Negara Turki adalah negara di dua benua. Dengan luas
wilayah sekitar 814.578 kilometer persegi, 97% (790.200 km persegi) wilayahnya
terletak di benua Asia dan sisanya sekitar 3% (24.378 km persegi) terletak di
benua Eropa. Posisi geografi yang strategis itu menjadikan Turki jembatan
antara Timur dan Barat.
Bangsa Turki diperkirakan berasal dari Asia Tengah.
Secara historis, bangsa Turki mewarisi peradaban Romawi di Anatolia, peradaban
Islam, Arab dan Persia sebagai warisan dari Imperium Usmani dan pengaruh
negara-negara Barat Modern. Hingga saat ini bangunan-bangunan bersejarah masa
Bizantium masih banyak ditemukan di Istanbul
dan kota-kota lainnya di Turki. Yang paling terkenal adalah Aya Sofya, suatu
gereja di masa Bizantium yang berubah fungsinya menjadi mesjid pada masa
Khalifah Usmani dan sejak pemerintahan Mustafa Kemal hingga kini dijadikan
musium.
A.
Republik Turki
Peradaban Islam dengan pengaruh Arab dan Persia
menjadi warisan yang mendalam bagi masyarakat Turki sebagai peninggalan Dinasti
Usmani. Islam di masa kekhalifahan diterapkan sebagai agama yang mengatur
hubungan antara manusia sebagai makhluk dengan Allah SWT sebagai Khalik, Sang
Pencipta; dan juga suatu sistem sosial yang melandasi kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Islam yang muncul di Jazirah Arab dan telah berkembang lama di
wilayah Persia ,
berkembang di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki dengan membawa peradaban dua
bangsa tersebut. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan pengaruh yang kuat
kedua peradaban tersebut ke dalam kebudayaan bangsa Turki. Kondisi ini
menimbulkan kekeliruan pada masyarakat awam yang sering menganggap bahwa bangsa
Turki sama dengan bangsa Arab. Suatu anggapan yang keliru yang selalu ingin
diluruskan oleh bangsa Turki sejak tumbuhnya nasionalisme pada abad ke-19.
Selanjutnya arah modernisasi yang berkiblat ke Barat telah menyerap unsur-unsur
budaya Barat yang dianggap modern. Campuran peradaban Turki, Islam dan Barat,
inilah yang telah mewarnai identitas masyarakat Turki.
Masyarakat Indonesia mengenal Turki sebagai
suatu negara berpenduduk mayoritas Muslim. Kita juga mengenal Turki sebagai
bangsa yang pernah memimpin dunia Islam selama tujuh ratus tahun, dari
permulaan abad ke-13 hingga jatuhnya Kekhalifahan Usmani pada awal abad ke-20.
Fenomena kehidupan masyarakat Turki menjadi menarik ketika negara Turki yang
berdiri tahun 1923 menyatakan sebagai sebuah negara sekuler, di mana Islam yang
telah berfungsi sebagai agama dan sistem hidup bermasyarakat dan bernegara selama
lebih dari tujuh abad, dijauhkan peranannya dan digantikan oleh sistem Barat.
Tulisan ini mencoba memaparkan fenomena tersebut dari pandangan sosiologi
sejarah.
B.
Konspirasi Menghancurkan Khilafah
Di dalam negara, ahli dzimmah-khususnya orang Kristen-yang
mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan
muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan
intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521),
Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang
Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang
mulai menjalankan gerakan sejak abad 16 . Malta dipilih sebagai pusat
gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620)
dan tinggal di sana
sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan
pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik
Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan
intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran
Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan
Pusat Kajian Ketimuran sejak abad 14.
Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian
tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk
menguasainya-meminjam istilah Imam al-Ghozali-Islam sebagai asas harus hancur,
dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan
misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan
untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma
pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar
bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab
dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan
nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan,
seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini
dimanfaatkan Inggris-melalui agennya Ibn Sa'ud-untuk menyulut pemberontakan di
beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat
gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa
wilayah oleh khilafah lewat Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata
agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah
diprovokasi agar memberontak (abad 19-20 M), seperti kasus Serbia, Yunani,
Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani
kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.
Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan
negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk
menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan
separatisme di Serbia , Hongaria , Bulgaria ,
dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya
saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes
Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti
Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk
menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang
bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat
Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas
Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak
khilafah.
Kedubes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan
dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai
Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris
dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan
nasionalisme. Pada 8 Juni 1913 M, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan
nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah
membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan
Prancis.
Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas
merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda.
Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah
sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum
kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II
(1839 M). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di
Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855 M, negara-negara Eropa-khususnya
Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah
Hemayun (11 Februari 1855 M). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas
diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876 M). Ia membentuk panitia Ad Hoc
menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi
1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun
enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat
Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika -pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908
M). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin -mengumumkan UUD yang diumumkan Turki
Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki
Utsmani (17 November 1908 M). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul
Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika .
Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.
Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah
Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914 M) dimanfaatkan Inggris menyerang
Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang
terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga
dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja
dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915 M). Ia-agen Inggris,
keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni
melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia
menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919
M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah,
sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina,
Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu
sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan
Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri
atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.
C.
Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal
Pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki di bawah
pimpinan Mustafa Kemal. Kecemerlangan karier politik Mustafa Kemal dalam
peperangan, yang dikenal sebagai perang kemerdekaan Turki, mengantarkannya
menjadi pemimpin dan juru bicara gerakan nasionalisme Turki. Gerakan
nasionalisme ini, yang pada waktu itu merupakan leburan dari berbagai kelompok
gerakan kemerdekaan di Turki, semula bertujuan untuk mempertahankan kemerdekaan
Turki dari rebutan negara-negara sekutu. Namun pada perkembangan selanjutnya
gerakan ini diarahkan untuk menentang Sultan.
Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas
puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme,
modernisme dan nasionalisme. Meskipun demikian, Mustafa Kemal bukanlah yang
pertama kali memperkenalkan ide-ide tersebut di Turki. Gagasan sekularisme
Mustafa Kemal banyak mendapat inspirasi dari pemikiran Ziya Gokalp, seorang
sosiolog Turki yang diakui sebagai Bapak Nasionalisme Turki. Pemikiran Ziya
Gokalp adalah sintesa antara tiga unsur yang membentuk karakter bangsa Turki,
yaitu ke-Turki-an, Islam dan Modernisasi.
Dengan demikian Mustafa dan pengikutnya menggerakkan
reformasi-reformasi di Turki dengan dasar-dasar yang telah diletakkan oleh para
pembaru-pembaru di kekhalifahan Turki. Pada perkembangan selanjutnya ide-ide reformasi
Mustafa Kemal menjadi suatu gerakan politik pemerintah yang dikenal dengan
sebutan Kemalisme.
D.
Kemalisme: Suatu Revolusi Budaya dan Negara (1923-1950)
Politik Kemalis ingin memutuskan hubungan Turki dengan
sejarahnya yang lalu supaya Turki dapat masuk dalam peradaban Barat. Oleh
karena itulah penghapusan kekhalifahan merupakan agenda pertama yang
dilaksanakan. Pada tanggal 1 November 1922 Dewan Agung Nasional pimpinan
Mustafa Kemal menghapuskan kekhalifahan. Selanjutnya pada tanggal 13 Oktober 1923
memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara . Akhirnya Dewan
Nasional Agung pada tanggal 29 Oktober 1923 memproklamasikan terbentuknya
negara Republik Turki dan mengangkat Mustafa Kemal sebagai Presiden Republik
Turki.
Setelah meniadakan kekhalifahan, politik Kemalisme
menghapuskan lembaga-lembaga syariah, meskipun sebenarnya peranan lembaga ini
sudah sangat dibatasi oleh para pembaru Kerajaan Usmani. Bagi Kemalis, syariat
adalah benteng terakhir yang masih tersisa dari sistem keagamaan tradisional.
Lebih lanjut lagi Kemalis menutup sekolah-sekolah madrasah yang sudah ada sejak
tahun 1300-an sebagai suatu lembaga pendidikan Islam.
Reformasi agama adalah salah satu contoh tindakan
ekstrim dari rezim Kemalis setelah penghapusan khalifah. Reformasi ini
bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan politik negara dan mengakhiri
kekuatan tokoh-tokoh agama dalam masalah politik, sosial dan kebudayaan. Selain
itu Mustafa Kemal juga mengajukan pemikiran tentang nasionalisme agama.
