A.
Pendahulaun
Bagi kebanyakan orang Afrika Selatan, tahun 1990 akan
diingat sebagai tahun ketika Nelson Mandela dan pimpinan politik lainnya
dibebaskan dari penjara. Tahun ketika negara tersebut memulai transisi yang
penuh tantangan dan terkadang menyakitkan yaitu dari apharteid ke demokrasi.
Penduduk di Daerah Utara Port Elizabeth akan lebih banyak mengingat tahun
tersebut sebagai tahun kerusuhan, saat perasaan frustrasi yang terpendam selama
beberapa dekade akhirnya meledak dalam satu minggu yang penuh kekerasan. Hampir
tiga puluh tahun Afrika Selatan tercerai berai oleh apharteid, sebuah sistem
pemerintahan yang penuh diskriminasi yang dirancang untuk mencegah interaksi
antara orang-orang yang berbeda ras.[1]
Hukum
yang ada melarang orang-orang dengan ras yang berbeda tinggal dalam satu daerah
yang sama, menikah dengan ras yang berbeda bahkan berbagi dalam menikmati
fasilitas umum seperti; pantai, toilet atau bangku-bangku taman. Aturan ini
dipaksakan secara ketat dan kasar. Kebijakan ini digunakan untuk melindungi
kekuasaan kulit putih dengan tujuan mencegah orang-orang dari ras lain untuk
dapat ambil bagian dalam kegiatan politik. Penduduk dibagi menjadi empat
kelompok kelas ras; hitam, putih, berwarna (istilah yang digunakan untuk
keturunan campuran) dan India. Menurut Hassan Shadilli Apartheid berasal dari
kata aparthood yang berarti pemisahan rasial.[2]
B.
Politik Apartheid
Dr. Malan
memerintah tahun 1948 – 1954 merupakan seorang ultra nasionalis dengan politik
pemerintahannya berusaha melepaskan Uni Afrika Selatan dari Commonwealth dan
melaksanakan politik apartheid terhadap penduduk non pribumi. Dan dia lebih
memusatkan pada tujuan keduanya untuk melaksanakan politik apartheid terhadap
penduduk pribumi.
Teori apartheid
dirumuskan oleh kelompok cendekiawan Universitas Stellenbosch secara sederhana
disebut sebagai separatenes. Kelompok tersebut tergabung dalam organisasi South
African Bureau of Racial Affairs, sebuah lembaga yang didirikan untuk
menandingi Race Relation Institute yang berhaluan liberal di kota Johannesburg
dengan otaknya Professor Eisellen seorang sekretaris Native Affairs Department.
Menurutnya Ras adalah kelompok penduduk secara alamiah yang berjumlah besar
dimana anggota kelompok tersebut memiliki watak – watak, sifat – sifat yang
sama dan dibedakan dari sifat – sifat yang dimiliki oleh kelompok lain
Dr. Eisellen
juga berpendapat bahwa keadaan rendah pada native itu ilmiah, dia juga menolak
bahwa hubungan antara master dan servant itu tidak dapat diterima. Selain itu
dia juga menyatakan bahwa dalam masyarakat campuran penduduk bumiputera jangan
diberi kesempatan untuk menjadi orang – orang bergelar sebab akan menciptakan
masyarakat berkasta dengan proletariat yang terdiri atas orang – orang hitam
yang makin lama makin banyak dan mereka memiliki perasaan dendam.
Dr. Eisellen
juga mengusulkan penarikan semua buruh bumiputera dari kota dan daerah
pertanian kulit putih dalam waktu 20 tahun, dan sebagai gantinya akan
didatangkan buruh dari kulit putih dari Eropa. Sehingga perlu didorong imigrasi
kulit putih dari Eropa. Dan harus dijaga benar bahwa industri daerah putih
tetap mempertahankan kualitas tinggi guna mnghadapi saingan industri di daerah
Native.
Usulan Dr.
Eisellen mengenai politik apartheid ini mendapat dukungan dari kelompok kecil
dalam lingkungan akademi dan pemimpin – pemimpin Duch Reformed Church. Dan
dalam konggres yang diadakan tahun 1950 menyatakan persetujuan dijalankannya
politik pemisahan secara sempurna baik mengenai ras maupun teritorial, buruh
yang terdiri atas native secara sistematis dan berangsur – angsur akan diganti
dengan buruh Eropa dikota industri dan daerah pertanian putih. Native digeser
dalam industri – industri mereka sendiri di reserves.
