Friday, September 16, 2016

Politik Apartheid

A.             Pendahulaun
Bagi kebanyakan orang Afrika Selatan, tahun 1990 akan diingat sebagai tahun ketika Nelson Mandela dan pimpinan politik lainnya dibebaskan dari penjara. Tahun ketika negara tersebut memulai transisi yang penuh tantangan dan terkadang menyakitkan yaitu dari apharteid ke demokrasi. Penduduk di Daerah Utara Port Elizabeth akan lebih banyak mengingat tahun tersebut sebagai tahun kerusuhan, saat perasaan frustrasi yang terpendam selama beberapa dekade akhirnya meledak dalam satu minggu yang penuh kekerasan. Hampir tiga puluh tahun Afrika Selatan tercerai berai oleh apharteid, sebuah sistem pemerintahan yang penuh diskriminasi yang dirancang untuk mencegah interaksi antara orang-orang yang berbeda ras.[1]
Hukum yang ada melarang orang-orang dengan ras yang berbeda tinggal dalam satu daerah yang sama, menikah dengan ras yang berbeda bahkan berbagi dalam menikmati fasilitas umum seperti; pantai, toilet atau bangku-bangku taman. Aturan ini dipaksakan secara ketat dan kasar. Kebijakan ini digunakan untuk melindungi kekuasaan kulit putih dengan tujuan mencegah orang-orang dari ras lain untuk dapat ambil bagian dalam kegiatan politik. Penduduk dibagi menjadi empat kelompok kelas ras; hitam, putih, berwarna (istilah yang digunakan untuk keturunan campuran) dan India. Menurut Hassan Shadilli Apartheid berasal dari kata aparthood yang berarti pemisahan rasial.[2]

