A.
Pendahulaun
Amerika Selatan saat ini sudah bebas dari pemerintahan
militer. Ditandai sebagai “Abad yang hilang,” tahun 80-an secara
politis-konstitusional di kebanyakan negara di bagian benua itu ditandai dengan
mundurnya angkatan bersenjata dari kursi pemerintahan. “Wind of Change” menerpa
para diktator militer di negara-negara itu. Dimulai dengan Ekuador (pergantian
rezim sudah terjadi pada 1979), Peru (1980), Bolivia (1982), Argentina (1983),
Brazil (1985), Uruguay (1989 dan 1993), dan Chilli (1990). Banyak harapan yang
bangkit berkat adanya visi tentang sebuah awal abad yang demokratis, namun
segera diikuti berbagai kenyataan politik.
Terutama kenyataan bahwa
pemerintahan-pemerintahan pasca masa otoriter nampak relatif tidak berkuasa
jika berhadapan dengan penguasa terdahulu. Contohnya adalah munculnya fenomena
meluas mengenai kekebalan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini
menjadi semacam “penghapusan keajaiban” sang demokrasi muda. Formulasi
Democracia Tutelada -- demokrasi yang terlalu dipengaruhi militer -- pun dengan
cepat dikenal oleh masyarakat.
Dalam artikel ini 4 negara Amerika Latin yakni Argentina,
Chilli, Uruguay dan Paraguay akan dibahas dari aspek yang menjadi Conditio sine
qua non (berfungsi sebagai titik peka) bagi konsolidasi demokrasi, yakni
terbentuknya supremasi sipil yang dipahami sebagai subordinasi militer di bawah
otoritas dan kontrol pemerintah hasil pemilu yang demokratis. Di bawah ini juga
akan dilihat, bahwa keberhasilan-keberhasilan tersebut saling berhubungan satu
sama lain. Misalnya, pengalaman masa lalu sebelum era kediktatoran dengan
demokrasi sebagai bentuk kekuasaan dan budaya politik yang mampu mengatasi
kekuasaan otoriter. Ataupun gambaran konkret berbagai proses transisi
demokratis melalui kekuasaan militer. Setelah sebuah kilas balik sejarah
mengenai peran politis angkatan bersenjata di empat negara dan gaya rezim-rezim
militer, juga akan dibahas tipe sistem pergantian kekuasaan yang berlaku saat
ini.
Supremasi sipil dianggap muncul di bawah simbol-simbol
demokrasi jika persyaratan di bawah ini terpenuhi:
- Kontrol sipil terhadap militer terpraktekkan dengan jelas dan merupakan bagian yang hidup dalam budaya politik selama beberapa tahun.
- Tidak ada satu pun peluang untuk bersikap otoriter (baik yang diamankan oleh institusi maupun yang dijamin konstitusi) yang dapat digunakan pihak militer untuk mengabaikan otoritas sipil.
- Tidak adanya demonstrasi kekuatan militer dengan tujuan represi terhadap pemerintah (misalnya dalam bentuk huru-hara atau pemberontakan) dalam tahun-tahun terakhir.
- Tidak adanya kesiapan intervensi militer secara jelas, di mana ancaman kudeta muncul, seperti penekanan politis terhadap pemerintahan terpilih (misalnya melalui aliansi sipil-militer dengan kekuatan sosial-politik lain yang relevan).
- Dalam sebuah situasi konflik yang konkret, pihak eksekutif berhasil melaksanakan perlawanan terhadap kepentingan-kepentingan militer, di mana keputusan yang diambil kemudian diterima dan dianggap sesuai.
B.
Gambaran mengenai Pemerintahan militer tahun 1948 sampai 1973 di
Uruguay, Chilli, Argentina, Paraguay.
a.