Menurutnya agama merupakan suatu lembaga sosial dan karena itu harus
disesuaikan dengan sosial dan budaya masyarakat Turki.
Suatu komite dibentuk di Fakultas Teologi di Universitas
Istanbul untuk
memodernisasikan Islam. Komite ini menyebarkan keinginan Mustafa kemal untuk mengganti
bentuk dan suasana mesjid seperti bentuk dan suasana gereja di negara-negara
Barat, dengan menekankan pada: pentingnya mesjid yang bersih, dengan
bangku-bangku dan ruang tempat menyimpan mantel; mewajibkan jamaah masuk dengan
sepatu yang bersih; menggantikan bahasa Arab dengan bahasa Turki; menyediakan
alat-alat musik ditempat shalat untuk memperindah bentuk shalat, dan mengubah
teks-teks khutbah yang telah ada dengan khutbah yang berisi pemikiran agama
berdasarkan filsafat Barat. Pada tahun 1932 pemerintah mengeluarkan kebijakan
mengganti pengucapan azan ke dalam bahasa Turki, yang amat ditentang oleh
mayoritas masyarakat Muslim Turki.
Reformasi agama, yang bentuknya upaya Turkifikasi Islam
atau nasionalisasi Islam ini merupakan bentuk campur tangan pemerintah Kemalis
dalam kehidupan beragama di masyarakat Turki. Sekularisme yang sejatinya
memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan, di mana negara menjamin
kebebasan beribadah, bagi warga negara, pada pelaksanaannya dijalankan dengan
semangat nasionalisme yang radikal dan dipaksakan oleh Kemalis. Namun penerapan
nasionalisasi agama ini hanya bertahan hingga akhir pemerintahan Kemalis
(Partai Rakyat Republik). Sejak tahun 1950, azan kembali diucapkan dalam bahasa
Arab. Mesjid-mesjid di Turki pun hingga saat ini tetap menunjukkan
bentuk-bentuk yang umum sebagaimana mesjid di negara-negara lainnya.
Peradaban menurut Mustafa Kemal, berarti peradaban
Barat. Tema utama dari pandangannya tentang pem-Barat-an adalah bahwa Turki
harus menjadi bangsa Barat dalam segala tingkah laku. Untuk itu Pemerintah
Kemalis mengeluarkan kebijakan larangan menggunakan pakaian-pakaian yang
dianggap pakaian agama di tempat-tempat umum dan menganjurkan masyarakat Turki
menggunakan pakaian sebagaimana orang-orang Barat berpakaian (berjas dan
bertopi). Peraturan ini mulai efektif pada November 1925 dan hingga saat ini
masyarakat Turki menggunakan pakaian a-la Barat. Sampai saat ini pemakaian jas
sudah menjadi ciri umum dari masyarakat Turki. Sedangkan pemakaian topi
menghilang bersamaan dengan menghilangnya kebiasaan memakai topi itu pada
masyarakat Eropa.
Mustafa Kemal juga mengkritik pemakaian jilbab oleh
wanita-wanita Turki, tapi semasa hidupnya tidak ada undang-undang yang secara
tegas melarang pemakaian jilbab tersebut. Pelarangan jilbab secara
konstitusional baru terjadi pada tahun 1998, sebagai reaksi militer atas
munculnya fenomena kesadaran yang tinggi dari muslimah-muslimah Turki dalam
menggunakan jilbab dan juga reaksi atas kemenangan Partai Islam Refah pada
pemilu tahun 1995.
Selain reformasi agama, reformasi yang paling penting
dari rezim Kemalis adalah reformasi bahasa. Tulisan Arab diganti dengan tulisan
Latin, berdasarkan undang-undang yang diputuskan oleh Dewan Nasional Agung pada
3 Novemeber 1928. Tujuan reformasi bahasa adalah membebaskan bahasa Turki dari
‘belenggu’ bahasa asing. Penekanannya adalah pemurnian bahasa Turki dari bahasa
Arab dan Persi. Mustafa Kemal mengadakan kunjungan di banyak tempat untuk
mengajar secara langsung tulisan baru pada rakyat Turki.