Dengan
pengembalian buruh bumiputera dari kota ke reserves berarti native reserves
dijadikan national home bagi penduduk Bantu. Disitulah penduduk Bantu hidup dan
mengembangkan ekonominya terpisah dari penduduk Eropa walaupun dibawah
perwakilan Eropa. Dengan begitu diharapkan konflik dan persaingan antar ras dapat
dicegah.
Sementara itu
bagi Native yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dikota – kota
dikhawatirkan jika nanti sampai mereka mendapat pendidikan yang tinggi maka
tidak mungkin bila nantinya akan tercipta native yang maju dan akan selit untuk
dikesampingkan dengan alasan ras. Untuk itulah di Afrika Selatan telah dirintis
dasar – dasar pemisahan dengan adanya Land Act ( 1913 ) masa Botha, Urban Areas
Act ( 1923 ) masa Smuts dan penggeseran Afrcan di Cape dari daftar pemilu (
1936 ). Itu merupakan praktek apartheid.
Disamping
apartheid sebagai pengasingan bidang sosial, ekonomi, politik dan seksuil
berdasarkan ras secara sempurna, terdapt pula konsep lain yang menghendaki
apartness with intermingling yaitu menghendaki adanya peraturan – peraturan untuk
status berbagai macam kelompok yang berbeda rasnya dalam masyarakat yang
penduduknya multi rasial baik bidang politik, sosial dan ekonomi. Dapat
diartikan bahwa buruh native boleh tetap tinggal dikota tapi status sosial,
ekonomi dan politik dipisahkan dari penduduk Eropa.
Namun karena ada
kekhawatiran dari petani – petani putih akan kehilangan buruh bumi putera maka
untuk meredakannya Dr. Malan menyatakan bahwa pemerintah tidak akan
melaksanakan politik apartheid secara total. Menerutnya pemisahan secara total
sesuatu yang ideal dan untuk sementara waktu ia masih membutuhkan penduduk
Eropa dan Native hidup bersama – sama. Karenanya tindakan yang pertama
dilakukannya yaitu merintangi penduduk Native dari daerah asal masuk kekota
tanpa merugikan penduduk Eropa dalam hal kebutuhan buruh. Dan langkah
selanjutnya akan mengembalikan sebanyak – bnaykanya buruh bumiputera ketempat
asal semula.
Untuk mempertahankan
kemurnian ras Putih mereka, maka dibuatlah sejumlah peraturan peraturan sejak
tahun 1949 – 1950, misalnya Immorality Amandement Act, The Prohibition of mixed
dan The population Registration Act. Peraturan pertama dan kedua adalah
peraturan pendegahan perkawinan antara kulit putih dengan non kulit putih.
Peraturan yang ketiga yaitu digunakan untuk registrasi penduduk, kemana ia
pergi harus selalu membawa kartu pengenal yang menunjukkan termasuk dalam
kelompok ras yang mana.peraturan The Group Areas Act untuk menjamin pemisahan
tempat keidaman, namun peraturan ini belum dapat dijalankan karena terdapat kesulitan
dalam penggeseran Afrikan kedaerah lain terutama masalah kompensasi nilai tanah
dan sebagainya.
Gerakan
dalam bidang ekonomi merugikan Coloured dan Afrikan. Coloured kehilangan
pekerjaanya dalam dinas – dinas umum dan sebagia ganti mereka diambil tenaga
dari golongan Poor White. Peraturan tentang pendidikan juga dibuat guna
mengatur sekolah – sekolah bagi Afrikan. Tujuan pendidikan bagi orang Bantu
adalah untuk menyiapkan angkatan Afrikan yang baru guna dapat hidup sesuai
dengan politik negara.
Dalam bidang
politik Malan meneruskan penggeseran penduduk non Eropa dari daftar pemilu.
Peraturan ini ditujukan bagi Coloured melalui The Separate Representation of
Voters Bill yang isinya menempatkan masyarakat Coloured dalam daftar pemilihan
sendiri dan memilih 4 orang wakil dalam parlemen. Peraturan ini baru disetujui
setelah perdebatan yang sengit. Sementara itu bagi orang – orang Hindu yang ada
di Afrika Selatan, Malan berpendapat bahwa minorotas itu merupakan elemen asing
yang tidak mungkin melakukan asimilasi. Mereka tidak akan dapat menjadi bagian
sebagia masyarakat imigran yang akan direpratriasikan. Dalam hal ini Afrika
Selatan akan bekerjasama dengan India dan Pakistan.
Dan untuk
pertama kalinya politik pemisahan itu dipraktekkan dikantor pos dan kereta api.
