PENDAHULUAN
Sistem
Tanam Paksa (STP) yang diberlakukan sejak tahun 1830 hingga 1870 telah membawa
dampak yang sangat luas bagi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat
Hindia-Belanda pada saat itu. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan
yang memberatkan rakyat. Selain itu, juga terjadi bencana kelaparan yang sangat
memprihatinkan dan hal itu telah menuntut dihapusnya STP yang dinilai sudah
tidak sesuai prosedur yang ada.
Pemerintah
Hindia Belanda dalam usahanya untuk mempertinggi produksi komoditas tanaman
ekspor menggunakan penduduk pribumi untuk membayar pajaknya dalam bentuk hasil
yang dapat dijadikan sebagai barang ekspor ke pasaran Eropa dan negeri Belanda
dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, meskipun pada kenyataannya banyak
terjadi penyelewengan dan menimbulkan bencana kelaparan akibat kurang
diperhatikannya sektor pangan bagi penduduk pribumi.
PENGHAPUSAN
SISTEM TANAM PAKSA
Dalam
perkembangannya STP berjalan terus tanpa diketahui dan diawasi oleh pemerintah
pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun 1843
terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi bencana kelaparan di
beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan bebrapa tempat lain
sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi.
Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah penduduk dengan
cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten
lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500 jiwa
sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya STP.
Pengerahan
tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya,
seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman
indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas.
Penanaman tebu juga membawa beban yang
sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif,
pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan
tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi
oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak
dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang
melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman
pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi
dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana
kelaparan terjadi. Sistem tanam paksa yang diterapkan mulai 1830 dan berakhir
pada 1870. sistem tersebut mengharuskan para petani pribumi menyerahkan
sebagian tanah dan tenaga kerja mereka demi keunntungan penanaman tanaman
perdagangan (yaitu gula, kopi dan indigo).
Pemerintah
menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa,
terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak
membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk
menghapus STP mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van
Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam
paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan
sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada
tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
Selain
bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan STP yang telah menyebabkan
sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif
akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa
tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang
terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau
pernah diberlakukan STP untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini
berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000
pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864.
namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun
secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai
berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan
yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun
1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena
perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif.
Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka
perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya
berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka
hutan, menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan,
karena jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan
menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
Kedua, penyakit daun yang berat
menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit
itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang
berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan
usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya
membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang
antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah
kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di
Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan
perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
STP
telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri
induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan
besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba
sebesar 461 juta gulden, sehinbgga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara
1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan
1870 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Dengan penanaman paksa dan
menekan upah, negeri Belanda selama sistem tanam paksa (1830-1870) berhasil
mengambil untung bersih sebesar 900 juta gulden. Uang tersebut dipergunakan
untuk melunasi hutang-hutang negeri Belanda (untuk Indonesia dan untuk negerio
Belanda sendiri), juga untuk membiayai peperangan negeri Belanda melawan
Belgia, untuk membangun jalan kereta api dan untuk membuat benteng-benteng.
Sekalipun semua keuntungan itu adalah hasil pemerasan dari keringat dan
penderitaan rakyat Indonesioa, namun tidak sepeserpun yang dikembalikan ke
Indonesia untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Secara keseluruhan politik
perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali
kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi
kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali
kepentingan masyarakat probumi.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang tampak
selama sistem tanam paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya,
namun hal itu bukan dimaksudkan oleh pemerintah kolonial untuk meningkatkan
taraf hidup rakyat Indonesia, melainkan untuk kepentingan pemerintah kolonial
sendiri. Untuk tahun-tahun terakhir maka nampak jelas bahwa sistem tanam paksa
sebagi suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitub efisien, karenanya dan
lebih didorong oleh keinginan pihak modal swasta untuk mengambil bagian dalam
ekspolitasi sumber-sumber alam Indonesia. Akhirnya dengan dihentikan sistem
tanam paksa sejak tahun 1870 pemerintahan Belanda tidak dapat memberikan
peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Indonesia.
KESIMPULAN
STP
yang diterapkan di Indonesia berakhir sebagai akibat dari terjadinya
penyelewengan dalam proses pelaksanaannya. Penyelewengan-penyelewengan itu
menyebabkan terjadinya bencana kelaparan, kelangkaan tenaga kerja akibat
genosida ketika melakukan tanam paksa, berkurangnya kualitas lahan yang
mendukung, kegagalan panen akibat serangan hama, serta faktor politik yang
mewarnai kehidupan pemerintahan Hindia-Belanda. Meskipun sistem ini membawa
keuntungan besar bagi Belanda, namun sedikit banyak telah membawa kesengsaraan
rakyat yang dipaksa untuk menanam tanaman ekspor walaupun pada akhirnya
mengalami kegagalan.
DAFTAR
PUSTAKA
Marwati Djoened Poesponegoro &
Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah
Nasional Indonesia
V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo.1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900,
dari Emporium
sampai Imperium. Jakarta: Gramedia.
A. Thomas Lindbland. 1999. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Yogyakarta
: LP3ES.
No comments:
Post a Comment