Hubungan Tradisional Antara
Militer dan Politik
“Pergantian kekuasaan yang dipaksakan oleh militer
setelah pemilu dilaksanakan; penempatan pasukan untuk melawan petani-petani
yang memberontak, para pemogok dan demonstran; seorang jenderal berpose di atas
kursi kepresidenan. Berita-berita dan foto-foto seperti itu muncul selama
puluhan tahun terutama dari Amerika Latin, di mana sejak perang-perang
kemerdekaan milliter memainkan peran sentral dalam politik.” Walaupun pemaparan
di atas secara keseluruhan benar-benar sesuai, di dalamnya tidak diperhitungkan
perbedaan-perbedaan di antara negara-negara yang sedang dibicarakan ini. Hal
ini akan cepat menjadi jelas jika (lihat data di atas) yang dibahas di sini
bukan hanya masa 25 tahun terakhir, tetapi juga masa 25 tahun sebelumnya. Mulai
tahun 1954 Jenderal Stroessner berkuasa selama 35 tahun di Paraguay, setelah di
negara itu selama bertahun-tahun terjadi ketidakstabilan politik akibat sering
bergantinya pemerintahan. Kekuasaan rezim otoriternya dibangun di atas 3 pilar
yaitu: Partai Colorado, aparat negara, dan militer (yang sejak akhir Perang
Chaco melawan Bolivia pada tahun 1935 menjadi aktor politik yang jelas-jelas
sangat berperan). Sementara Jendral Stroessner sukses menciptakan stabilitas
represif system politik di Paraguay, perkembangan politik di Argentina
berlangsung secara berubah-ubah. Sejak tahun 1930, pemerintahan-pemerintahan
militer yang dibentuk melalui kudeta dan presiden-presiden yang terpilih secara
demokratis di Argentina berusaha saling menggeser kedudukan. Tidak ada
kekuasaan demokratis yang sungguh-sungguh berusia lama. Tak satupun presiden
terpilih dapat menyelesaikan masa bakti mereka secara reguler, apalagi sampai
bisa menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta
tahun 1976 merupakan goncangan keenam yang berhasil terhadap negara, sejak
tahun 1930. Pihak militer Argentina saat itu merupakan penguasa politik
nasional dalam jangka waktu lama.
Konstelasi sejarah di Chilli dan Uruguay sangatlah
berbeda dengan kedua negara di atas. Dalam kurun waktu 143 tahun sebelum kudeta
pada September 1973 (di mana pemerintahan sosialis Allende yang dipilih secara
demokratis digulingkan), Chilli mengalami 4 bulan saja di bawah pemerintahan
junta militer. Fenomena ini tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan
hilangnya peran militer sebagai aktor politik. Terutama pada pertengahan tahun
20-an sampai awal tahun 30-an, mereka membuat pengaruh yang tidak sepele pada
politik nasional. Berbeda dengan itu, militer di Uruguay pada abad 20 hingga
akhir tahun 60-an tidak tampil sebagai tokoh politik yang relevan. Bahkan pada
awal 30-an, ketika terjadi masa singkat kediktatoran, mereka juga tidak
memainkan peranan penting.
Sebagai kesimpulan, dari sudut pandang stabilitas sistem
politik, bias diidentifikasi di sini 4 tipe berbeda hubungan tradisional antara
militer-politik, yaitu:
Stabilitas dengan bantuan
angkatan bersenjata dalam kerangka system otoriter (Paraguay)
Pergantian rezim yang sering
(instabilitas) dengan campurtangan pihak militer (Argentina)
Stabilitas demokrasi dengan
angkatan bersejata sebagai aktor politik (Chili)
Stabilitas demokrasi tanpa
relevansi politik khusus pihak militer (Uruguay)
Rezim-rezim militer yang didirikan di Argentina, Chili,
dan Uruguay pada tahun 70-an adalah tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis.
Mereka beroperasi dengan sebuah basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin
Keamanan Nasional. Dengan doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa
dengan tuntutan untuk melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin
menghadirkan kembali kedamaian dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat
kekuasaan di tiga negara ini memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera
setelah runtuhnya Allende, sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan
dapat menciptakan kediktatoran yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990),
pihak junta militer Argentina yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan
bersenjata membagi-bagi kekuasaan sejak 1976 sampai 1983.
Junta militer ini, bersama-sama dengan boneka-boneka
yang berbeda-beda, hampir tidak menciptakan kesan sebuah blok kekuasaan yang
tertutup. Sebaliknya para penguasa militer Uruguay memanfaatkan sebagian besar
waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai 1985) untuk melakukan agitasi berkedok
orang-orang sipil, sehingga sampai tahun 1981 mereka tidak pernah menempatkan
anggota militer sebagai pimpinan-pimpinan puncak pemerintahan.
Berbeda dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di
Paraguay terdapat sebuah kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri
khas Amerika Tengah, khususnya ciri Karibia. Rejim Stroessner mengikat
elemen-elemen pemerintahan militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang
berkiblat pada perseorangan pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan
ekstra melalui sebuah partai negara.
b.
Karakteristik Proses Transisi
yang Demokratis
Secara ideal, pergantian sistem bisa dibedakan menjadi 5
model, yaitu:
transisi yang kompromistis
Peralihan yang lentur dari
kalangan elit rezim lama
Pergantian sistem yang dipaksa
dari bawah (revolusi)
Kolaps (runtuhnya rezim lama)
Pembentukan negara “baru”
Kasus Argentina berlaku secara tipologis sebagai sebuah
parade contoh runtuhnya sebuah rezim otoriter. Perbedaan-perbedaan kian
terlihat jelas dan menguat sejak 1981 di atas basis pembangunan kekuasaan yang
rentan terhadap konflik internal. Perpecahan meliputi politik ekonomi.