Reformasi bahasa ini memberi sumbangan yang berharga
bagi perkembangan linguistik bahasa Turki saat ini. Penelitian yang mendalam
terhadap akar bahasa dan struktur bahasa Turki membuktikan bahwa bahasa Turki
termasuk kelompok bahasa Altay, yaitu bahasa-bahasa yang dipergunakan
bangsa-bangsa yang mendiami wilayah yang membentang dari Finlandia hingga
Manchuria. Dari segi gramatikal, bahasa Turki termasuk bahasa aglutinatif,
yaitu bahasa berimbuhan. Struktur sintaksis memperlihatkan pola Objek-Predikat,
dimana Predikat selalu berada di akhir kalimat. Ciri-ciri struktural bahasa
Turki memperlihatkan perbedaannya yang jelas dengan bahasa Arab.
Komite ahli hukum mengambil Undang-Undang sipil Swiss
untuk memenuhi keperluan hukum di Turki menggantikan Undang-Undang Syariah,
berdasarkan keputusan Dewan Nasional agung tanggal 17 februari 1926.
Undang-Undang Sipil yang mulai diberlakukan pada tanggal 4 Oktober 1926 ini
antara lain tentang: menerapkan monogami; melarang poligami dan memberikan
persamaan hak antara pria dan wanita dalam memutuskan perkawinan dan
perceraian. Sebagai konsekuensi dari persaman hak dan kewajiban ini hukum waris
berdasarkan Islam dihapuskan. Selain itu undang-undang sipil juga memberi
kebebasan bagi perkawinan antar agama.
Pada I Januari 1935, pemerintah mengharuskan pemakaian
nama keluarga bagi setiap orang Turki dan melarang pemakaian gelar-gelar yang
biasa dipakai pada masa Turki Usmani. Mustafa Kemal menambahkan nama Ataturk,
yang berarti Bapak Bangsa Turki, sebagai nama keluarga. Pada tahun 1935 sistem
kalender hijriyah diganti dengan sistem kalender masehi; hari Minggu dijadikan
sebagai hari libur menggantikan hari libur sebelumnya yaitu hari Jumat.
Tentang sekularisasi dan modernisasi di Turki pada masa
Rezim Kemalis seperti diuraikan di atas, Bryan S. Turner, seorang guru besar
sosiologi di Universitas Flinders (Australia Selatan), menyimpulkan bahwa
sekularisme tersebut merupakan suatu bentuk pemaksaan dari pemerintah rezim,
bukanlah sekularisasi yang tumbuh sebagai suatu konsekuensi dari proses
modernisasi seperti di negara-negara Eropa. Selain itu sekularisasi di Turki
pada saat itu merupakan peniruan secara sadar pola tingkah laku masyarakat
Eropa yang dianggap modern dan lebih maju (1984:318). Bagi kemalis, manusia
Turki baru tidak saja harus berpikiran rasional seperti orang-orang Eropa,
tetapi juga harus meniru tatacara berperrilaku dan berpakaian seperti mereka.
E.
Masyarakat Turki Pasca Kemalisme
Mustafa Kemal meninggal dunia pada tanggal 10 November
1938, setelah tiga kali menjabat sebagai presiden Republik Turki, yaitu pada
tahun1927, 1931 dan 1935. Mustafa Kemal diakui berhasil menciptakan sistem
pemerintahan parlementer dan meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi kehidupan
demokratisasi di Turki. Partai Republik rakyat adalah partai politik yang
dibentuk Mustafa Kemal untuk menjalankan roda Pemerintahan. Meskipun demikian,
sejarah Turki menunjukkan pemerintahan Kemal dengan sistem pemerintahan satu
partai tidak memberi ruang bagi kemunculan partai oposisi. Iklim Demokrasi
muncul kemudian sejak Turki menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
pada tahun 1945 dan terus berkembang menunjukkan kemajuan yang pesat. Daniel
Lerner (di dalam Memudarnya Masyrakat Tradisional, 1983) telah melakukan
penelitian yang mendalam di suatu kota dekat Ankara pada tahun
1950-an, dan menyimpulkan bahwa negara Turki telah tumbuh menjadi negara yang
relatif lebih stabil dan demokratis di banding dengan negara-negara lain di
kawasan Timur Tengah.