B.             Politik Apartheid
Dr. Malan memerintah tahun 1948 – 1954 merupakan seorang ultra nasionalis dengan politik pemerintahannya berusaha melepaskan Uni Afrika Selatan dari Commonwealth dan melaksanakan politik apartheid terhadap penduduk non pribumi. Dan dia lebih memusatkan pada tujuan keduanya untuk melaksanakan politik apartheid terhadap penduduk pribumi.
Teori apartheid dirumuskan oleh kelompok cendekiawan Universitas Stellenbosch secara sederhana disebut sebagai separatenes. Kelompok tersebut tergabung dalam organisasi South African Bureau of Racial Affairs, sebuah lembaga yang didirikan untuk menandingi Race Relation Institute yang berhaluan liberal di kota Johannesburg dengan otaknya Professor Eisellen seorang sekretaris Native Affairs Department. Menurutnya Ras adalah kelompok penduduk secara alamiah yang berjumlah besar dimana anggota kelompok tersebut memiliki watak – watak, sifat – sifat yang sama dan dibedakan dari sifat – sifat yang dimiliki oleh kelompok lain
Dr. Eisellen juga berpendapat bahwa keadaan rendah pada native itu ilmiah, dia juga menolak bahwa hubungan antara master dan servant itu tidak dapat diterima. Selain itu dia juga menyatakan bahwa dalam masyarakat campuran penduduk bumiputera jangan diberi kesempatan untuk menjadi orang – orang bergelar sebab akan menciptakan masyarakat berkasta dengan proletariat yang terdiri atas orang – orang hitam yang makin lama makin banyak dan mereka memiliki perasaan dendam.
Dr. Eisellen juga mengusulkan penarikan semua buruh bumiputera dari kota dan daerah pertanian kulit putih dalam waktu 20 tahun, dan sebagai gantinya akan didatangkan buruh dari kulit putih dari Eropa. Sehingga perlu didorong imigrasi kulit putih dari Eropa. Dan harus dijaga benar bahwa industri daerah putih tetap mempertahankan kualitas tinggi guna mnghadapi saingan industri di daerah Native.
Usulan Dr. Eisellen mengenai politik apartheid ini mendapat dukungan dari kelompok kecil dalam lingkungan akademi dan pemimpin – pemimpin Duch Reformed Church. Dan dalam konggres yang diadakan tahun 1950 menyatakan persetujuan dijalankannya politik pemisahan secara sempurna baik mengenai ras maupun teritorial, buruh yang terdiri atas native secara sistematis dan berangsur – angsur akan diganti dengan buruh Eropa dikota industri dan daerah pertanian putih. Native digeser dalam industri – industri mereka sendiri di reserves.
Dengan pengembalian buruh bumiputera dari kota ke reserves berarti native reserves dijadikan national home bagi penduduk Bantu. Disitulah penduduk Bantu hidup dan mengembangkan ekonominya terpisah dari penduduk Eropa walaupun dibawah perwakilan Eropa. Dengan begitu diharapkan konflik dan persaingan antar ras dapat dicegah.
Sementara itu bagi Native yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dikota – kota dikhawatirkan jika nanti sampai mereka mendapat pendidikan yang tinggi maka tidak mungkin bila nantinya akan tercipta native yang maju dan akan selit untuk dikesampingkan dengan alasan ras. Untuk itulah di Afrika Selatan telah dirintis dasar – dasar pemisahan dengan adanya Land Act ( 1913 ) masa Botha, Urban Areas Act ( 1923 ) masa Smuts dan penggeseran Afrcan di Cape dari daftar pemilu ( 1936 ). Itu merupakan praktek apartheid.
Disamping apartheid sebagai pengasingan bidang sosial, ekonomi, politik dan seksuil berdasarkan ras secara sempurna, terdapt pula konsep lain yang menghendaki apartness with intermingling yaitu menghendaki adanya peraturan – peraturan untuk status berbagai macam kelompok yang berbeda rasnya dalam masyarakat yang penduduknya multi rasial baik bidang politik, sosial dan ekonomi. Dapat diartikan bahwa buruh native boleh tetap tinggal dikota tapi status sosial, ekonomi dan politik dipisahkan dari penduduk Eropa.
Namun karena ada kekhawatiran dari petani – petani putih akan kehilangan buruh bumi putera maka untuk meredakannya Dr. Malan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan melaksanakan politik apartheid secara total. Menerutnya pemisahan secara total sesuatu yang ideal dan untuk sementara waktu ia masih membutuhkan penduduk Eropa dan Native hidup bersama – sama. Karenanya tindakan yang pertama dilakukannya yaitu merintangi penduduk Native dari daerah asal masuk kekota tanpa merugikan penduduk Eropa dalam hal kebutuhan buruh. Dan langkah selanjutnya akan mengembalikan sebanyak – bnaykanya buruh bumiputera ketempat asal semula.
Untuk mempertahankan kemurnian ras Putih mereka, maka dibuatlah sejumlah peraturan peraturan sejak tahun 1949 – 1950, misalnya Immorality Amandement Act, The Prohibition of mixed dan The population Registration Act. Peraturan pertama dan kedua adalah peraturan pendegahan perkawinan antara kulit putih dengan non kulit putih. Peraturan yang ketiga yaitu digunakan untuk registrasi penduduk, kemana ia pergi harus selalu membawa kartu pengenal yang menunjukkan termasuk dalam kelompok ras yang mana.peraturan The Group Areas Act untuk menjamin pemisahan tempat keidaman, namun peraturan ini belum dapat dijalankan karena terdapat kesulitan dalam penggeseran Afrikan kedaerah lain terutama masalah kompensasi nilai tanah dan sebagainya.
                Gerakan dalam bidang ekonomi merugikan Coloured dan Afrikan. Coloured kehilangan pekerjaanya dalam dinas – dinas umum dan sebagia ganti mereka diambil tenaga dari golongan Poor White. Peraturan tentang pendidikan juga dibuat guna mengatur sekolah – sekolah bagi Afrikan. Tujuan pendidikan bagi orang Bantu adalah untuk menyiapkan angkatan Afrikan yang baru guna dapat hidup sesuai dengan politik negara.
Dalam bidang politik Malan meneruskan penggeseran penduduk non Eropa dari daftar pemilu. Peraturan ini ditujukan bagi Coloured melalui The Separate Representation of Voters Bill yang isinya menempatkan masyarakat Coloured dalam daftar pemilihan sendiri dan memilih 4 orang wakil dalam parlemen. Peraturan ini baru disetujui setelah perdebatan yang sengit. Sementara itu bagi orang – orang Hindu yang ada di Afrika Selatan, Malan berpendapat bahwa minorotas itu merupakan elemen asing yang tidak mungkin melakukan asimilasi. Mereka tidak akan dapat menjadi bagian sebagia masyarakat imigran yang akan direpratriasikan. Dalam hal ini Afrika Selatan akan bekerjasama dengan India dan Pakistan.
Dan untuk pertama kalinya politik pemisahan itu dipraktekkan dikantor pos dan kereta api. Distation – station kota besar seperti Johannesburg, Cape dan kota lainnya pada jalan masuk dan keluar tertera tulisan “ Europeans only “ dan “ non Europeans only “. Dan ketika PM Malan ditanya apakah apartheid itu maka jawabnya dengan menunjuk para penumpang kereta api non putih yang terpisah di Cape Towns Suburban railway.
Dan itulah pemerintahan di Uni Afrika Selatan sejak tahun 1948 menempuh politik baru. Dr Malan sebagia PM menyatakan bahwa teori apartheid yang murni pada waktu itu belum dapat dilaksanakan, tetapi ia telah melakukan tindakan – tindakan yang menuju kearah apartheid total.

