Sunday, August 21, 2016

Perubahan Sosial & Ekonomi Di Indonesia Abad XIX

  1. Perubahan Penggunaan Lahan, Pembagian Kerja, Sistem Upah, dan Pajak
            Politik kolonial sejak tahun 1800 sampai kira-kira 1870 terombang-ambing antara dua gagasan, sistem dagang dan sistem pajak. Kenyataan dari kondisi negeri induk pada satu pihak dan situasi negeri jajahan pada pihak lain mendorong penguasa kolonial kepada politik kolonial konservatif yang menguntungkan serta yang menurut keadaan mungkin dilsaksanakan. Dalam perkembangan selanjutnya sejajar dengan kemajuan industri negeri Belanda serta bersamaan dengan kemenangan kaum liberal, secara lambat laun tokoh-tokoh seperti Daendles dan Raffles dapat diterangkan tidak lain karena idealisme mereka yang memperjuangkan kebebasan perseorangan, hka milik tanah, kebebasan bercocok-tanam, berdagang, bekerja menggunakan hasil tanamannya, kepastian hukum, dan peradilan yang baik bertentangan dengan keadaan masyarakat yang sangat feodalistis. Daendles (1808-1811) sebagai seorang revolusioner dan sangat mendukung perubahan-perubahan liberal, bercita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat dan memajukan perdagangan. Namun usahanya dalam merombak feodalisme dan sistem tanah gagal oleh karena kepentingan pemerintahannya untuk mempertahankan pulau Jawa terlalu membuat rakyat menderita.

            Thomas Stamford Raffles (1811-1816) menggantikan Daendles. Ia mempunyai keyakinan akan kebaikan sistem liberal atas tanah. Ia mempunyai tujuan untuk menghapuskan penyerahan paksa dan diadakan kebebasan bercocok tanam serta berdagang. Ia juga membuat peraturan yang membatasi kekuasaaan atas tanah oleh para bupati dan mengalihkan fungsinya menjadi pegawai pemerintahan serta pemungut pajak. Sebagai pembaharuan besar yang dilakukan adalah pemungutan pajak tanah. Menurut peraturannya dari hasil semua penanaman sawah dipungut 1/5, 2/5, atau 1/3 dari hasil panen primer dalam bentuk uang atau beras.
            Pemungutan dilakukan secara perseorangan. Dalam pelaksanaannya sistem ini mengalami kegagalan karena belum ada pengukuran tanah secara tepat, lagi pula tidak diperthitungkan hak-milik atas tanah seperti yang berlaku menurut adat. Pemungutan terpaksa dilakukan melalui pegawai-pegawai yang korup dan bertindak secara sewenang-wenang. Sebab pokok ialah bahwa ekonomi desa belum memungkinkan petani memperoleh uang sebagai ganti dari hasil buminya. Pada kenyataannya perkembangan perekonomian dengan sistem uang baru 100 tahun kemudian terwujud.
            Sistem pajak yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch (1830-1833), secara umum diambil dari sistem penanaman kopi yang dijalankan di Priangan (Preanger Stelsel) yang didalamnya pemerintah mewajibkan penduduk menyerahkan hasil tanaman sebagai ganti pajak uang, sebaliknya membayar pajak tanah dalam bentuk uang. Pemerintah membeli hasil tanaman penduduk dengan harga yang telah ditentukan dalam bentuk uang. Suatu kebijakan muncul berdasarkan berbagai pertimbangan, sedangkan penerapanya diukur dari hubungan keinginan politik dan kegiatan yang mendukungnya.
            Pajak tanah sama sekali dihapuskan pada tahun 1832. untuk setiap keluarga tanpa peduli apakah memiliki sawah atau tidak harus menghasilkan f5, 96 atas bahan dasar hasil bumi untuk pasaran Eropa sesuai dengan tuntutan Tanam Paksa. Oleh karena itu sawah atau ladang di setiap desa dijadikan hak umum menurut penduduk yang bekerja.
            Dalam perkembangannya Sistem Tanam Paksa (STP) berjalan terus tanpa diketahui dan diawasi oleh pemerintah pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun 1843 terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah penduduk dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500        jiwa sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya STP. 
            Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman tebu juga membawa beban  yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana kelaparan terjadi.
            Pemerintah menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus STP mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
            Selain bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan STP yang telah menyebabkan sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau pernah diberlakukan STP untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000 pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864. namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
            Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun 1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif. Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka hutan, menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan, karena jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
            Kedua, penyakit daun yang berat menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
            Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
            STP telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba sebesar 461 juta gulden, sehingga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara 1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan 1877 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Secara keseluruhan politik perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali kepentingan masyarakat probumi.
            Undang-undang Agraria dari tahun 1870 menetapkan prinsip-prinsip baru bagi politik tanah. Penggunaan lahan tidak lagi dikelola sepenuhnya oleh pemerintah damun dapat disewakan kepada pengusaha dengan jangka waktu tertentu. Penduduk pribumi dijamin hak-hak miliknya atas tanah menurut hukum adat, lagi pula ada kemungkinan memperoleh hak milik perseorangan atas tanah. Selanjutnya menurut peraturan agraris ditetapkan bahwa tanah yang bukan milik perorangan penduduk adalah tanah pemerintah (tanah Domein). Tanah ini dibagi atas dua golongan: 1). Tanah domein yang bebas dari hak-hak proibumi; dan 2). Tanah domein yang meliputi tanha milik pribumi.
            Konversi tanah yang dijalankan dalam politik kolonial ialah bermaksud untuk memberi hak-milik kepada penggarap tanah untuk dapat disewakan kepada pengusaha Eropa. Dengan demikian pengusaha itu terjamin akan meperoleh tanah karena orang yang akan menyewa perlu mempunyai hak milik yang jelas.

