Sunday, August 21, 2016

Penghapusan Sistem Tanam Paksa

PENDAHULUAN

            Sistem Tanam Paksa (STP) yang diberlakukan sejak tahun 1830 hingga 1870 telah membawa dampak yang sangat luas bagi perkembangan sosial-ekonomi masyarakat Hindia-Belanda pada saat itu. Namun dalam pelaksanaannya terjadi penyelewengan yang memberatkan rakyat. Selain itu, juga terjadi bencana kelaparan yang sangat memprihatinkan dan hal itu telah menuntut dihapusnya STP yang dinilai sudah tidak sesuai prosedur yang ada.

            Pemerintah Hindia Belanda dalam usahanya untuk mempertinggi produksi komoditas tanaman ekspor menggunakan penduduk pribumi untuk membayar pajaknya dalam bentuk hasil yang dapat dijadikan sebagai barang ekspor ke pasaran Eropa dan negeri Belanda dengan ketentuan yang sudah ditetapkan, meskipun pada kenyataannya banyak terjadi penyelewengan dan menimbulkan bencana kelaparan akibat kurang diperhatikannya sektor pangan bagi penduduk pribumi.

PENGHAPUSAN SISTEM TANAM PAKSA

            Dalam perkembangannya STP berjalan terus tanpa diketahui dan diawasi oleh pemerintah pusat begaimana pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun 1843 terbukalah mata para penguasa di Batavia ketika terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan bebrapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara tahun 1843-1848 mengakibatkan turunnya jumlah penduduk dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500   jiwa sebagai akibat dari kurangnya pengawasan terhadap jalannya STP. 
            Pengerahan tenaga untuk mengerjakan tanam paksa tidak jarang melampaui batas-batasnya, seperti rakyat disuruh pergi meninggalkan desanya untuk dipaksa menanam tanaman indigo di daerah lain selama berbulan-bulan tanpa jaminan hidup yang jelas. Penanaman tebu juga membawa beban  yang sangat berat bagi rakyat oleh karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan sampai dengan panen yang memakan banyak waktu dan tenaga. Penyelenggaraannya sukar diatur secara bersama dengan penanaman padi oleh karena keduanya memakai tanah yang sama. Sering kali penanaman padi tidak dapat dimulai dengan tepat karena menunggu sampai tebu ditebang. Selain itu, bagian tanah yang diminta untuk menanami tanaman wajib yang melebihi dari 1/5 luas tanah telah mengurangi luas lahan untuk menanam tanaman pangan dan berakibat pada menurunnya hasil panen tanaman pangan seperti padi dan makanan pokok lainnya. Hal ini meniumbulkan kelangkaan pangan dan bencana kelaparan terjadi. Sistem tanam paksa yang diterapkan mulai 1830 dan berakhir pada 1870. sistem tersebut mengharuskan para petani pribumi menyerahkan sebagian tanah dan tenaga kerja mereka demi keunntungan penanaman tanaman perdagangan (yaitu gula, kopi dan indigo).
            Pemerintah menjadi semakin memahami akibat buruk dari penyimpangan sistem tanam paksa, terutama setelah terjadi bencana kelaparan di beberapa wilayah, yang banyak membawa korban kematian dan penderitaan penduduk. Kritik dan gerakan untuk menghapus STP mulai dilancarkan, seperti yang dilakukan oleh Vitalis dan van Hoevel. Gerakan ini baru berhasil pada tahun 1860, setelah sebagian besar tanam paksa dihapuskan.Bebarapa tanaman paksa dihapuskan secara bertahap dihapuskan sesudah tahun 1860, seperti lada pada tahun 1862, nila, teh dan kayu manis pada tahun 1865, dan tembakau pada tahun 1866.
            Selain bencana kelaparan, penyebab terjadinya kegagalan STP yang telah menyebabkan sistem ini kemudian dihapus adalah adanya pengurangan luas lahan produktif akibat pengelolaan yang kurang memadai, adanya hama yang menyerang beberapa tanaman komoditi seperti kopi dan tebu, serta adanya pengaruh politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai contoh dari pernyataan tersebut, di Minangkabau pernah diberlakukan STP untuk komoiditi kopi. Pada 20 tahun pertama program ini berlangsung dengan sukses. Produksi kopi di Minangkabau meningkat dari 58.000 pikul hingga mencapai 173.000 pikul (lebih dari 10,5 juta kg) pada tahun 1864. namun, dalam satu dasawarsa setelah mencapai puncak ini, produksi kopi menurun secara drastis, dan pemerintah ternyata tidak mampu membendung penurunan ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor.
