Saturday, September 3, 2016

Perburuhan Masa Kolonial di Perkebunan Sumatra Timur

A. Pendahuluan
            Sumatra Timur atau yang sekarang merupakan bagian dari propinsi Sumatra Utara, dikenal sebagai daerah industri perkebunan besar di Indonesia. Sejak masa penjajahan daerah ini terkenal sebagai pusat produksi tembakau yang terkenal. Meskipun sampai saat ini daerah itu masih tetap menjadi pusat perkebunan di Indonesia walaupun pada masa sekarang ini tidak hanya komoditas tembakau saja, akan tetapi juga menyangkut komoditas perkebunan lainnya seperti karet, kelapa sawit dan kakao. Sejarah perkebunan di Sumatra Timur diawali oleh kedatangan Jacobus Nienhuys, seorang bangsa Belanda dan rekan-rekannya. Dari kedatangan Nienhuys ini ia menarik kesimpulan bahwa daerah ini cocok untuk daerah perkebunan tembakau, sementara itu datang pengusaha perkebunan baru Moss dan Baker dari Swiss dan Von March dari Jerman. Kecuali perkebunan tembakau, mereka juga membuka perkebunan pala dan kelapa. Tanah itu langsung sewa dari rakyat.

             Pada tahun 1863 Belanda mulai membuka kebun tembakau pertama di Sumatra Timur. Nienhuys memperoleh tanah seluas 4000 bau dari Sultan Mahmud penguasa Deli pada waktu itu dengan masa sewa selama 20 tahun dan biaya sewa sangat murah. Untuk tahun-tahun berikutnya perkebunan di Sumatra Timur mengalami pekembangan yang sangat pesat. Dari dibukanya perkebunan tembakau di Deli ini merupakan cikal bakal perkebunan di Sumtra Timur.
Tidak terlepas dari itu usaha perkebunan selalu berkaitan dengan masalah tenaga kerja (buruh), yang nyata ialah kedudukan pemerintah diganti oleh kaum usahawan perkebunan,kerja paksa diganti dengan kerja upah, lagi pula wajib-serah tanah diganti dengan sewa tanah. Dalam pada itu jenis tanaman yang dibudidayakan kebanyakan sama dengan yang diwajib tanamkan pada masa Sistem Tanam Paksa. Rakyat telah mengenal berbagai jenis tanaman baru serta telah berpengalaman dalam teknologi kultivasinya. Dalam hal ini sistem tersebut telah membawa inovasi baik berupa komoditi baru maupun teknologi yang dipakai untuk memproduksikannya.
B. Pembahasan
Berkembangnya perkebunan besar di Sumatra Timur pada pertengahan abad XIX telah banyak menarik orang untuk mengadu nasib didaerah itu. Mereka datang ke wilayah tersebut dengan tujuan yang sama yakni untuk mencari uang. Orang kulit putih dating untuk membuka lahan perkebunan dan orang Cina, India serta Jawa datang untuk menjadi buruh perkebunan, sedangkan kelompok suku bangsa Minangkabau dan Mandailing merantau kesana untu mengadu nasib sebagai pedagang. Akan tetapi sedikit sekali penduduk Sumatra Timur yang tergoda untuk menjadi buruh perkebunan hal ini dikarenakan mereka telah mempunyai sumber kehidupan dari tanah-tanah yang mereka miliki disamping itu mereka kurang tertarik bekerja dibawah perintah orang lain. Mereka merasa lebih bebas hidup tanpa terikat perjanjian kerja di perkebunan, sehingga untuk mengatasi masalah tenaga kerja perusahaan perkebunan terpaksa mendatangkan buuh dari daerah yang padat penduduknya.
Pada awal perkembangannya pekebun mendatangkan buruh dari Cina melalui agen-agen buruh disemenanjung Malaya. Kebijakasanan untuk mendatangkan buruh Cina kemudian diikuti oleh pekebun-pekebun yang datang belakangan. Tetapi ketika usaha untuk mendatangkan tenaga kerja dari Cina mengalami hambatan, terutama karena pembatasan-pembatasan izin yang dilakukan oleh pemerintah Cina, pekebun mulai melirik Jawa yang pada waktu itu dianggap tempat yang tepat untuk memperoleh buruh yang murah dan berhubung jumlah penduduknya yang cukup padat. Buruh yang dibawa ke daerah Sumatra Timur ini diikat dengan sistem kontrak kerja selama 3 tahun. Biaya transportasi dan tempat tinggal ditanggung oleh perkebunan.
Setelah masa kontrak selesai buruh boleh kembali ke daerah asalnya atas biaya perkebunan. Alasan yang mendorong para petani Jawa untuk bergerak ke Sumatra Timur antara lain : pertama, menjelang abad XIX Jawa telah dijadikan tempat konsentrasi penanaman tebu dan tanah-tanah garapan petani kecil diambil alih oleh prusahaan-perusahaan perkebunan gula. Kedua, dihapuskannya pajak bumi. Ketiga, awal abad XX Hindia Belanda sudah kekurangan beras sehingga terpaksa harus mengimpor beras dari luar terutama Birma yang menyababkan harga beras melunbung tinggi. Dalam perburuhan Jawa agen-agen tersebut adalah bangsa Eropa dengan petugas lapangan yang berasal dari kalangan Jawa sendiri yang disebut Werek. Dalam mencari calon buruh yang mau diajak bekerja di Sumatra Timur para werek ini melakukan berbagai macam cara, termasuk membujuk dan menipu calon buruh yang diincarnya. Misalnya, werek itu mengajak calon korban pergi untuk menonton wayang, akan tetapi kemudian dengan berbagai jalan orang tersebut disandra dan dikirim ke Sumtra Timur. Komisi yang diterima oleh para werek cukup tinggi. Untuk seorang buruh yang berhasil didapatkan werek menerima bayaran dari agen senilai 266 hari kerja para buruh di Jawa. Pada masa itu rata-rata buruh menerima upah sebesar 30 sen gulden sehari.