Tendensitendensi terbuka yang terkontrol dari rezim otoriter harus dimulai.
Setelah hanya enam bulan berkuasa sebagai presiden, Jenderal Viola digulingkan,
dan para hardliner (kelompok garis keras) pun menguasai jajaran militer. Meski
basis kekuasaan mereka meningkat, mobilisasi masyarakat yang membesar makin
mengarah pada perlawanan terhadap sang diktator.
Dalam upaya mencari sumber-sumber baru legitimasi,
angkatan bersenjata mengembangkan kreativitas merusak tingkat tinggi. Dengan
invasi ke pulau Falkland/Malvinas yang sejak 1833 dikuasai Inggris (dan
dituntut oleh Argentina), mereka berupaya membangkitkan gelombang rasa
nasionalisme pada masyarakat Argentina. Tentu saja efek “Perebutan Kembali
Malvinas” ini tidak sungguh-sungguh muncul sebagai penstabil kekuasaan. Karena
dengan kekalahan militer pada pertengahan 1982, angkatan bersenjata Argentina
terbukti gagal juga pada bidang keahlian mereka. Dalam waktu satu setengah
tahun kemudian, perundingan-perundingan antara penguasa dan wakil-wakil serikat
buruh dan partai (terutama dari partai Peronistis) pihak militer tidak berhasil
melakukan pergantian kekuasaan dengan prasyarat apapun. Bahkan karena faktor
kehilangan legitimasi yang komplet, militer juga didiskreditkan secara
ekonomis, moral, dan militeris. Di Uruguay, pihak militer, yang tidak
menginginkan proses transisi, memulai satu proyek yang sesungguhnya melayani
stabilisasi sistem kekuasaan dalam jangka panjang. Sangat tidak disangka, dalam
sebuah plebisit di akhir tahun 1980, sebagian besar masyarakat menentang
disusunnya sebuah konstitusi, yang akan dipakai oleh pemegang kekuasaan
otoritas untuk mempertahankan peran dominan mereka dalam perkembangan politik
selanjutnya di negara itu.
Dalam kerangka proses transisi bertahap, pada 1983
diadakan perundingan-perundingan antara militer dan partai-partai politik
sebagai aktor utama politik pada era pra-kediktatoran. Karena itulah posisi
kekuasaan angkatan bersenjata dipertanyakan, ketika pada akhir 1982 diadakan
pemilihan internal partai untuk memilih badan pemimpin partai-partai
tradisional, di mana jelasjelas kekuatan yang kritis terhadap rezim keluar
sebagai pemenang. Dengan begitu militer tidak hanya mengalami kekalahan telak
kedua secara tak langsung, yakni kekalahan dalam pemungutan suara, tetapi juga
karena pihak lawannya dalam perundingan-perundingan tersebut mendapatkan
legitimasi secara demokratis. Kemudian berlangsunglah suatu proses transisi
mobilisasi massa secara luas melawan penguasa otoriter. Sebagai hasil dialog
resmi antara sipil-militer, angkatan bersenjata tidak berhasil mempertahankan
posisi mereka sebagai faktor kekuasaan politis baik secara institusional maupun
struktural dalam bentuk apapun. Berbeda dengan di Uruguay, militer di Cilli
berhasil mengeluarkan konstitusi yang mereka kerjakan. Pada tahun 1980, melalui
sebuah plebisit dibentuk sebuah diktator transisi yang bertugas sampai akhir
dasawarsa. Posisi pemerintahan militer ini begitu kuat, sehingga penguasa tidak
melihat adanya alasan untuk melakukan perundingan-perundingan dengan pihak
oposisi mengenai kemungkinan mundur dari demokrasi. Setiap usaha untuk melawan
proses transisi yang didukung pihak militer, ataupun untuk menggulingkan
Jenderal Pinochet, berlangsung tanpa hasil. Plebisit tahun 1988 (di mana
kandidat presiden yang diusulkan militer yakni Pinochet, disetujui) memberikan
kesempatan kepada kekuatan yang kritis terhadap rezim, dan mengalahkan pemegang
kekuasaan. Dengan segala pertimbangan, militer telah melakukan berbagai
tindakan pencegahan. Misalnya: untuk pengamanan harta benda dan status hukum,
mereka telah menetapkan posisi kekuasaan mereka juga di bawah pemerintahan
demokratis masa depan.
c.
Peranan Angkatan Bersenjata
Dalam Demokrasi
Peran politis angkatan bersenjata dalam demokrasi di
beberapa Negara ditentukan tidak saja oleh bentuk konkret dari proses transisi,
tetapi juga oleh kesiapan mundur dari pemegang kekuasaan otoriter. Di Argentina
dan Uruguay, karena pelanggaran HAM yang kejam, pihak militer telah membuktikan
ketidakmampuan mereka secara etis-moralis dan juga didiskreditkan, terutama
jika itu menyangkut kapasitas memodernisasi dan merombak rezim otoriter.
