- Perubahan Penggunaan Lahan, Pembagian Kerja,
Sistem Upah, dan Pajak
Politik
kolonial sejak tahun 1800 sampai kira-kira 1870 terombang-ambing antara dua
gagasan, sistem dagang dan sistem pajak. Kenyataan dari kondisi negeri induk
pada satu pihak dan situasi negeri jajahan pada pihak lain mendorong penguasa
kolonial kepada politik kolonial konservatif yang menguntungkan serta yang
menurut keadaan mungkin dilsaksanakan. Dalam perkembangan selanjutnya sejajar
dengan kemajuan industri negeri Belanda serta bersamaan dengan kemenangan kaum
liberal, secara lambat laun tokoh-tokoh seperti Daendles dan Raffles dapat
diterangkan tidak lain karena idealisme mereka yang memperjuangkan kebebasan
perseorangan, hka milik tanah, kebebasan bercocok-tanam, berdagang, bekerja
menggunakan hasil tanamannya, kepastian hukum, dan peradilan yang baik
bertentangan dengan keadaan masyarakat yang sangat feodalistis. Daendles
(1808-1811) sebagai seorang revolusioner dan sangat mendukung
perubahan-perubahan liberal, bercita-cita untuk memperbaiki nasib rakyat dan
memajukan perdagangan. Namun usahanya dalam merombak feodalisme dan sistem
tanah gagal oleh karena kepentingan pemerintahannya untuk mempertahankan pulau
Jawa terlalu membuat rakyat menderita.
Thomas
Stamford Raffles (1811-1816) menggantikan Daendles. Ia mempunyai keyakinan akan
kebaikan sistem liberal atas tanah. Ia mempunyai tujuan untuk menghapuskan
penyerahan paksa dan diadakan kebebasan bercocok tanam serta berdagang. Ia juga
membuat peraturan yang membatasi kekuasaaan atas tanah oleh para bupati dan
mengalihkan fungsinya menjadi pegawai pemerintahan serta pemungut pajak.
Sebagai pembaharuan besar yang dilakukan adalah pemungutan pajak tanah. Menurut
peraturannya dari hasil semua penanaman sawah dipungut 1/5, 2/5, atau 1/3 dari
hasil panen primer dalam bentuk uang atau beras.
Pemungutan
dilakukan secara perseorangan. Dalam pelaksanaannya sistem ini mengalami
kegagalan karena belum ada pengukuran tanah secara tepat, lagi pula tidak
diperthitungkan hak-milik atas tanah seperti yang berlaku menurut adat.
Pemungutan terpaksa dilakukan melalui pegawai-pegawai yang korup dan bertindak
secara sewenang-wenang. Sebab pokok ialah bahwa ekonomi desa belum memungkinkan
petani memperoleh uang sebagai ganti dari hasil buminya. Pada kenyataannya
perkembangan perekonomian dengan sistem uang baru 100 tahun kemudian terwujud.
Sistem pajak yang diperkenalkan oleh
Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch (1830-1833), secara umum diambil dari
sistem penanaman kopi yang dijalankan di Priangan (Preanger Stelsel) yang
didalamnya pemerintah mewajibkan penduduk menyerahkan hasil tanaman sebagai
ganti pajak uang, sebaliknya membayar pajak tanah dalam bentuk uang. Pemerintah
membeli hasil tanaman penduduk dengan harga yang telah ditentukan dalam bentuk
uang.
Suatu kebijakan muncul berdasarkan berbagai pertimbangan, sedangkan penerapanya
diukur dari hubungan keinginan politik dan kegiatan yang mendukungnya.
Pajak
tanah sama sekali dihapuskan pada tahun 1832. untuk setiap keluarga tanpa
peduli apakah memiliki sawah atau tidak harus menghasilkan f5, 96 atas bahan
dasar hasil bumi untuk pasaran Eropa sesuai dengan tuntutan Tanam Paksa.
Oleh karena itu sawah atau ladang di setiap desa dijadikan hak umum menurut
penduduk yang bekerja.
Dalam
perkembangannya Sistem Tanam Paksa (STP) berjalan terus tanpa diketahui dan
diawasi oleh pemerintah pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya.
Baru pada tahun 1843 terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi
bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa
tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk
para pribumi. Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah
penduduk dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi
120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar
80.500 jiwa
sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya STP.
Pengerahan
tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya,
seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman
indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas.
