A. Pendahuluan
Sumatra
Timur atau yang sekarang merupakan bagian dari propinsi Sumatra Utara, dikenal
sebagai daerah industri perkebunan besar di Indonesia. Sejak masa penjajahan
daerah ini terkenal sebagai pusat produksi tembakau yang terkenal. Meskipun
sampai saat ini daerah itu masih tetap menjadi pusat perkebunan di Indonesia
walaupun pada masa sekarang ini tidak hanya komoditas tembakau saja, akan
tetapi juga menyangkut komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kelapa sawit
dan kakao. Sejarah perkebunan di Sumatra Timur diawali oleh kedatangan Jacobus
Nienhuys, seorang bangsa Belanda dan rekan-rekannya. Dari kedatangan Nienhuys
ini ia menarik kesimpulan bahwa daerah ini cocok untuk daerah perkebunan
tembakau, sementara itu datang pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker dari
Swiss dan Von March dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau, mereka juga
membuka perkebunan pala dan kelapa. Tanah itu langsung sewa dari rakyat.
Pada tahun 1863 Belanda mulai membuka kebun tembakau
pertama di Sumatra Timur. Nienhuys memperoleh tanah seluas 4000 bau dari Sultan
Mahmud penguasa Deli pada waktu itu dengan masa sewa selama 20 tahun dan biaya
sewa sangat murah. Untuk tahun-tahun berikutnya perkebunan di Sumatra Timur mengalami pekembangan
yang sangat pesat. Dari dibukanya perkebunan tembakau di Deli ini merupakan
cikal bakal perkebunan di Sumtra Timur.
Tidak terlepas dari itu usaha
perkebunan selalu berkaitan dengan masalah tenaga kerja (buruh), yang nyata ialah kedudukan pemerintah diganti oleh kaum
usahawan perkebunan,kerja paksa diganti dengan kerja upah, lagi pula
wajib-serah tanah diganti dengan sewa tanah. Dalam pada itu jenis tanaman yang
dibudidayakan kebanyakan sama dengan yang diwajib tanamkan pada masa Sistem
Tanam Paksa. Rakyat telah mengenal berbagai jenis tanaman baru serta telah
berpengalaman dalam teknologi kultivasinya. Dalam hal ini sistem tersebut telah
membawa inovasi baik berupa komoditi baru maupun teknologi yang dipakai untuk
memproduksikannya.
B. Pembahasan
Berkembangnya perkebunan besar di
Sumatra Timur pada pertengahan abad XIX telah banyak menarik orang untuk
mengadu nasib didaerah itu. Mereka datang ke wilayah tersebut dengan tujuan
yang sama yakni untuk mencari uang. Orang kulit putih dating untuk membuka
lahan perkebunan dan orang Cina, India serta Jawa datang untuk menjadi buruh
perkebunan, sedangkan kelompok suku bangsa Minangkabau dan Mandailing merantau
kesana untu mengadu nasib sebagai pedagang. Akan tetapi sedikit sekali penduduk
Sumatra Timur yang tergoda untuk menjadi buruh perkebunan hal ini dikarenakan
mereka telah mempunyai sumber kehidupan dari tanah-tanah yang mereka miliki
disamping itu mereka kurang tertarik bekerja dibawah perintah orang lain.
Mereka merasa lebih bebas hidup tanpa terikat perjanjian kerja di perkebunan,
sehingga untuk mengatasi masalah tenaga kerja perusahaan perkebunan terpaksa
mendatangkan buuh dari daerah yang padat penduduknya.
Pada awal perkembangannya pekebun
mendatangkan buruh dari Cina melalui agen-agen buruh disemenanjung Malaya.
Kebijakasanan untuk mendatangkan buruh Cina kemudian diikuti oleh
pekebun-pekebun yang datang belakangan. Tetapi ketika usaha untuk mendatangkan
tenaga kerja dari Cina mengalami hambatan, terutama karena
pembatasan-pembatasan izin yang dilakukan oleh pemerintah Cina, pekebun mulai
melirik Jawa yang pada waktu itu dianggap tempat yang tepat untuk memperoleh
buruh yang murah dan berhubung jumlah penduduknya yang cukup padat. Buruh yang
dibawa ke daerah Sumatra Timur ini diikat dengan sistem kontrak kerja selama 3
tahun. Biaya transportasi dan tempat tinggal ditanggung oleh perkebunan.