Tergiur oleh bayaran yang tinggi itu para werek itu terdorong untuk menggunakan berbagai cara untuk memperoleh tenaga kerja untk perkebunan. Kalaupun ada orang Jawa yang mau bekerja sebagai buruh di perkebunan Sumatra Timur secara suka rela, hal itu berkaitan erat dengan usaha untuk meningkatkan kehidupan ekononinya.perekrutan buruh dilakukan juga dengan pemulangan buruh dengan keharusan memberikan informasi mengenai segala hal yang baik tentang daerah perkebunan untuk menarik minat bekerja di perkebunan.
Dalam menempuh perjalannan ke tanah terjanji atau Sumatra Timur nasib yang dialami oleh mara kuli tidak ubahnya seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian dalam gerbong kereta tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja para buruh di wajidkan menandatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahami isinya. Kondisi didalam perkebunan sangat memperhatinkan dan pada waktu itu upah yang diterima buruh dari hasil kerja kerasnya di perkebunan hanya 35 sen perhari. Apabila seorang buruh mampu bekerja 28 hari dalam sebulan dia akan memperoleh 980 sen gulden sebulan. Setelah dia membayar uang panjar (vorschoot) yang diterimanya dari perkebunan dan biaya hidupnya selama sebulan, maka upah yang diterimanya tinggal 240 sen gulden saja.
Penerimaan upah yang rendah menyebabkan kesehatan para buruh juga rendah. Namun demikian ketidaksemangatan kerja mereka sering dituding sebagai sifat kemalasan yang akhirnya diberi hukuman. Protes dan pemberontakan yang dilakukan para buruh akan berakibat diterimanya gebukan rotan. Protes yang paling sering dilakukan adalah melarikan diri, meskipun pada akhirnya akan tertangkap kembali dan tidak bias berkutik dibawah pengawasan yang sangat ketat. Bahkan kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum tidak mampu berbuat apa-apa ketika tuan besar mengharuskan untuk menutup kasus perkara pengaduan buruh atas perbuatan kesewenangan tuan tanah. Para pejabat pemerintah pun tidak punya gigi apabila berhadapan dengan tuan besar. Gelombang protes dari berbagai negara menyuarakan bahwa perlakuan terhadap kuli kontrak di Sumatra Timur tidak jauh berbeda dengan sistem perbudakan.
Mulai tahun 1930 secara berangsur-angsur dilakukan pengapusan ordonasi kuli dan peninjauan pertama kali yang dilakukan pada tahun 1931 telah memutuskan pengurangan jumlah kuli dengan sistem kontrak. Penghidupan para buruh serba sulit telah mempercepat hapusnya ordonansi kuli karena perkebunan  tidak perlu mempergunakan cara pemaksaan dalam merekrut kuli. Pada tahun 1940 secara resmi ordonansi kuli dihapuskan kesulitan penghidupan bagi buruh lebih diperparah oleh situasi politik pada saat itu. Kondisi perkebunan yang terlantar berdampak pada rendahnya tingkat upah buruh. Dengan perjuangan yang hebat dari kuli-kuli wilayah Sumatra Timur yang semula hanya berpenghutan telah berubah menjadi wilayah yang gemerlapan. Namun kenyataanya keberhasilan para kuli tersebut belum membawa mereka beranjak dari jurang kemiskinan. Pengalaman pahit yang panjang ini membuat wajah budaya perkebunan dimasa selanjutnya menjadi tidak menentu,. Yang terlihat dalam wajah perkebunan adalah adanya dualisme ekonomi yang satu sisi tersedianya tenaga kerja yang murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar.
Meskipun buruh perkebunan tidak dimaksudkan bekerja secara tetap di perkebunan Sumatra Timur, tetapi sebagian besar buruh-buruh tersebut tidak kembali kampung halamannya setelah kontrak kerja selesai,terutama bagi buruh Jawa. Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan buruh di perkebunan Sumatra Timur tidak dapat beranjak keluar dari limgkungan perkebunan. Pertama, hal ini berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam usaha melindungi pemilik perkebunan agar selalu mendapatkan tenaga buruh dengan upah murah. Peraturan perburuhan uang sebenarnya lebih banyak ditujukan untuk melindungi kepentingan pekebun daripada melindungi hak buruh. Kedua, penggunaan candu di perkebunan Sumatra Timur juga merupakan faktor penting yang berhasil mengikat buruh untuk tetap bekerja di perusahaan. Perdagangan candu di kalangan buruh perkebunan sebenarnya adalah usaha yang dilakukan oleh pemerintah kolonial belanda. Alasan untuk itu cukup kuat karena hasil yang diperoleh pemerintah Belanda dari monopoli perdagangan candu itu sangat pentingartinya bagi income pemerintah kolonial Belanda pada saat itu. Ketiga, pada masa kolonial Belanda perjudian sudah merupakan bagian terpenting dari kehidupan buruh perkebunan.
Salah sartu kegiatan sosial yang telah menjadi bagian penting dari tradisi perkebunan adalah keramaian pada waktu gajian dan merupakan hari yang besar bagi para bandar judi,mereka biasanya datang dari kota. Akibat langsung dengan dibukanya perkebunan di Sumatra Timur adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk daerah itu. Dalam beberapa dekade saja, penduduk di Sumatra Timur mengalami perkembangan yang sangat pesat.