Penanaman tebu juga membawa beban yang
sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif,
pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan
tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi
oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak
dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang
melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman
pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi
dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana
kelaparan terjadi.
Pemerintah
menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa,
terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak
membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk
menghapus STP mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van
Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam
paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan
sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada
tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
Selain
bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan STP yang telah menyebabkan
sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif
akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa
tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang
terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau
pernah diberlakukan STP untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini
berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000
pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864.
namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun
secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai
berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan
yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun
1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena
perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif.
Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka
perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya
berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka hutan,
menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan, karena
jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan
menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
Kedua, penyakit daun yang berat
menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit
itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang
berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan
usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya
membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang
antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah
kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di
Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan
perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
STP
telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri
induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan
besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba
sebesar 461 juta gulden, sehingga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara
1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan
1877 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Secara keseluruhan politik
perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali
kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi
kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali
kepentingan masyarakat probumi.
Undang-undang
Agraria dari tahun 1870 menetapkan prinsip-prinsip baru bagi politik tanah.
Penggunaan lahan tidak lagi dikelola sepenuhnya oleh pemerintah damun dapat
disewakan kepada pengusaha dengan jangka waktu tertentu. Penduduk pribumi
dijamin hak-hak miliknya atas tanah menurut hukum adat, lagi pula ada
kemungkinan memperoleh hak milik perseorangan atas tanah. Selanjutnya menurut
peraturan agraris ditetapkan bahwa tanah yang bukan milik perorangan penduduk
adalah tanah pemerintah (tanah Domein).
Tanah ini dibagi atas dua golongan: 1). Tanah domein yang bebas dari hak-hak
proibumi; dan 2). Tanah domein yang meliputi tanha milik pribumi.
Konversi
tanah yang dijalankan dalam politik kolonial ialah bermaksud untuk memberi
hak-milik kepada penggarap tanah untuk dapat disewakan kepada pengusaha Eropa.
Dengan demikian pengusaha itu terjamin akan meperoleh tanah karena orang yang
akan menyewa perlu mempunyai hak milik yang jelas.
- Migrasi Penduduk, Pertumbuhan dan Pemekaran
Pemukiman
Perkembangan selama abad XIX di berbagai sendi kehidupan membawa akibat
yang kompleks, terutama masalah kependudukan, migrasi dan urbanisasi yang
membawa pada masalah pemukiman dan kepadatan penduduk. Sejak jaman dulu
pemusatan penduduk ada di kota, bandar, pusat pemujaan, pusat ekonomi, dan berbagai
wilayah strategis lainnya.
Dengan
tumbuhnya perusahaan perkebunan beserta perdagangan dan distribusi hasil,
terjadi penambahan jumlah penduduk di setiap tempat yang memiliki potensi
ekonomi yang besar tersebut. Urbanisasi berjalan dengan cukup pesat dengan
melihat potensi lapangan kerja yang lebih mendukung daripada di desa. Kemajuan
komunikasi terutama dengan terbukanya jalan-jalan raya dan jalan-jalan kereta
api memudahkan pemindahan dari suatu daerah pedalaman ke kota.
Faktor
pendorong dan penarik terjadinya migrasi dapat dilihat dari desa yang
ditinggalkan dan kota yang dituju. Semakin berkurangnya tanah pertanian dan
bertambahnya jumlah proletar pedesaan; perbedaan yang menyolok antara desa dan
kota mengenai tingkat kemajuan kehidupan; jaminan masa depan yang ditawarkan
kota dan potensi desa yang teramat kecil membuat orang cenderung ingin
bermigrasi.
Ketika
Raffles memerintah sebagai Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda, ia mengadakan
sensus penduduk di pulau Jawa dan dihasilkan perhitungan penduduk sebanyak 4.500.000.
jiwa (meski belum begitu akurat). Dengan angka ini saja pulau Jawa sudah
merupakan pulau yang terpadat di wilayah Hindia-Belanda. Walaupun demikian
kenaikan jumlah dan kerapatan penduduk di Jawa merupakan salah satu gejala
sosial-ekonomis yang terjadi selama masa kolonial.
Dalam
abad ke XIX, masalah kependudukan justru menjadi sangat penting, hal ini
terutama berkaitan dengan masalah penggunaan tanah, Cultuurstelsel,
perkembangan perkebunan dan daerah industri, perkembangan infrastruktur seperti
jalan raya dan rel kereta api, sehingga terjadi dinamika kependudukan baik
berkurang ataupun bertambah pada suatu wilayah yang dihitung. Selama abad ini
pula tindakan preventif terhadap penyakit, masih sangat terbatas jangkauannya.
