A.
LATAR
BELAKANG
Dalam
bukunya History Of Java, lebih lanjut Raffles menulis; Gedung Balai Kota
menjadi pusat segala macam kegiatan pemerintahan. Pemerintah kota dan
Pengadilan Tinggi berkantor ditempat yang sama. Juga pedagang-pedagang yang
melakukan transaksi sepanjang hari, sangat sibuk dalam gedung tersebut.
Sedangkan gudang-gudang selalu tampak penuh dengan hasil-hasil yang menunjukkan
kekayaan yang melimpah-limpah dari pulau Jawa.
Dalam
pada itu lingkungan penduduk Eropa yang biasanya tinggal dalam gugusan kota yang
terbaik kelihatan hidup dengan tenang dan mendapatkan penghormatan yang layak
dari masyarakat. Juga penduduk Cina tampak lebih terhormat daripada penduduk
Bumiputera.
Keadaan
sosial-ekonomi penduduk Cina memang jauh lebih baik daripada penduduk Bumiputera.
Lebih-lebih karena dalam hal pemungutan pajak kebanyakan merekalah yang
melakukannya. Misalnya saja, yang paling banyak dikuasakan kepada mereka ialah
pemungutan pajak pasar. Keadaan demikian mulai berlaku sejak Daendels dalam
rangka usahanya agar dengan cepat dapat memperoleh uang, ia telah memborongkan
atau mengontrakkan beberapa jenis pemungutan pajak kepada beberapa orang Cina
yang kaya. Batas waktu hak memungut pajak dari para pemborong tidak diketahui
dengan pasti. Oleh karena itu pula maka dibagian-bagian kota yang lain,
kewajiban membayar pajak para pedagang di pasar-pasar jumlahnya juga tidak
dapat diketahui dengan pasti. Sulit diperkirakan karena penarikan pajak itu
seolah-olah sudah menjadi hak golongan tertentu. Akan tetapi mungkin juga masih
dapat diperkirakan, yakni masih lebih banyak daripada jumlah yang ditarik pada
waktu-waktu yang lebih kemudian.
Dari
penjelasan Raffles perihal pajak tersebut diatas, terutama pada kalimatnya yang
terakhir, jelaslah bahwa kemudian ia melakukan perombakan total dalarn sistem
pemungutan pajak. Mencabut hak pungut dari golongan tertentu, kemudian
mengembalikannya kepada sistem lama, yakni dijalankan oleh pemerintah.
B.
PAJAK MASA RAFFLES
Sudan
lazim setiap datang penguasa baru, hukum dan peraturan baru pun muncul pula.
Demikian pula dalam pelaksanaannya, terjadi perbedaan-perbedaan dan
penyimpangan-penyimpangan, meskipun dalam artikel 5 proklamasi 11 September
1811 telah ditentukan bahwa segala macam kekuatiran akan terjadinya perubahan
besar-besaran akan dihindarkan. Akan tetapi peraturan-peraturan dasar yang
menguntungkan bagi Belanda juga dilanjutkan oleh Inggris.
Sistem
pajak tanah, yang diperkenalkan oleh Raffles pada masa ia berkuasa di
Indonesia, merupakan salah satu realisasi dari gagasan pembaharuan kaum liberal
dalam kebijaksanakan politik di tanah jajahan, yang besar pengaruhnya terhadap
perubahan masyarakat tanah jajahan pada masa kemudian.
Pengenalan
sistem pajak tanah yang dilancarkan Raffles, merupakan bagian integral dari
gagasan pembaharuannya tentang sistem sewa tanah di tanah jajahan. Gagasannya
itu timbul dari upayanya untuk memperbaiki sistem paksa dari Kumpeni (VOC),
yang dianggap memberatkan dan merugikan penduduk. Menurut Raffles sistem
penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi, akan memberikan peluang tindakan
penindasan, dan tidak akan mendorong semangat kerja penduduk, karena itu
merugikan pendapatan negara. Maka dari itu Raffles menghendaki perubahan sistem
penyerahan paksa dengan sistem pemungutan pajak tanah, yang dianggap akan menguntungkan
kedua belah pihak baik negara maupun penduduk.