Reformasi budaya, terutama sekularisasi agama dan pemakaian
hukum Barat menggantikan hukum Islam, memperlihatkan proses dinamis dari
penerimaan dan penolakan masyarakat Turki. Sekularisasi agama pada masa Kemalis
(1923-1950) melahirkan generasi Turki yang jauh dari agamanya. Bahasa Turki
yang ditulis dalam bahasa latin telah menjadi bahasa nasional Turki. Sedangkan
pemakaian hukum-hukum Barat juga diadaftasi dengan berbagai tingkatan kesulitan
di berbagai lapisan msyarakat.
Pada pemilu 1950, kekuasaan tunggal Partai Republik
Rakyat berakhir dan digantikan oleh partai sekuler beraliran liberal, yaitu
Partai Demokrat. Partai pimpinan Adnan Menderes
ini mencoba mngoreksi penyimpangan-penyimpangan sekularisasi yang sudah
dijalankan oleh Partai Republik Rakyat sejak berdirinya negara Turki. Namun
Adnan menderes juga tidak ingin Kemalisme digantikan dengan ideologi lain.
Sejak masa pemerintahan Partai Demokrat inilah masyarakat Muslim yang merupakan
mayoritas (98 persen dari 70 juta jiwa) penduduk Turki dapat melakukan shalat
di mesjid-mesjid umum, berpuasa dan melakukan ibadah naik haji, yang pada masa
Rezim Kemalis sulit dilakukan. Selain itu madrasah-madrasah kembali di buka,
sehingga para orang tua dapat kembali menyekolahkan anak mereka di sekolah
agama, setelah mereka menyadari bahwa mereka tumbuh sebagai suatu generasi yang
kering dari nilai dan ilmu agama. Madrasah-madrasah ini kembali ditutup pada
tahun 1998 setelah dianggap sebagai lembaga yang mendidik kelompok Islam
fundamental yang keberadaannya menguat dan mengancam ideologi sekuler Turki
Perkembangan masyarakat di Turki menemukan karakter
sendiri yang unik sebagai suatu bentuk pertentangan yang rumit antara pemikiran
Kemalisme, yang fundamental dan radikal, pemikiran liberalis yang meskipun
menentang Kemalisme tetapi tidak ingin ideologi ini diganti, dan pemikiran
Islam, baik yang konservatif maupun moderat. Semangat masyarakat Turki modern
untuk menjadi suatu bangsa yang modern dan demokratis, selalu disertai dengan
kesadaran yang mendalam tentang watak dan idealisme ke-Turki-an dan ke Islaman.
Penulis melihat bahwa gagasan sintesa tentang Islam, Turki dan Barat yang
pernah dimunculkan oleh Ziya Gokalp (Bapak naasionalis Turki) mulai
terimplementasikan dengan wajar dan alami, sedangkan Kemalisme dijadikan
ideologi negara yang keberadaannya sangat dijaga oleh kekuatan militer Turki.
Militer Turki mengambil peran sebagai penjaga ideologi
Kemalisme sebagai prinsip negara. Jatuhnya pemerintahan Partai Islam Refah pada
tahun 1998 adalah suatu bukti masih dominannya pengaruh politik militer di
Turki. Namun kebangkitan Islam, baik itu suatu fenomena kesadaran umat Islam
Turki untuk kembali mempelajari nilai-nilai Islam di tengah kebijakan sekuler
pemerintah dan fenomena dukungan masyarakat Islam terhadap kemenangan partai
politik yang dianggap membawa aspirasi Islam terus memperlihatkan kemajuan ke
arah yang positif. Aspirasi dan dukungan yang besar dari masyarakat Turki
kembali mengantarkan kemenangan partai berbasis Islam: Partai Keadilan dan
Pembangunan dalam pemilu 2002. Meskipun secara tegas pemimpin partai ini
menyatakan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan bukanlah partai Islam dan
mereka menyatakan komitmennya yang sungguh-sungguh menjaga ideologi sekularisme
di Turki, nampaknya Rakyat Turki lebih melihat mereka sebagai sosok-sosok
muslim yang shaleh yang diharapkan dapat membawa Turki ke arah yang lebih maju.
No comments:
Post a Comment