Militer, yang oleh banyak ahli teori perkembangan dilihat sebagai pelaku
“perubahan sosial” era 60-an, ternyata telah gagal melakukannya. Dalam
kenyataannya, perubahan sosial berarti pembatasan yang kejam terhadap kebebasan
politik dan sipil, sebagaimana juga pembentukan aparat-aparat represif yang
meremehkan kemanusiaan. Hasil dari politik ekonomi mereka adalah sebuah
kerusakan ekonomi, sehingga citra mereka di masyarakat pun sangat buruk. Mereka
juga tidak lagi diperlakukan sebagai partner, oleh “kelas yang berkuasa.”
Berbeda dengan itu, angkatan bersenjata di Chilli dan
Paraguay tidaklah keluar sebagai pecundang dari kursi pemerintah. Bahkan
diktator militer Chilli tidak kalah dari militer Uruguay dan Argentina, dilihat
dari segi tindakan represif mereka. Tetapi dari sudut ekonomi mereka telah member
hasil positif. Di Paraguay dan Chilli, militer mampu memulai (memimpin) sebuah
transisi ke arah “demokrasi yang terlindungi.” Peran politis apa yang dimainkan
angkatan bersenjata ini setelah peralihan kekuasaan kepada pemerintah yang
dilegitimasi secara demokratis di sana? Tahun 90-an di Paraguay adalah
masa-masa perubahan politik. Banyak partai, persatuan petani, serikat kerja,
dan organisasi-organisasi politik kemasyarakatan baru bermunculan. Pada bulan
Mei 1994, terjadi pemogokan besar yang pertama selama 35 tahun. Secara tidak
langsung setelah kudeta 1989, sensor terhadap pers di negeri itu ditiadakan.
Media-media yang baru muncul juga tidak merasa takut untuk mengupayakan liputan
berita yang kritis terhadap pemerintah. Reformasi institusional menciptakan
kondisi mendasar bagi terciptanya hubungan-hubungan yang demokratis. Misalnya, reformasi
sistem pemilu 1990, pengukuhan atas pemisahan dan pembagian kekuasaan formal
dalam konstitusi 1992, serta dihapuskannya beberapa peraturan tidak demokratis
yang mengabdi pada kepentingan penguasa Partai Colorado. Sayangnya, setelah
pemilu 1993 beberapa divisi militer tetap menjadi elit yang berkuasa. Di
samping itu, untuk melindungi hak-hak istimewa ekonomi yang mereka peroleh
dalam sistem patrimonial, pemimpin militer juga berada dalam hubungan-hubungan
korupsi yang erat dengan puncak-puncak eksekutif.
Pejabat-pejabat militer seperti mantan jenderal Oviedo
memainkan budaya politik Paraguay bentukan otoriter yang masih bertahan dan
tuntutan berkuasa dari angkatan bersenjata. Ketika masih berdinas sebagai
jendral, Oviedo seperti juga pejabat militer lainnya mendukung total kampanye pemilihan
Wasmosy dan berkeyakinan bahwa untuk memerangi oposisi harus digunakan
intervensi angkatan bersenjata. Setelah memenangkan pemilu, Wasmosy memasang
Oviedo, pendukungnya, sebagai Panglima Tinggi angkatan bersenjata, tanpa
mengimplikasikan bahwa hal ini adalah sebuah subordinasi militer di bawah
otoritas pemerintah. Ketika Wasmosy, misalnya, membiarkan seorang jenderal yang
loyal padanya untuk tetap bertugas padahal Oviedo ingin menggeser jenderal itu
ke posisi yang tidak penting, muncullah desas-desus kudeta. Ketegangan-ketegangan
di antara keduanya memuncak pada bulan April 1996 dalam sebuah percobaan
kudeta, ketika Oviedo berusaha menentang pemecatannya sebagai panglima
tertinggi angkatan bersenjata. Strategi penyelesaian konflik Wasmosy berakhir
dengan cara menawarkan Jenderal yang memberontak itu jabatan menteri
pertahanan. Karena tekanan dari dalam dan luar negeri, Oviedo menerima
pemberhentian tersebut. Pada masa berikutnya, sampai dengan pemilihan presiden
pada Mei 1998, Oviedo menjadi tokoh utama berbagai sandiwara politik, dan
mendapatkan hukuman penahanan karena pencemaran nama baik presiden dan
disambung pembatalan vonis melalui pengadilan tingkat banding, penggeledahan
rumah, persekongkolan pembunuhan, rencana revolusi kekuasaan, dll. Akhirnya tentu
saja Oviedo gagal meraih ambisinya untuk menjadi kandidat presiden. Bukannya
berhasil ikut pemilu, dia malah masuk penjara.