Dalam
pengaturan pajak tanah, Raffles dihadapkan pada pemilihan antara penetapan
pajak secara sedesa dan secara perseorangan. Sebelumnya pengumpulan hasil
tanaman, terutama dari sawah yaitu beras dilakukan melalui sistem penyerahan
wajib melalui penguasa pribumi, dan dikenakan secara kesatuan desa. Dalam hal ini
para bupati dan kepala desa memiliki keleluasaan untuk mengaturnya. Akan tetapi
Raffles tidak menyukai cara ini, karena penetapan pajak per desa akan
mengakibatkan ketergantungan penduduk kepada kemurahan para penguasa pribumi,
dan penindasan terhadap rakyat tidak dapat dihindarkan, Maka dan itu, Raffles
lebih suka memilih penetapan pajak secara perseorangan, karena akan lebih
menentukan kepastian hukum dalam bidang perpajakan, sekalipun tidak mudah.
Isi
pokok sistem pajak tanah yang diperkenalkan Raffles pada pokoknya berpangkal
pada peraturan tentang pemungutan semua hasil penanaman baik di lahan sawah
maupun di lahan tegal. Penetapan pajak tanah tersebut didasarkan pada klasifikasi
kesuburan tanah masing-masing, dan terbagi atas tiga klasifikasi, yaitu terbaik
(I), sedang (II), dan kurang (III). Rincian penetapan pajak itu sebagai berikut
:
1) Pajak
Tanah Sawah :
Golongan I, 1/2 Hasil Panenan
Golongan II, 2/5
Hasil Panenan
Golongan III, 1/3
Hasil Panenan
2) Pajak
Tanah Tegal :
Golongan I, 2/5 Hasil Panenan
Golongan II, 1/3
Hasil Panenan
Golongan III, 1/4
Hasil Panenan
Pajak
dibayarkan dalam bentuk uang tunai atau dalam bentuk padi atau beras, yang
ditarik secara perseorangan dari penduduk tanah jajahan. Penarikan pajak
dilakukan oleh petugas pemungut pajak. Pelaksanaan pemungutan pajak tanah
dilakukan secara bertahap. Pertama-tama dilakukan percobaan penetapan pajak per
distrik di Banten. Kemudian pada tahun 1813 dilanjutkan dengan penetapan pajak
per desa, dan baru pada tahun 1814 diperintahkan untuk dilakukan penetapan
pajak secara perseorangan.
Dalam
pelaksanaannya, sistem pemungutan pajak tanah ini, tidak semua dapat dilakukan menurut
gagasannya, karena banyak menghadapi kesulitan dan hambatan yang timbul dari
kondisi di tanah jajahan. Malahan praktek pemungutan pajak tanah banyak
menimbulkan kericuhan dan penyelewengan. Belum adanya pengukuran luas tanah
yang tepat, kepastian hukum dalam hak milik tanah belum ada, hukum adat masih
kuat, penduduk belum mengenal ekonomi uang dan sulit memperoleh uang menyebabkan
pelaksanaan pemungutan pajak yang dilancarkan Raffles tidak berhasil dan banyak
menimbulkan penyelewengan.
Kurang berhasilnya sistem pemungutan
pajak tanah yang dilancarkan Raffles, menyebabkan pemerintah Belanda yang menerima
pengembalian tanah jajahan dari Inggris pada tahun 1816, ragu dalam memilih
antara sistem pajak dan sistem paksa. Dihadapkan tuntutan negeni induk yang mendesak
pertimbangan terhadap sistem yang lebih menguntungkan negeri induk cenderung
selalu yang dipilih. Demikian pula, yang dihadapi para penguasa kolonial pada
masa 1816-1830.
Para
penguasa kolonial Belanda sesudah 1816, seperti para Komisaris Jenderal (1816-1819),
Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819- 1826), dan Du Bus de Gesignies,
misalnya, semula berniat meneruskan gagasan liberal dengan melakukan politik
perlindungan hak-hak penduduk pribumi dan perbaikan nasibnya, terpaksa
meneruskan politik eksploitasi tanah jajahan demi keuangan negeri induk yang
sedang mengalami kemerosotan. Sekalipun demikian, mereka masih mencari
cara-cara untuk menjalankan prinsip kebebasan, sehingga kebijaksanaan
politiknya bersifat dualistis. Pada satu pihak, pemerintah melakukan sistem
pungutan hasil tanaman lewat penguasa pribumi, sekalipun dengan pengawasan
ketat; pada pihak lain, pemerintah memberikan keleluasaan pengusaha barat untuk
membuka perkebunan dan perusahaan agrobisnisnya.