Setelah masa kontrak selesai buruh
boleh kembali ke daerah asalnya atas biaya perkebunan. Alasan yang mendorong
para petani Jawa untuk bergerak ke Sumatra Timur antara lain : pertama, menjelang abad XIX Jawa telah
dijadikan tempat konsentrasi penanaman tebu dan tanah-tanah garapan petani
kecil diambil alih oleh prusahaan-perusahaan perkebunan gula. Kedua, dihapuskannya pajak bumi. Ketiga, awal abad XX Hindia Belanda
sudah kekurangan beras sehingga terpaksa harus mengimpor beras dari luar
terutama Birma yang menyababkan harga beras melunbung tinggi. Dalam perburuhan Jawa
agen-agen tersebut adalah bangsa Eropa dengan petugas lapangan yang berasal dari
kalangan Jawa sendiri yang disebut Werek. Dalam mencari calon buruh yang mau diajak bekerja di Sumatra Timur para werek
ini melakukan berbagai macam cara, termasuk membujuk dan menipu calon buruh
yang diincarnya. Misalnya, werek itu mengajak calon korban pergi untuk menonton
wayang, akan tetapi kemudian dengan berbagai jalan orang tersebut disandra dan
dikirim ke Sumtra Timur. Komisi yang diterima oleh para werek cukup tinggi. Untuk
seorang buruh yang berhasil didapatkan werek menerima bayaran dari agen senilai
266 hari kerja para buruh di Jawa. Pada masa itu rata-rata buruh menerima upah
sebesar 30 sen gulden sehari.
Tergiur oleh bayaran yang tinggi itu
para werek itu terdorong untuk menggunakan berbagai cara untuk memperoleh
tenaga kerja untk perkebunan. Kalaupun ada orang Jawa yang mau bekerja sebagai
buruh di perkebunan Sumatra Timur secara suka rela, hal itu berkaitan erat
dengan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekononinya.perekrutan buruh dilakukan
juga dengan pemulangan buruh dengan keharusan memberikan informasi mengenai
segala hal yang baik tentang daerah perkebunan untuk menarik minat bekerja di
perkebunan.
Dalam menempuh perjalannan ke tanah
terjanji atau Sumatra Timur nasib yang dialami oleh mara kuli tidak ubahnya
seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian dalam gerbong kereta tertutup.
Sebelum memasuki kamp kerja para buruh di wajidkan menandatangani kontrak kerja
tanpa dapat mengetahui dan memahami isinya. Kondisi didalam perkebunan
sangat memperhatinkan dan pada waktu itu upah yang diterima buruh dari hasil
kerja kerasnya di perkebunan hanya 35 sen perhari. Apabila seorang buruh mampu
bekerja 28 hari dalam sebulan dia akan memperoleh 980 sen gulden sebulan.
Setelah dia membayar uang panjar (vorschoot) yang diterimanya dari perkebunan
dan biaya hidupnya selama sebulan, maka upah yang diterimanya tinggal 240 sen
gulden saja.
Penerimaan upah yang rendah
menyebabkan kesehatan para buruh juga rendah. Namun demikian ketidaksemangatan
kerja mereka sering dituding sebagai sifat kemalasan yang akhirnya diberi
hukuman. Protes dan pemberontakan yang dilakukan para buruh akan berakibat
diterimanya gebukan rotan. Protes yang paling sering dilakukan adalah melarikan
diri, meskipun pada akhirnya akan tertangkap kembali dan tidak bias berkutik
dibawah pengawasan yang sangat ketat. Bahkan kontrolir yang diangkat sebagai
penuntut umum tidak mampu berbuat apa-apa ketika tuan besar mengharuskan untuk
menutup kasus perkara pengaduan buruh atas perbuatan kesewenangan tuan tanah.
Para pejabat pemerintah pun tidak punya gigi apabila berhadapan dengan tuan
besar. Gelombang protes dari berbagai negara menyuarakan bahwa perlakuan
terhadap kuli kontrak di Sumatra Timur tidak jauh berbeda dengan sistem
perbudakan.
Mulai tahun 1930 secara
berangsur-angsur dilakukan pengapusan ordonasi kuli dan peninjauan pertama kali
yang dilakukan pada tahun 1931 telah memutuskan pengurangan jumlah kuli dengan
sistem kontrak. Penghidupan para buruh serba sulit telah mempercepat hapusnya
ordonansi kuli karena perkebunan tidak
perlu mempergunakan cara pemaksaan dalam merekrut kuli. Pada tahun 1940 secara
resmi ordonansi kuli dihapuskan kesulitan penghidupan bagi buruh lebih
diperparah oleh situasi politik pada saat itu. Kondisi perkebunan yang
terlantar berdampak pada rendahnya tingkat upah buruh. Dengan perjuangan yang
hebat dari kuli-kuli wilayah Sumatra Timur yang semula hanya berpenghutan telah
berubah menjadi wilayah yang gemerlapan. Namun kenyataanya keberhasilan para
kuli tersebut belum membawa mereka beranjak dari jurang kemiskinan. Pengalaman
pahit yang panjang ini membuat wajah budaya perkebunan dimasa selanjutnya
menjadi tidak menentu,. Yang terlihat dalam wajah perkebunan adalah adanya
dualisme ekonomi yang satu sisi tersedianya tenaga kerja yang murah dan di sisi
lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar.