C.             Perkembangan Apartheid.
Pada pertengahan 1980-an pemerintahan kulit putih berusaha untuk mengartur penduduk kelompok-kelompok berwarna dan India dengan sistem pemerintahan yang baru. Sistem yang dikenal dengan sebutan Parlemen Tiga Kamar (Tricameral Parliament), hanya memungkinkan orang kulit berwarna dan India menempatkan perwakilan terbatas di dalam parlemen. Ini membuat parlemen ini menjadi lemah. Sebagian besar dari sistem tersebut ditolak, karena menandakan pemisahan rasial. Sistem ini juga tidak mengikut sertakan orang kulit hitam Afrika Selatan dari proses politik. Orang-orang yang ambil bagian dalam sistem Parlemen Tiga Kamar, termasuk juga pemerintahan lokal secara struktural, didiskreditkan dan dituduh telah disuap. Daerah-Daerah Bagian Utara Daerah Bagian Utara di Port Elizabeth adalah nama kumpulan daerah pinggiran kota yang ditempati masyarakat India dan kulit berwarna. Bagi sebagian besar penduduknya, kehidupan sehari-hari hanya merupakan upaya untuk dapat bertahan hidup. Hanya sedikit orang dewasa yang mempunyai pekerjaan tetap, sementara anak-anak mereka pergi ke sekolah yang tidak memadai dan buruk pengaturannya. Pelayanan kesehatan yang tersedia sangat tidak layak, sampah tidak dibuang secara teratur dan hanya penduduk kaya yang memiliki sarana air mengalir dan listrik. Penduduk Daerah Utara juga kurang berpartisipasi dalam politik dan tidak memiliki wakil yang dapat memperjuangkan mereka untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Rasa frustrasi penduduk Daerah Utara semakin menjadi saat melihat orang kulit putih diperlakukan lebih baik di dalam kota yang “hanya diperuntukkan bagi orang kulit putih”. Setelah bertahun-tahun mereka hidup dengan rasa frustasi yang meningkat, hingga akhirnya pada tahun 1989, mereka mulai orang orang untuk menanggapi serangkaian masalah sosial. Sebuah organisasi masyarakat, yaitu Komite Koordinasi Daerah-Daerah Utara, didirikan untuk mengkampanyekan hak-hak penduduk dan berjuang demi kondisi kehidupan yang lebih baik.Warga sipil mulai protes menentang sejumlah masalah, termasukmengenai banyaknya orang yang tidak mampu mambayar sewa yang diusir dari rumah-rumah mereka di perkotaan. NACC mempersoalkan ongkos sewa rumah milik dinas perkotaan yang begitu tinggi, padahal kondisi kebanyakan rumah tersebut buruk.Saat pemerintah kota mulai mengusir para penghuni yang tak dapat membayar sewa, ketegangan mulai memuncak. Penduduk Daerah-Daerah Utara Protes Tingginya Sewa.
Pada tanggal 6 Agustus 1990, sekumpulan orang yang berjumlah lebih dari 2000 orang ikut ambil bagian dalam sebuah demonstrasi yang memprotes pengusiran tersebut.Orang-orang tersebut memulai aksinya dengan menuju kantorpersewaan lokal, tempat mereka mengirimkan memorandum ke bagian administrasi perumahan. Dari sana, mereka terus berjalan sambil menyanyikan lagu-lagu protes hingga mereka tiba di Stadion olah raga sekolah Menengah Greenville, untuk mengakhiri perjalanan protes mereka dengan sebuah orasi singkat.Sesaat sebelum orasi berakhir, para polisi berdatangan, kemudian menutup dua dari tiga jalan keluar. Dengan menggunakan pengeras suara, mereka mengatakan kepada para demonstran bahwa mereka telah berpartisipasi dalam pertemuan ilegal dan menyuruh mereka bubar. Para Demonstran Panik Saat Polisi Menembakkan Gas Air Mata. Insiden tersebut menandai dimulainya kerusuhan selama seminggu penuh, penjarahan dan kekerasan yang mengakibatkan sedikitnya 46 orang meninggal dan menimbulkan kerusakan bangunan senilai lebih dari 15 juta dollar ( + 10 juta rand). Segera setelah mereka melarikan diri dari