Memang Partai Colorado muncul sebagai pemenang pemilu
dan menempatkan Raul Cubas Grau sebagai presiden, yang tidak saja berperan menjadi
pembela Oviedo, melainkan juga mengambil posisi sedemikian rupa sehingga
menjadi tidak jelas siapa yang sesungguhnya memimpin negara itu. Selanjutnya
menjadi jelas bahwa supremasi sipil di Paraguay tetap menjadi hal mustahil
selama kerjasama partai berkuasa dan angkatan bersenjata tetap terjadi. Dalam
konteks ini, bisa dilihat undang-undang amnesti yang diproklamasikan oleh
partai Colorado pertengahan Mei 1998 lalu. Undangundang itu memungkinkan tidak
saja pembebasan Oviedo tetapi juga kembalinya para pelarian politik jaman
mantan diktator Stroessner dari Brazil. Selain Paraguay, Chili saat ini adalah
satu-satunya rezim pasca otoriter di Amerika Latin dengan partai-partai yang
kuat, yang mengidentifikasi diri dengan rezim militer yang lalu. Walau hasil
pemilu yang penting adalah partai kanan yang dekat dengan mantan diktator
Pinochet, di negara ini tidak ada kontinuitas otoriter dalam pemerintahan.
Sejak kembali menjadi Negara demokrasi, gabungan partai kristen demokrat dengan
partai sosialis menduduki kursi pemerintahan. Tidak tergantung pada dukungan,
yang dinikmati militer dari partai-partai politik, mereka memiliki tempat yang
kokoh dalam tatanan institusional, sebagai kekuasaan keempat di samping
eksekutif, legislatif, dan judikatif.
Bersamaan dengan bertahannya Pinochet sebagai panglima
tinggi angkatan bersenjata, militer dapat melindungi hak otonomi mereka.
Otonomi yang membuat mereka bisa bebas dari “bahaya” kontrol politik oleh
pemerintah. Dalam hal ini, beberapa hal yang termasuk tindakan pengamanan yang ditentukan
dalam proses transisi ini adalah: hanya 4/5 anggota senat yang dipilih secara
demokratis; dari 47 senator ada 9 yang dipilih, di mana tiga di antaranya
adalah mantan komandan tinggi angkatan bersenjata. Selain itu sebuah dewan
keamanan nasional juga dibentuk. Dewan ini bertugas memutuskan vonis keadaan
keadaan darurat-perang, dan berperan sebagai instansi kontrol terhadap tiga
lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Selain presiden, dalam
dewan keamanan nasional itu juga terdapat panglima tinggi ketiga angkatan dalam
militer. Sehubungan dengan pertanyaan mengenai pengusutan hukum terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM, militer telah mengantisipasinya dengan UU amnesti
yang telah siap sejak 1978. Sebuah komisi yang dibentuk Aylwin dapat memeriksa
dan mendokumentasikan lebih dari 2000 kasus pelanggaran HAM yang mengakibatkan
kematian, dan memberikan ganti rugi kepada para korban. Dalam hal ini, ia tidak
berhasil menghapus UU amnesti, misalnya dalam hal penghukuman para tersangka
sebagai titik sentral program pemerintah. Di samping aspek-aspek kekuasaan
politis ini, angkatan bersenjata juga telah mengamankan kepentingan ekonomi
mereka. Sehingga tidak hanya ditentukan bahwa tindakan militer tidak boleh
melampaui posisi tahun 1989, tetapi militer juga mendapatkan secara otomatis 10
% keuntungan penjualan tembaga (yang merupakan produk ekspor terpenting) setiap
tahunnya. Secara keseluruhan, militer Chilli berhasil mencabut kembali kontrol
sipil terhadap wilayah otoriter. Selain banyaknya contoh bagaimana militer
menunjukkan kekuasaan dan kesiapan intervensi mereka, militer juga memiliki
kesempatan untuk mengintervensi proses politik secara aktif dan melampaui
mekanisme yang sah. Dengan demikian segala upaya pemerintah telah gagal untuk menyingkirkan
para senator yang ditunjuk. Demikian juga gagalnya berbagai usaha untuk
meniadakan tanggal 11 September (yang merupakan tanggal terjadinya kudeta)
sebagai hari besar nasional; bahkan sebuah rancangan UU mengenai hal itu telah
diumumkan pada akhir Mei 1998 oleh Presiden Frei.