Meskipun buruh perkebunan tidak
dimaksudkan bekerja secara tetap di perkebunan Sumatra Timur, tetapi sebagian
besar buruh-buruh tersebut tidak kembali kampung halamannya setelah kontrak
kerja selesai,terutama bagi buruh Jawa. Setidaknya ada tiga faktor yang
menyebabkan buruh di perkebunan Sumatra Timur tidak dapat beranjak keluar dari
limgkungan perkebunan. Pertama, hal
ini berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam usaha melindungi
pemilik perkebunan agar selalu mendapatkan tenaga buruh dengan upah murah.
Peraturan perburuhan uang sebenarnya lebih banyak ditujukan untuk melindungi
kepentingan pekebun daripada melindungi hak buruh. Kedua, penggunaan candu di perkebunan Sumatra Timur juga merupakan faktor
penting yang berhasil mengikat buruh untuk tetap bekerja di perusahaan.
Perdagangan candu di kalangan buruh perkebunan sebenarnya adalah usaha yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Alasan untuk itu cukup kuat karena
hasil yang diperoleh pemerintah Belanda dari monopoli perdagangan candu itu
sangat pentingartinya bagi income pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Ketiga, pada masa kolonial Belanda
perjudian sudah merupakan bagian terpenting dari kehidupan buruh perkebunan.
Salah sartu kegiatan sosial yang telah
menjadi bagian penting dari tradisi perkebunan adalah keramaian pada waktu
gajian dan merupakan hari yang besar bagi para bandar judi,mereka biasanya
datang dari kota. Akibat langsung dengan dibukanya perkebunan di Sumatra Timur adalah semakin
meningkatnya jumlah penduduk daerah itu. Dalam beberapa dekade saja, penduduk
di Sumatra Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat.
C.
Kesimpulan
Masalah
perkebunan yang muncul dikawasan Sumatra Timur pada masa colonial, bermula dari
pembukaan perkebunan tembakau oleh beberapa pekebun Belanda. Untuk
mempertahankan keuntungan dan competitivenees dari tembakau yang dihasilkan,
para pekebun memaksa upah yang murah kepada para buruh, yang kebanyakan diambil
dari Jawa. Kebijakan ini mendapat dukungan dari pemerintah colonial Belanda.
Menghadapi tekanan dari pihak pekebun banyak para burh yang berusaha melarikan
diri atau pulang kembali kedaerah asalnya, akan tetapi dalam prakteknya
paraburuh tetap saja terikat dan tidak bias meninggalkan daerah perkebunan. Hal
ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu : dukungan pemerintah Belanda yang
memberikan sanksi kepada buruh yanh melarikan diri atau menolak bekerja, jerat
candu dan yang terakhir dalah jerat
judi.
DAFTAR
PUSTAKA
Mubyarto dkk.
1991.Tanah dan Tenaga Kerja (Kajian
Sosial Ekonomi). Yogyakarta ; Aditya
Meda. Halm 118
Razif. Penguasaan Tenaga Kerja dan Perkebunan Besar
di Sumatra Timur : Tinjauan Historis. Dalam Prisma : 1991 (020-004) (Ind) 215 H 69
Sartono
Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah
Indonesia baru dari Emperium sampai Imperium jilid 1. Jakarta ; PT.
Gramedia.
Sartono
Kartodirjo dan Djoko Suyo.1994. Sejarah
Perkebunan di Indonesia (Kajian Sosial dan Ekonomi). Yogyakarta: Aditya
Meda.
Sairin Sjafri. Kiat Perburuhan pada masa Kolonial : Kasus
perkebunan di Sumatra Timur. Dalam Prospektif : 1993(005-1&2) (Ind) H
89.
Sairin Sjafri. Tingkat Upah Buruh di Perkebunan Sumatra
Utara. Dalam Prisma : 1991 (020-004)
(Ind) 215 H 69.
No comments:
Post a Comment