Distation – station kota besar seperti Johannesburg, Cape dan kota lainnya pada
jalan masuk dan keluar tertera tulisan “ Europeans only “ dan “ non Europeans
only “. Dan ketika PM Malan ditanya apakah apartheid itu maka jawabnya dengan
menunjuk para penumpang kereta api non putih yang terpisah di Cape Towns
Suburban railway.
Dan itulah
pemerintahan di Uni Afrika Selatan sejak tahun 1948 menempuh politik baru. Dr
Malan sebagia PM menyatakan bahwa teori apartheid yang murni pada waktu itu
belum dapat dilaksanakan, tetapi ia telah melakukan tindakan – tindakan yang
menuju kearah apartheid total.
C.
Perkembangan Apartheid.
Pada pertengahan 1980-an pemerintahan kulit putih
berusaha untuk mengartur penduduk kelompok-kelompok berwarna dan India dengan
sistem pemerintahan yang baru. Sistem yang dikenal dengan sebutan Parlemen Tiga
Kamar (Tricameral Parliament), hanya memungkinkan orang kulit berwarna dan
India menempatkan perwakilan terbatas di dalam parlemen. Ini membuat parlemen
ini menjadi lemah. Sebagian besar dari sistem tersebut ditolak, karena
menandakan pemisahan rasial. Sistem ini juga tidak mengikut sertakan orang
kulit hitam Afrika Selatan dari proses politik. Orang-orang yang ambil bagian
dalam sistem Parlemen Tiga Kamar, termasuk juga pemerintahan lokal secara
struktural, didiskreditkan dan dituduh telah disuap. Daerah-Daerah Bagian Utara
Daerah Bagian Utara di Port Elizabeth adalah nama kumpulan daerah pinggiran
kota yang ditempati masyarakat India dan kulit berwarna. Bagi sebagian besar
penduduknya, kehidupan sehari-hari hanya merupakan upaya untuk dapat bertahan
hidup. Hanya sedikit orang dewasa yang mempunyai pekerjaan tetap, sementara
anak-anak mereka pergi ke sekolah yang tidak memadai dan buruk pengaturannya.
Pelayanan kesehatan yang tersedia sangat tidak layak, sampah tidak dibuang
secara teratur dan hanya penduduk kaya yang memiliki sarana air mengalir dan
listrik. Penduduk Daerah Utara juga kurang berpartisipasi dalam politik dan
tidak memiliki wakil yang dapat memperjuangkan mereka untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Rasa frustrasi penduduk Daerah Utara semakin menjadi
saat melihat orang kulit putih diperlakukan lebih baik di dalam kota yang
“hanya diperuntukkan bagi orang kulit putih”. Setelah bertahun-tahun mereka
hidup dengan rasa frustasi yang meningkat, hingga akhirnya pada tahun 1989,
mereka mulai orang orang untuk menanggapi serangkaian masalah sosial. Sebuah
organisasi masyarakat, yaitu Komite Koordinasi Daerah-Daerah Utara, didirikan
untuk mengkampanyekan hak-hak penduduk dan berjuang demi kondisi kehidupan yang
lebih baik.Warga sipil mulai protes menentang sejumlah masalah,
termasukmengenai banyaknya orang yang tidak mampu mambayar sewa yang diusir
dari rumah-rumah mereka di perkotaan. NACC mempersoalkan ongkos sewa rumah milik
dinas perkotaan yang begitu tinggi, padahal kondisi kebanyakan rumah tersebut
buruk.Saat pemerintah kota mulai mengusir para penghuni yang tak dapat membayar
sewa, ketegangan mulai memuncak. Penduduk Daerah-Daerah Utara Protes Tingginya
Sewa.