Begitu juga halnya dengan Pinochet yang tidak berhasil
dihukum, meski setelah lengsernya yang terencana dari posisi panglima militer
pada Maret 1998 ia tidak beralih menjadi senator seumur hidup. Dalam
konfrontasi dengan pihak penguasa militer, tidak selalu pihak eksekutif dan
yudikatif mengalami kekalahan. Contohnya, Jendral Contreras (mantan kepala
dinas rahasia) dan stafnya yang pada 1995 dihukum beberapa tahun karena kasus
pembunuhan mantan menteri luarnegeri pemerintahan Allende tahun 1976 di
Washington. Dengan keputusan yang sekali-kalinya hingga saat ini, pada bulan
November 1997 mahkamah agung Chile telah membatalkan amnesti yang dikeluarkan
militer, dalam kasus kedua pada tahun 1974 lenyapnya murid sekolah lanjutan
atas. Sebelumnya, Presiden Frei yang berkuasa sejak Maret 1994, memberikan
kejutan dengan vetonya yang menentang pengangkatan seorang kepercayaan Pinochet
menjadi jenderal. (karena pengangkatan itu dihubung-hubungkan dengan pembunuhan
seorang diplomat asing pertengahan tahun 70-an. Kemenangan melawan militer ini akan
bertahan, jika militer bisa mempertahankan posisinya yang dijamin secara
struktural sebagai “negara di dalam negara.” Berbeda dengan itu, militer di
Argentina dan Paraguay saat ini bukanlah elit politik yang relatif penting.
Berkat bentukan konkret proses transisi dan posisi kekuasaan militer yang
lemah, pemerintahan pertama pasca otoriter di Argentina memiliki ruang lingkup
berkuasa yang cukup leluasa, dibanding di Chilli. Pada Desember 1983, amnesti
(yang dikeluarkan sendiri oleh militer tiga bulan sebelumnya) dibatalkan
kongres karena dianggap melanggar konstitusi, sehingga anggota junta militer
yang melanggar HAM dapat dihukum hukuman penjara bertahun-tahun lamanya. Dengan
sederetan tindakan lebih lanjut, subordinasi militer di bawah eksekutif pun
diamankan. Untuk itu ada 2 dekrit pemerintah (yang dipakai militer untuk
mengontrol paket saham kelompok-kelompok industri terbesar) dialihkan kepada kementrian
pertahanan.
Akhirnya pada Desember 1986 muncullah apa yang disebut
Undang-Undang Titik Akhir, dengan apa sebuah batas waktu bagi dakwaan
pemberontakan diatur, dan lima bulan kemudian aturan itu menjadi Undang-Undang
Kondisi Darurat Perang yang terdiri dari 270 peraturan. Dua revolusi yang
terjadi kemudian pada tahun 1988 kian memperjelas, bahwa usaha Presiden
Alfonsin untuk mengintegrasikan militer ke dalam sistem demokrasi, tidaklah
berhasil. Kenyataan bahwa berbagai pimpinan militer bisa diminta
pertanggungjawabannya secara hukum (berbeda dengan yang terjadi di negara
tetangga), menjadi sebuah langkah penting untuk melemahkan kekuasaan politik tradisional
militer dan membuat sebuah konsolidasi ke arah demokrasi. Pemberontakan militer
pertama terhadap pemerintahan Menem pada 1990 langsung menjadi yang terakhir,
setelah para pemberontak ditundukkan oleh pasukan yang setia pada pemerintah,
dan dijatuhi hukuman berat. Ketika tiga pemberontakan dapat ditekan
Carapintadas, yang merusak otoritas presiden, Menem pun menjadi semakin kuat. Di
masa berikutnya, kesiapan intervensi yang serius dari pihak militer pun tak terlihat
lagi. Menem sendiri menyadari hal itu, dan membentuk aliansi dengan militer.
Selain memberi penghargaan, Menem juga memberi berbagai kedudukan sipil sebagai
penghargaan kepada militer. Karenanya meski Menem tak terlalu bersikap demokratis,
politik militernya dapat diinterpretasikan sebagai usaha untuk membentuk ikatan
dengan militer. Dengan cara itu, Menem pun bisa mempertahankan kekuasaan
politiknya di Argentina. Redemokratisasi di Uruguay berbeda jika dibanding
negara-negara lain di Subkontinen ini, yang merupakan restorasi perubahan yang
diidamkan demorasi lama. Hal ini mencakup sistim politik partai-partai sebagai actor
politik sentral dengan Peraturan Pelaksanaan yang biasa dilakukan sebelum masa
kediktatoran untuk memproses politik sesuai dengan nilai pokok demokasi yang
dikukuhkan dalam kultur politik. Tanpa pengaruh lingkungan yang diamankan
secara institusional bagi militer hal ini berarti sebuah subordinasi terhadap
kedudukan tertinggi politik. Pengetahuan yang dikukuhkan secara kolektif, bahwa
tradisi demokrasi tidak mengebalkan ambisi militer untuk merebut kekuasaan
mungkin menyebabkan Presiden Sanguinetti tidak membuat haluan yang bertentangan
dengan pemerintahan terdahulu. Untuk menghindari konflik, pada akhir tahun 1986,
(setelah militer untuk pertama kali diajukan ke pengadilan karena melanggar HAM),
disahkan di parlemen apa yang disebut Undang-Undang Kelemahan untuk mencegah
perlawanan oposisi. Seperti di Argentina, maka dengan konstitusi ini
“penghukuman” terhadap militer harus dipentingkan, di mana di masa yang akan
datang keputusan ini masih harus mendapatkan legitimasi demokrasi secara
kualitatif di Uruguay, karena pada plebisit bulan April 1989 terdapat 56 persen
suara yang mempertahankan undang-undang itu. Merasa takut terhadap perkembangan
seperti yang terjadi di Argentina, dimana kekuasaan Militer membahayakan
stabilitas demokrasi, banyak yang setuju untuk memberi amnesti demi memenuhi
tuntutan persamaan hak. Karena jika intervensi militer masih dirasakan oleh
kebanyakan penduduk, maka penempatan masyarakat sipil pada hirarkie yang lebih
tinggi belum terlihat sampai akhir tahun 80-an.
