rapat kader Partai menegaskan bahwa demonstrasi mahasiswa tersebut adalah suatu “pengacauan”. Setelah itu kota Beijing dinyatakan dalam keadaan bahaya. Rencana kunjungan Ratu Beatrix dari negara Belanda tanggal 24-29 Mei 1989 dibatalkan. Justru pada suasana yang genting itu beberapa puluh mahasiswa kesenian membuat patung setinggi 10 m dengan bentuk yang menyerupai patung” Dewi Kebebasan” di lepas pantai pelabuhan New York.
Kaum demonstran mentakbiskan patung tersebut dengan nama “Dewi Kemerdekaan”. Peragaan ini dianggap sebagai penghinaan oleh Pemerintah RRC. Tanggal 3 Juni ribuan tentara tak bersenjata api mulai dikerahkan menuju lapangan Tian An Men; akan tetapi ketika mendekati pintu gerbang dari padanya mereka dihadang oleh puluhan ribu mahasiswa bersama ribuan rakyat umum pendukung kaum demonstran.
Polisi bersama tentara yang masih mencoba menghalau kaum demonstran dengan pentung dan tongkat pemukul terdesak mundur karena jumlahnya terlalu sedikit. Malam datang bala bantuan tentara dan polisi yang kali itu bersenjatakan gas air-mata. Perketahihan pun terjadi di Tian An Men bagian Utara, yaitu di depan gedung Zhong Nan Hai, bekas tempat tinggal Mao Ze Dong (kini dijadikan kantor Perdana Menteri RRC). Beberapa truk militer berhasil dirusak dan beberapa orang tentara disandera oleh kaum demonstran. Pada kedua belah pihak jatuh korban. Sejak itu ketegangan sudah demikian menghangatnya, sehingga siapapun dapat memperkirakan bahwa letusan yang menentukan segera akan terjadi.
Ratusan ribu demonstran bersitegang berada di tempat dengan poster- poster dan slogan-slogan yang menghendaki kebebasan di segala bidang dan penindakan terhadap para pemimpin yang dianggap menyeleweng Seballknya Partai Komunis Cina pada pokoknya mempertahankan Prinsip Dasar : Marxisme-Leninisme-Pikiran Mao Ze Dong, dan Pembangunan Sosialis (yaitu Modernisasi 4 Bidang). Bagi para penguasa RRC, tuntutan para demonstran adalah “demokrasi liberal”, yang tidak mungkin dipenuhi.
Letusan yang menentukan itu terjadi pada tanggal 4 Juni 1989 tengah malam, ketika tentara Pembebasan Rakyat Cina sejumlah sekitar 50.000 orang mengadakan serbuan terhadap para demonstran dengan menggunakan satuan kendaraan berlapis baja dan senjata otomatis. Hal yang sama pun terjadi di Shang Hai, Nan Jing, Canton dan beberapa ibu kota propinsi lainnya. Habislah riwayatnya demonstran mahasiswa dalam satu malam saja. Menurut pengumuman resmi, maka korban jiwa berjumlah 300 orang, sedangkan yang terluka berjumlah 7000 orang, dan beberapa ribu orang ditangkap.

Presiden Amerika Serikat George Bush segera menanggapinya dengan menyesalkan terjadinya tindakan kekerasan tersebut (5 Juni 1989). Untuk sementara seluruh rencana penjualan senjata kepada RRC dan perdagangan antara Pemerintah dihentikan. Pemerintah Inggris hanya menghentikan penjualan senjatanya. Sedangkan Uni Soviet mendukung Partai dan Pemerintah RRC, dan Perancis membekukan hubungan diplomatiknya dengan RRC.

No comments:

Post a Comment