  1. Migrasi Penduduk, Pertumbuhan dan Pemekaran Pemukiman
            Perkembangan selama abad XIX di berbagai sendi kehidupan membawa akibat yang kompleks, terutama masalah kependudukan, migrasi dan urbanisasi yang membawa pada masalah pemukiman dan kepadatan penduduk. Sejak jaman dulu pemusatan penduduk ada di kota, bandar, pusat pemujaan, pusat ekonomi, dan berbagai wilayah strategis lainnya.
            Dengan tumbuhnya perusahaan perkebunan beserta perdagangan dan distribusi hasil, terjadi penambahan jumlah penduduk di setiap tempat yang memiliki potensi ekonomi yang besar tersebut. Urbanisasi berjalan dengan cukup pesat dengan melihat potensi lapangan kerja yang lebih mendukung daripada di desa. Kemajuan komunikasi terutama dengan terbukanya jalan-jalan raya dan jalan-jalan kereta api memudahkan pemindahan dari suatu daerah pedalaman ke kota.
            Faktor pendorong dan penarik terjadinya migrasi dapat dilihat dari desa yang ditinggalkan dan kota yang dituju. Semakin berkurangnya tanah pertanian dan bertambahnya jumlah proletar pedesaan; perbedaan yang menyolok antara desa dan kota mengenai tingkat kemajuan kehidupan; jaminan masa depan yang ditawarkan kota dan potensi desa yang teramat kecil membuat orang cenderung ingin bermigrasi. 
            Ketika Raffles memerintah sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, ia mengadakan sensus penduduk di pulau Jawa dan dihasilkan perhitungan penduduk sebanyak 4.500.000. jiwa (meski belum begitu akurat). Dengan angka ini saja pulau Jawa sudah merupakan pulau yang terpadat di wilayah Hindia-Belanda. Walaupun demikian kenaikan jumlah dan kerapatan penduduk di Jawa merupakan salah satu gejala sosial-ekonomis yang terjadi selama masa kolonial.
            Dalam abad ke XIX, masalah kependudukan justru menjadi sangat penting, hal ini terutama berkaitan dengan masalah penggunaan tanah, Cultuurstelsel, perkembangan perkebunan dan daerah industri, perkembangan infrastruktur seperti jalan raya dan rel kereta api, sehingga terjadi dinamika kependudukan baik berkurang ataupun bertambah pada suatu wilayah yang dihitung. Selama abad ini pula tindakan preventif terhadap penyakit, masih sangat terbatas jangkauannya. Pada abad ini pula pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa sebagai sentral pemerintahan Hindia-Belanda tidaklah terlalu luarbiasa. Masalahnya bukanlah terletak pada jumlah yang riil, tetapi sering pada perhitungan yang tidak akurat.
            Walaupun secara umum memang diakui, bahwa perhitungan penduduk terutama di pulau Jawa pada zaman tanam paksa sangat beragam, yang sekaligus membuktikan adanya ketidakberesan dalam masalah demografi, sehingga sulit untuk dipertanggungjkawabkan. Bleeker menghitung bahwa angka kematian dalam tahun 1836-1837 dan tahun 1845-1847 lebih besar daripada angka kematian. Sementara van Niel menyatakan bahwa tahun 1837-1851 banyak terjadi perpindahan penduduk untuk menghindari beban kerja berat yang kurang menguntungkan.