Keputusan Sanguinettis pada tahun 1987 yang banyak
dikritik oleh berbagai pihak, tidaklah relevan dengan penilaian tersebut. Untuk
mengangkat Panglima Tertinggi Jendral Purnawirawan Medina yang reformis menjadi
Mentri Pertahanan. Karena tidak adanya pengaruh militer dalam institusi ini, apalagi
bukti konkret bahwa militer kurang ditempatkan di bawah control pemerintah.
Memang muncul pernyataan yang membuat marah pada tahun 1989, yang kemungkinan
direkayasa seperti yang terjadi pada tahun 1973.
Medina segera menolak anggapan ini sebagai “inisiatif
yang menyedihkan dari seorang individu”. Ia memperlihatkan kesetiaan penuh
Angkatan Bersenjata kepada pemerintah yang demokratis dan menjamin, bahwa hasil
pemilihan umum bagaimanapun harus dihormati. Juga termasuk terhadap kemenangan Persekutuan
Partai Frente Amplio yang berhaluan kiri, (yang tidak hanya sosialis dan
komunis, melainkan juga bekas gerilya kota), yang merupakan musuh bebuyutan
Militer. Kenyataannya tidak ada tanda-tanda ancaman dari militer setelah
kemenangan Frente Amplio, yang pemilunya dilaksanakan di Montevideo. Dengan
pemilihan ini untuk untuk pertama kalinya dominasi kedua partai tradisional
dipatahkan, dan kelompok yang berhaluan kiri mengambil alih jabatan
pemerintahan tingkat kedua di negara itu, yaitu sebagai walikota Montevideo.
Summa summarum di Uruguay, di mana kedudukan tertinggi
masyarakatsipil disuap dengan pembebasan hukuman bagi militer. Pada tahun Sembilan
puluhan tidak tampak lagi adanya aktor politik dari kalangan militer. Tidak nampak
adanya ancaman eksplisit dan implisit yang penting apalagi tuntutan terhadap
sistem politik demokrasi. Tidak ada petunjuk bahwa pihak militer mengadakan
intervensi. Pada akhir tahun 1997, ketika hubungan antara eksekutif dan Militer
diuji, presiden berhasil melaksanakannya. Pada bulan Desember timbul kritik
keras dari jajaran militer terhadap keputusan Presiden merehabilitasi 41
anggota angkatan bersenjata yang selama pemerintahan diktator telah dijatuhi
hukuman di Pengadilan Kehormatan Militer sebagai penentang kudeta. Konflik
berakhir setelah Presiden tetap berpegang teguh pada keputusan itu dan Panglima
Tertinggi mengundurkan diri dari ketentaraan.
C.
Resume dan Refleksi
Demokrasi di Amerika Selatan sampai sekarang masih belum
bebas dari kekurangan, apalagi sampai pada pelaksanaan persamaan hak.
Alternatif sistem yang kurang dalam arti democracy by default tidak menghasilkan
dasar legitimasi yang mencukupi untuk menstabilkan sistem politik jangka panjang.
Ketidakpuasan penduduk yang makin kuat terhadap partai politik, institusi,
peraturan-peraturan, serta politisi, tidak mengarah pada delegitimasi demokrasi
yang substansial. Demokrasi yang masih baru di Amerika Selatan belum menjadi
angin segar yang menyapu berbagai beban berat, apalagi memenuhi ramalan, bahwa
pada tahun sembilan puluhan akan muncul ancaman baru yang dilakukan oleh
militer. Tidak ada dari keempat Negara berdekatan yang diamati ini muncul
intervensi angkatan bersenjata yang mungkin sekali direkayasa. Setiap tindakan
rasional harus menghasilkan pemikiran, bahwa pengambilalihan kekuasaan dengan
gaya serupa tidak ada gunanya bagi militer. Paraguay dan Chili dapat digunakan
sebagai contoh yang baik, bahwa Militer – harus mempunyai alasan mutlak jika
ingin mengambilalih kekuasaan secara langsung. Di kedua negara itu, kedudukan
militer merupakan masalah utama dalam proses konsolidasi demokrasi. Paraguay,
misalnya, tetap mempertahankan segi tiga kekuasaan lama yaitu Partai Colorado,
aparat negara, dan Militer, tanpa membiarkan militer menimbulkan kerugian.