Sementara
itu, sistem pajak-tanah terus dilaksanakan, tetapi berbeda dengan cara yang
dikehendaki Raffles. Pungutan pajak tanah dibebankan kepada desa, bukan kepada
perseorangan. Pembayaran pajak tanah tidak selalu dilakukan dengan uang, tetapi
juga dengan barang. Umumnya para petani dapat membayar dengan uang tunai
apabila mereka dapat menjual berasnya, terutama dalam jumlah besar. Penjualan
beras dalam jumlah besar hanya mungkin apabila terdapat perdagangan beras di
pasaran yang maju. Usaha untuk memperbesar produksi beras secara besar-besaran
dan menciptakan mekanisme pasar yang maju tidak mudah.
Berbeda
dengan Raffles, pemerintah kolonial Belanda sesudah tahun 1816 mempertahankan
kedudukan para bupati sebagai penguasa feodal (tradisional), di samping sebagai
pegawai pemerintah kolonial, yang bertanggung jawab atas pungutan pajak tanah.
C.
PELAKSANAAN
LANDRENTE
Kembali
kepada soal pajak-tanah (Landrente) yang diciptakan oleh Raffles dengan
pengumuman 11 Pebruari 1811, ternyata telah mendapat beberapa tantangan.
Khususnya dalam bidang administrasi, telah timbul berbagai kesulitan yang sukar
diselesaikan. Sebagaimana telah disinggung dimuka, peraturan itu terlalu
tergesa-gesa dikeluarkan dan serta merta sudah ada beberapa orang yang tidak
dapat menerimanya. Inilah satu sebab terpenting mengapa landrente tidak dapat
berjalan lancar. Sebab yang lain ialah, keadaan sosial-ekonomis penduduk desa
rata-rata sangat sukar untuk dapat.memenuhi pajak tanah tersebut, padahal
mereka sudah mempunyai kewajiban lain, yakni membayar iuran kas desa.
Sebegitu
jauh, setelah diusahakan sungguh-sungguh, landrente hanya dapat dilaksanakan
agak tertib di Jawa Tengah dan di beberapa daerah Jawa Barat. Di Jawa Timur
(Banyuwangi, Probolinggo) di wilayah Batavia dan Priangan, karena Landrente tak
dapat dijalankan, maka secara paksa pemerintah menarik pajak dengan menggunakan
sistem lama. Demikian pula yang terjadi di beberapa daerah lain di luar Jawa,
misalnya di Madura, Sudah barang tentu, hasilnya tidak seperti yang telah
ditentukan.
Karena
kemacetan-kemacetan yang dialami dalam pelaksanaan system tersebut, pemerintah
akhirnya mengadakan pembaharuan besar-besaran, meliputi bidang administrasi dan
staf pegawai. Perombakan administrasi keuangan, kecuali yang bersangkut paut
dengan landrente akan digarap oleh Revenue Committee (Komisi Pembaharuan) yang
dibentuk pada tanggal 13 Agustus 1813. Staf Direksi landrente, stelsel pajak
baru, akan langsung diperbaharui dan dipimpin oleh Raffes selaku luitnant
gouverneur, Accountant General Office (Kantor Besar Akuntan), yang memegang kekuasaan
likwidasi dan peripikasi, menguasai seluruh pembukuan. Akan tetapi dalam soal
pengawasan dan penguasaan barang-barang perbendarahaan berada di luar wewenang
mereka. Jadi wewenang dan tanggung jawab mereka terbatas; yakni hanya dalam
segi pendapatan, bukan penggunaannya.
Segala
macam peraturan tentang pengawasan, menurut ketentuan ketentuan yang lebih
kemudian tidak diketahui lagi. Dalam pada itu perihal segenap bangunan atau
gedung-gedung, diserahkan kepada para pegawai atas dasar kepercayaan pada ketulusan
dan ikhtiar mereka masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Kartodirjo,
Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama. 1995.
Kartodirjo,
Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PT Grafitas. 1975
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982.
M.C.Ricklefs.
Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995.
Nugroho
Noto Susanto. Sejarah Nasional Indonesia
jilid II. Bandung : Masa Baru. 1979.
Prof.Dr.D.H.Burger.
Indonesia antara tahun 1500-1800.
Jakarta : Pradnjaparamita. 1962.
Sanusi Pane. Sejarah Indonesia II. Jakarta : Balai Pustaka. 1965.
_______________. Perdjuangan Feodal. Bandung 1962.
No comments:
Post a Comment