stadion, para demonstran yang marah, mencari jalan bagaimana dapat membalas perlakuan tersebut pada polisi, mereka mulai menyerang gedung-gedung pemerintah dan melempari mobil-mobilnya dengan batu. Tempat tinggal atau orang-orang yang dicurigai mendukung pemerintah juga menjadi sasaran mereka. Keadaan tersebut diperburuk oleh polisi yang mulai menggeledah rumah-rumah untuk mencari orang-orang yang melempari mobil-mobil dengan batu. Beberapa penduduk mengeluh tindakan polisi yang memaksa masuk ke rumah mereka dan menyerang mereka. Seorang wanita menggambarkan bagaimana rumahnya dipenuhi oleh darah yang berceceran setelah polisi menyerang seorang lelaki yang berusaha melarikan diri. Lima hari berikutnya, sekumpulan orang melepaskan kemarahannya, dengan membakar kantor penyewaan rumah milik pemerintah kota dan beberapa sekolah lokal. Yang lain menyerang toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang kaya, menjarah toko-toko tersebut sebelum membakarnya. Tempat-tempat penjualan alkohol juga menjadi sasaran yang membuat mereka menjadi bertambah mabuk sehingga menambah memicu konflik yang lebih berbahaya .Saat kerusuhan berlangsung, jalan-jalan diblokir dan polisi mendapat serangan sangat berat. Beberapa kendaraan, termasuk bis-bis dan van-van pengantar dibakar oleh kumpulan orang yang marah tersebut. Daerah Utara menjadi daerah terlarang untuk kendaraan bisnis dan pemerintah. Polisi, yang didukung oleh militer, menutup daerah tersebut dengan lingkaran penjagaan untuk mencegah agar tidak ada orang luar yang masuk. Pemimpin Komunitas Menyerukan Perdamaian Disaat perkelahian memuncak, polisi menyadari bahwa mereka tak dapat menenangkan situasi, maka polisi menyerukan untuk diadakannya pertemuan darurat dengan para pemimpin komunitas, termasuk NACC. Dalam pertemuan yang berbau kecurigaan dan emosi yang kuat, polisi setuju untuk menggunakan kekuatan minimum untuk menghentikan penjarahan dan pembakaran jika para pemimpin tersebut mau terlibat dalam menenangkan situasi. Menindak lanjuti persetujuan, anggota NACC, para pemimpin agama dan pihak lainnya mulai menyerukan untuk tenang, melakukankan pertemuan dan melarang ketika sekumpulan orang mulai menyerang pusat bisnis dan bangunan-bangunan lainnya. Dibutuhkan waktu lima hari untuk membujuk para pelaku kerusuhan untuk mengakhiri perseteruan Pada saat itu keadaan di Daerah-Daerah Utara tampak seperti baru dilanda sebuah perang kecil. Sebagian besar tempat bisnis lokal telah terbakar dan kendaraan-kendaraan yang hangus terbakar berserakan dan menjadi sampah dijalan-jalan. Akibat-Akibat Lebih Jauh Selain perseteruan antara penduduk dan polisi, konflik juga telah menyentuh aspek agama. Sejarah menunjukan bahwa anggota-anggota komunitas Daerah Utara yang beragama Islam dan Hindu mempunyai kondisi keuangan yang lebih baik ketimbang tetangga mereka yang beragama Kristen. Hampir semua bisnis, hotel dan toko-toko yang ada di Daerah Utara dimiliki oleh pengusaha Hindu atau Muslim dan pada saat gerombolan orang mulai menjarah, sang pemilik mempertahankan toko mereka dengan senjata api. Beberapa perusuh terbunuh saat mereka menjarah toko-toko dan tersebar kabar bahwa orang Islam dan Hindu mulai membunuhi orang Kristen. Isu ini memicu terjadinya ledakan perseteruan lebih lanjutdan cenderung menuju permusuhan antar kepercayaan yang terus dapat disaksikan sepuluh tahun kemudian.




[1] Peter du Toit., (2000). Reportase untuk Perdamaian 2. Jakarta : Internews Jakarta. Hal. 2.
[2] Hassan Shadilly., (1980). Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve.

No comments:

Post a Comment