Pada abad ini pula pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa sebagai sentral
pemerintahan Hindia-Belanda tidaklah terlalu luarbiasa. Masalahnya bukanlah
terletak pada jumlah yang riil, tetapi sering pada perhitungan yang tidak
akurat.
Walaupun
secara umum memang diakui, bahwa perhitungan penduduk terutama di pulau Jawa
pada zaman tanam paksa sangat beragam, yang sekaligus membuktikan adanya
ketidakberesan dalam masalah demografi, sehingga sulit untuk
dipertanggungjkawabkan. Bleeker menghitung bahwa angka kematian dalam tahun
1836-1837 dan tahun 1845-1847 lebih besar daripada angka kematian. Sementara
van Niel menyatakan bahwa tahun 1837-1851 banyak terjadi perpindahan penduduk
untuk menghindari beban kerja berat yang kurang menguntungkan.
- Perubahan Status Sosial
Selama abad ke XIX dan sesudahnya terdapat beberapa jenis mobilitas dalam
masyarakat, baik secara geografis maupun sosiologis. Perubahan sosial-ekonomis
dengan segala aspeknya juga ikut mempengaruhi kedudukan dan status seseorang
dan juga terhadap nilai-nilai yang mendukung stratifikasi sosial. Perubahan
yang cepat dan dipaksakan telah merubah tatanan sosial dalam masyarakat
sepanjang abad XIX ini. Kolonialisme mengharuskan masyarakat untuk menyesuaikan
tatanan hukum dan politik yang dipaksakan, sehingga terjadi perubahan status
masyarakat.
Demikianlah
jika ukuran hukum kolonial yang plural berkuasa, maka urutan lapisan masyarakat
telah ditentukan dengan meletakkan orang Belanda dan Eropa di puncak atas.
Kemudian diikuti oleh golongan Indo dan timur asing, dan barulah pada lapisan
paling bawah ditempati oleh orang bumiputra. Jadi tidaklah mengherankan jika
banyak terjadi diskriminasi dalam segala bidang.[13]
Jika
dilihat dari status birokrasi, selama abad XIX berbagai jenis unsur politik
yang saling bergantian membuat kedudukan dan kekuasaan raja maupun bupati di
Jawa merosot. Menjelang akhir abad ke-19 golongan ini bukan saja kehilangan
banyak hak-hak istimewa mereka, seperti hak memerintah, hak pancer dan penguasaan tanah, tetapi juga
simbol kemegahannya. Mereka makin terikat pada
pemerintah, hingga terjadilah semacam transformasi kedudukan : dari
peguasa tradisional aristokratik, menjadi pegawai, dan menjadi orang bayaran
saja. Mereka hanya dijadikan sebagai “hiasan” dalam struktur kekuasaan
kolonial.
Gejala
sosial-politik yang menggoyahkan demarkasi stratifikasi dan struktur masyarakat
tidak hanya terjadi di pulau Jawa saja. Dengan jangkauan pengaruh yang
berbeda-beda dan terjadi dalam waktu yang lebih singkat daripada Jawa,
ambivalensi yang ditimbulkan oleh politik Belanda juga kelihatan. Secara
teoritis sebagian besar daerah di luar Jawa diperintah secara tidak langsung.
Maksudnya adalah membiarkan sejauh mungkin berlanjutnya sistem kekuasaan,
pelapisan sosial serta cara hidup tradisional. Pemerintah kolonial hanya
menjadi penasehat dan pengawas. Tetapi kenyataannya dareah-daerah tersebut
tidak dapat terlepas dari kontrol penuh politik kolonial.
DAFTAR
PUSTAKA
Desak Made Oka Purnawati. 2004. Hutan
Jati Madiun: Silvikultur di Karesidenan Madiun
1830-1913. Semarang: Indra Pustaka Utama.
Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sartono Kartodirdjo & Djoko Suryo. 1994. Sejarah Perkebunan di Indonesia; Kajian Sosial-Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.
Susanto Zuhdi. 2002. Cilacap
1830-1942; Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Young, Keneth R. 1988. “Sistem Tanam Paksa di Sumatra Barat; Stagnasi
Ekonomi dan Jalan Buntu dalam
Politik”, dalam Anne Booth, dkk. 1988. Sejarah
ekonomi Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
No comments:
Post a Comment