            Pertama, tanah yang paling baik untuk kopi mulai berkurang. Cara yang digunakan di Minangkabau adalah pengelolaan areal lahan yang luas, yang cocok sekali untuk menanam kopi selama mungkin. Sejak tahun 1850 telah dirasakan kebutuhan akan peremajaan pohon-pohon kopi, karena perkebunan-perkebunan kopi yang ada sudah berumur tua dan tidak lagi produktif. Dengan berkurangnya areal lahan yang baik di lokasi-lokasi yang lama, maka perlu sekali membuat kebun-kebun baru di daerah lain. Hal ini tidak hanya berarti mengurangi pekerjaan-pekerjaan yang tidak produktif seperti membuka hutan, menanam dan memetik, tetapi hal itu juga berarti menambah pekerjaan, karena jarak antara daerah baru itu dengan kampung para pekerja lebih jauh dan menimbulkan kesulitan transportasi akibat jarak yang jauh.
            Kedua, penyakit daun yang berat menghinggapi pohon-pohon kopi. Di tahun-tahun 1870-an, penyakit Hemilia vestatrix menyerang kopi jenis Arabica yang ditanam di sana. Penyakit itu telah memusnahkan sebagian besar dari perkebunan-perkebunan kopi yang berketinggian di bawah 1000 meter dari permukaan laut. Oleh karenanya diadakan usaha untuk menanam kopi di ketinggian tersebut, walaupun pada akhirnya membutuhkan tenaga dan transportasi yang lebih. Namun rakyat minangkabau kurang antusias dalam hal ini, sehingga lama-kelamaan produksi kopi menurun drastis.
            Ketiga, sesudah tahun 1873, pemerintah kolonial Belanda terlibat dalam peperangan yang panjang, mahal dan sengit di Aceh. Hal ini membuat rakyat Minangkabau berubah sikap dalam hal pengelolaan perkebunan kopi dan akhirnya banyak perkebunan kopi yang terbengkalai.
            STP telah berhasil meningkatkan produksi tanaman ekspor, dan mengirimnya ke negeri induk, dan kemudian dijual ke pasaran dunia, yang mendatangkan keuntungan besar. Sejak masa 1841 sampai 1863, sistem tanam paksa telah mendatangkan laba sebesar 461 juta gulden, sehinbgga hutang negeri Belanda dapat dilunasi. Antara 1836 dan 1866 diperoleh keuntungan sebesar 692 juta gulden, dan antara 1867 dan 1870 diperoleh keuntungan sebesar 151 juta gulden. Dengan penanaman paksa dan menekan upah, negeri Belanda selama sistem tanam paksa (1830-1870) berhasil mengambil untung bersih sebesar 900 juta gulden. Uang tersebut dipergunakan untuk melunasi hutang-hutang negeri Belanda (untuk Indonesia dan untuk negerio Belanda sendiri), juga untuk membiayai peperangan negeri Belanda melawan Belgia, untuk membangun jalan kereta api dan untuk membuat benteng-benteng. Sekalipun semua keuntungan itu adalah hasil pemerasan dari keringat dan penderitaan rakyat Indonesioa, namun tidak sepeserpun yang dikembalikan ke Indonesia untuk memperbaiki nasib rakyat Indonesia. Secara keseluruhan politik perekonomian yang diterapkan sejak tahun 1815-1870 diarahkan untuk menggali kekayaan tanah jajahan (Hindia-Belanda) dan menguras sumberdaya yang ada demi kepentingan negeri Belanda dengan hanya melihat sedikit atau tidak sama sekali kepentingan masyarakat probumi.
Kemajuan-kemajuan tertentu yang tampak selama sistem tanam paksa berlangsung, misalnya perluasan jaringan jalan raya, namun hal itu bukan dimaksudkan oleh pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Indonesia, melainkan untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Untuk tahun-tahun terakhir maka nampak jelas bahwa sistem tanam paksa sebagi suatu sistem eksploitasi kolonial tidak begitub efisien, karenanya dan lebih didorong oleh keinginan pihak modal swasta untuk mengambil bagian dalam ekspolitasi sumber-sumber alam Indonesia. Akhirnya dengan dihentikan sistem tanam paksa sejak tahun 1870 pemerintahan Belanda tidak dapat memberikan peluang bagi modal swasta Belanda untuk memasuki Indonesia.

KESIMPULAN

            STP yang diterapkan di Indonesia berakhir sebagai akibat dari terjadinya penyelewengan dalam proses pelaksanaannya. Penyelewengan-penyelewengan itu menyebabkan terjadinya bencana kelaparan, kelangkaan tenaga kerja akibat genosida ketika melakukan tanam paksa, berkurangnya kualitas lahan yang mendukung, kegagalan panen akibat serangan hama, serta faktor politik yang mewarnai kehidupan pemerintahan Hindia-Belanda. Meskipun sistem ini membawa keuntungan besar bagi Belanda, namun sedikit banyak telah membawa kesengsaraan rakyat yang dipaksa untuk menanam tanaman ekspor walaupun pada akhirnya mengalami kegagalan.


DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho Notosusanto.1993. Sejarah Nasional                                     Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Sartono Kartodirdjo.1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900, dari                              Emporium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia.
A. Thomas Lindbland. 1999. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Yogyakarta : LP3ES.

No comments:

Post a Comment