C. Kesimpulan
            Masalah perkebunan yang muncul dikawasan Sumatra Timur pada masa colonial, bermula dari pembukaan perkebunan tembakau oleh beberapa pekebun Belanda. Untuk mempertahankan keuntungan dan competitivenees dari tembakau yang dihasilkan, para pekebun memaksa upah yang murah kepada para buruh, yang kebanyakan diambil dari Jawa. Kebijakan ini mendapat dukungan dari pemerintah colonial Belanda. Menghadapi tekanan dari pihak pekebun banyak para burh yang berusaha melarikan diri atau pulang kembali kedaerah asalnya, akan tetapi dalam prakteknya paraburuh tetap saja terikat dan tidak bias meninggalkan daerah perkebunan. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu : dukungan pemerintah Belanda yang memberikan sanksi kepada buruh yanh melarikan diri atau menolak bekerja, jerat candu dan  yang terakhir dalah jerat judi. 

DAFTAR PUSTAKA

Mubyarto dkk. 1991.Tanah dan Tenaga Kerja (Kajian Sosial  Ekonomi). Yogyakarta ; Aditya Meda. Halm 118
Razif. Penguasaan Tenaga Kerja dan Perkebunan Besar di Sumatra Timur : Tinjauan Historis. Dalam Prisma : 1991 (020-004)  (Ind) 215 H 69
Sartono Kartodirjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia baru dari Emperium sampai Imperium jilid 1. Jakarta ; PT. Gramedia.
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suyo.1994. Sejarah Perkebunan di Indonesia (Kajian Sosial dan Ekonomi). Yogyakarta: Aditya Meda.
Sairin Sjafri. Kiat Perburuhan pada masa Kolonial : Kasus perkebunan di Sumatra Timur. Dalam Prospektif : 1993(005-1&2) (Ind) H 89.
Sairin Sjafri. Tingkat Upah Buruh di Perkebunan Sumatra Utara. Dalam Prisma : 1991 (020-004)  (Ind) 215 H 69.

No comments:

Post a Comment