  1. Perubahan Status Sosial
            Selama abad ke XIX dan sesudahnya terdapat beberapa jenis mobilitas dalam masyarakat, baik secara geografis maupun sosiologis. Perubahan sosial-ekonomis dengan segala aspeknya juga ikut mempengaruhi kedudukan dan status seseorang dan juga terhadap nilai-nilai yang mendukung stratifikasi sosial. Perubahan yang cepat dan dipaksakan telah merubah tatanan sosial dalam masyarakat sepanjang abad XIX ini. Kolonialisme mengharuskan masyarakat untuk menyesuaikan tatanan hukum dan politik yang dipaksakan, sehingga terjadi perubahan status masyarakat.
            Demikianlah jika ukuran hukum kolonial yang plural berkuasa, maka urutan lapisan masyarakat telah ditentukan dengan meletakkan orang Belanda dan Eropa di puncak atas. Kemudian diikuti oleh golongan Indo dan timur asing, dan barulah pada lapisan paling bawah ditempati oleh orang bumiputra. Jadi tidaklah mengherankan jika banyak terjadi diskriminasi dalam segala bidang.[13]
            Jika dilihat dari status birokrasi, selama abad XIX berbagai jenis unsur politik yang saling bergantian membuat kedudukan dan kekuasaan raja maupun bupati di Jawa merosot. Menjelang akhir abad ke-19 golongan ini bukan saja kehilangan banyak hak-hak istimewa mereka, seperti hak memerintah, hak pancer dan penguasaan tanah, tetapi juga simbol kemegahannya. Mereka makin terikat pada  pemerintah, hingga terjadilah semacam transformasi kedudukan : dari peguasa tradisional aristokratik, menjadi pegawai, dan menjadi orang bayaran saja. Mereka hanya dijadikan sebagai “hiasan” dalam struktur kekuasaan kolonial.
            Gejala sosial-politik yang menggoyahkan demarkasi stratifikasi dan struktur masyarakat tidak hanya terjadi di pulau Jawa saja. Dengan jangkauan pengaruh yang berbeda-beda dan terjadi dalam waktu yang lebih singkat daripada Jawa, ambivalensi yang ditimbulkan oleh politik Belanda juga kelihatan. Secara teoritis sebagian besar daerah di luar Jawa diperintah secara tidak langsung. Maksudnya adalah membiarkan sejauh mungkin berlanjutnya sistem kekuasaan, pelapisan sosial serta cara hidup tradisional. Pemerintah kolonial hanya menjadi penasehat dan pengawas. Tetapi kenyataannya dareah-daerah tersebut tidak dapat terlepas dari kontrol penuh politik kolonial.

DAFTAR PUSTAKA

Desak Made Oka Purnawati. 2004. Hutan Jati Madiun: Silvikultur di Karesidenan  Madiun 1830-1913. Semarang: Indra Pustaka Utama.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo. 1994. Sejarah Perkebunan di Indonesia; Kajian  Sosial-Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.
Susanto Zuhdi. 2002. Cilacap 1830-1942; Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Young, Keneth R. 1988. “Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat; Stagnasi Ekonomi dan Jalan      Buntu dalam Politik”, dalam Anne Booth, dkk. 1988. Sejarah ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.


No comments:

Post a Comment