Sedangkan, angkatan bersenjata Chili berhasil menegakkan
kekuasaan politik dan perlindungan veto, melalui pencegahan dini secara
institusional, walaupun terjadi pergantian rezim. Melaksanakan tugas dan
kepentingan sendiri secara fundamental, tanpa mengutamakan pembatasan demokrasi
ataupun kudeta. Pada kualitas demokrasi di Chili dan Paraguay terdapat perbedaan
penting. Di Chili, sejak pemerintahan Aylwin dan Frei, telah jelas timbul
keinginan terhadap demokrasi. Sebaliknya di Paraguay belum jelas, sejauh mana
Rodriguez dan Wasmosy pada delapan tahun yang lalu, telah tertarik pada
demokratisasi, juga dalam konteks supremasi sipil. Di negara-negara seperti
Paraguay, walau secara historis hubungan antara militer dan politiknya
mempunyai ciri simbiosis, bukan pada hal itu, peran tradisional pemerintah
(yang dilegitimasi secara demokratis) diletakkan. Tertuama jika hal tersebut
dapat nengakibatkan melemahnya posisi kekuasaan masing-masing. Paraguay
menawarkan sebuah contoh yang baik mengenai perubahan politik di sebuah negara
dalam konteks perubahan lingkungan global, di mana pemerintahan militer tidak
bersikap tendensius. Dalam konteks ini, misalnya kasus Jendral Purnawirawan
Oviedo, di mana Argentina, Brazil, dan Uruguay memperjelas bahwa Paraguay yang “demokratis”
memiliki tempat dalam sistem integrasi MERCOSUR secara menyeluruh.
Sekitar satu setengah tahun ini kediktatoran militer
telah berakhir di Argentina dan Uruguay, dengan penempatan subordinatif militer
di bawah wewenang dan pengawasan pemerintah, juga dengan berhasilnya supremasi sipil.
Tidak ada petunjuk konkret di Argentina, bahwa angkatan bersenjata menginginkan
kedudukan yang menonjol sebagai aktor politik. Pengalaman terdahulu telah
meninggalkan jejak hitam (yang mungkin berlatarbelakang cerita perwira
Argentina) tentang praktek “penculikan” orang-orang yang mengikuti diskusi
tentang pembaharuan pada masa pertengahan tahun 90-an. Bahaya militer bagi
demokrasi di Argentina sekarang terlihat lebih kecil daripada faktor kekuasaan
politik yang potensial, dan Presiden yang meminjam ungkapan tentang demokrasi
yang khusus, dan elit politik, yang mempercayai praktek populisme dan
klientelisme. Dalam konteks Amerika Selatan, Uruguay merupakan negara yang
paling maju dalam proses konsolidasi demokrasi. Supremasi sipil dapat
dihasilkan kembali dalam tradisi kultur politik sebelum era kediktatoran pada
demokrasi Uruguay. Terutama dengan sebuah pembatasan hukum pidana yang dijelaskan
dengan referendum 1989, mengenai tugas pembaharuan moral etis yang di masa lalu
tak terpecahkan. Selama pembongkaran pelanggaran hak asasi manusia tetap
dianggap tabu oleh pihak eksekutif, maka dapat dispekulasikan seberapa jauh
sebenarnya militer ditempatkan di bawah posisi politis lainnya.
Tema tersebut di atas merupakan prasyarat yang harus
tercantum dalam agenda di Argentina dan Chile. Contohnya pada bulan Juni 1998,
mantan diktator Videla ditangkap karena kasus penculikan anak di bawah umur
pada masa diktator militer dan serta karena mengajukan perintah penahanan terhadap
kepala marinir junta militer terdahulu, Massera, dengan tudukan mendukung
kejahatan dan melanggar konstitusi. Beberapa hari sebelumnya komisi hak asasi
manusia antar Amerika dari Organisasi negara-negara Amerika telah menerangkan
bahwa Undang-Undang Amnesti Chili bertentangan dengan hukum.
Daftar Pustaka
http://rumahkiri.net _PDF_POWERED _PDF_GENERATED diakses 11 September, 2007.
http://perso.club-internet.fr/kontak.
diakses 11 September, 2007.
No comments:
Post a Comment