Pada tanggal 6 Agustus 1990, sekumpulan orang yang
berjumlah lebih dari 2000 orang ikut ambil bagian dalam sebuah demonstrasi yang
memprotes pengusiran tersebut.Orang-orang tersebut memulai aksinya dengan
menuju kantorpersewaan lokal, tempat mereka mengirimkan memorandum ke bagian
administrasi perumahan. Dari sana, mereka terus berjalan sambil menyanyikan
lagu-lagu protes hingga mereka tiba di Stadion olah raga sekolah Menengah
Greenville, untuk mengakhiri perjalanan protes mereka dengan sebuah orasi
singkat.Sesaat sebelum orasi berakhir, para polisi berdatangan, kemudian
menutup dua dari tiga jalan keluar. Dengan menggunakan pengeras suara, mereka
mengatakan kepada para demonstran bahwa mereka telah berpartisipasi dalam
pertemuan ilegal dan menyuruh mereka bubar. Para Demonstran Panik Saat Polisi
Menembakkan Gas Air Mata. Insiden tersebut menandai dimulainya kerusuhan selama
seminggu penuh, penjarahan dan kekerasan yang mengakibatkan sedikitnya 46 orang
meninggal dan menimbulkan kerusakan bangunan senilai lebih dari 15 juta dollar
( + 10 juta rand). Segera setelah mereka melarikan diri dari stadion, para
demonstran yang marah, mencari jalan bagaimana dapat membalas perlakuan
tersebut pada polisi, mereka mulai menyerang gedung-gedung pemerintah dan
melempari mobil-mobilnya dengan batu. Tempat tinggal atau orang-orang yang
dicurigai mendukung pemerintah juga menjadi sasaran mereka. Keadaan tersebut
diperburuk oleh polisi yang mulai menggeledah rumah-rumah untuk mencari
orang-orang yang melempari mobil-mobil dengan batu. Beberapa penduduk mengeluh tindakan
polisi yang memaksa masuk ke rumah mereka dan menyerang mereka. Seorang wanita
menggambarkan bagaimana rumahnya dipenuhi oleh darah yang berceceran setelah
polisi menyerang seorang lelaki yang berusaha melarikan diri. Lima hari
berikutnya, sekumpulan orang melepaskan kemarahannya, dengan membakar kantor
penyewaan rumah milik pemerintah kota dan beberapa sekolah lokal. Yang lain
menyerang toko-toko yang dimiliki oleh orang-orang kaya, menjarah toko-toko
tersebut sebelum membakarnya. Tempat-tempat penjualan alkohol juga menjadi
sasaran yang membuat mereka menjadi bertambah mabuk sehingga menambah memicu
konflik yang lebih berbahaya .Saat kerusuhan berlangsung, jalan-jalan diblokir
dan polisi mendapat serangan sangat berat. Beberapa kendaraan, termasuk bis-bis
dan van-van pengantar dibakar oleh kumpulan orang yang marah tersebut. Daerah
Utara menjadi daerah terlarang untuk kendaraan bisnis dan pemerintah. Polisi,
yang didukung oleh militer, menutup daerah tersebut dengan lingkaran penjagaan
untuk mencegah agar tidak ada orang luar yang masuk. Pemimpin Komunitas
Menyerukan Perdamaian Disaat perkelahian memuncak, polisi menyadari bahwa
mereka tak dapat menenangkan situasi, maka polisi menyerukan untuk diadakannya
pertemuan darurat dengan para pemimpin komunitas, termasuk NACC. Dalam
pertemuan yang berbau kecurigaan dan emosi yang kuat, polisi setuju untuk
menggunakan kekuatan minimum untuk menghentikan penjarahan dan pembakaran jika
para pemimpin tersebut mau terlibat dalam menenangkan situasi. Menindak lanjuti
persetujuan, anggota NACC, para pemimpin agama dan pihak lainnya mulai
menyerukan untuk tenang, melakukankan pertemuan dan melarang ketika sekumpulan
orang mulai menyerang pusat bisnis dan bangunan-bangunan lainnya. Dibutuhkan
waktu lima hari untuk membujuk para pelaku kerusuhan untuk mengakhiri
perseteruan Pada saat itu keadaan di Daerah-Daerah Utara tampak seperti baru
dilanda sebuah perang kecil. Sebagian besar tempat bisnis lokal telah terbakar
dan kendaraan-kendaraan yang hangus terbakar berserakan dan menjadi sampah
dijalan-jalan. Akibat-Akibat Lebih Jauh Selain perseteruan antara penduduk dan
polisi, konflik juga telah menyentuh aspek agama. Sejarah menunjukan bahwa
anggota-anggota komunitas Daerah Utara yang beragama Islam dan Hindu mempunyai kondisi
keuangan yang lebih baik ketimbang tetangga mereka yang beragama Kristen.
Hampir semua bisnis, hotel dan toko-toko yang ada di Daerah Utara dimiliki oleh
pengusaha Hindu atau Muslim dan pada saat gerombolan orang mulai menjarah, sang
pemilik mempertahankan toko mereka dengan senjata api. Beberapa perusuh
terbunuh saat mereka menjarah toko-toko dan tersebar kabar bahwa orang Islam
dan Hindu mulai membunuhi orang Kristen. Isu ini memicu terjadinya ledakan
perseteruan lebih lanjutdan cenderung menuju permusuhan antar kepercayaan yang
terus dapat disaksikan sepuluh tahun kemudian.
No comments:
Post a Comment