Tuesday, August 2, 2016

Atonisme

Atonisme adalah sebuah kepercayaan bangsa Mesir Kuno kepada dewa Aton, yang berkembang pada masa pemerintahan Amonhotep III dan diteruskan serta dikembangkan oleh Amonhotep IV. Kepercayaan ini muncul sebagai akibat dari politik imperialisme yang berkembang pada masa itu, yakni pada masa kejayaan Mesir Kuno dibawah Amonhotep III. Imperialisme ini menyebabkan banyak orang-oramg asing yang masuk dan membawa kepercayaan / agama baru. Selain itu terjadi hubungan yang tidak harmonis antara penguasa dengan para pendeta dewa Amon, hubungan yang tidak harmonis itu timbul karena para pendeta dewa Amon ikut campur dalam pemerintahan dan bukan dalam bidangnya.

            Perubahan dalam bidang keagamaan yang diselenggarakan oleh kalangan istana mula-mula tidak begitu mencolok. Sampai saat itu Istana Mesir penuh dengan orang-orang Asia. Untuk mempertahankan imperium, Pharao seringkali mengadakan perkawinan politik dengan raja-raja daerah jajahannya, antara lain dengan Syiria. Permaisurinya Thotmes IV, Mutemua, dan Amonhotep III sendiri berasal dari Kerajaan Mitanni dari Syiria. Amonhotep III memiliki permaisuri bernama Tiy dan Chilukipa. Dengan masuknya orang-orang asing ini, maka masuk pula beberapa aliran kepercayaan yang mirip dengan konsepsi Heliopolis. Orang-orang Syiria kebanyakan memuliakan dewa Adon, yang hampir sama dengan dewa Amon, dewa tertinggi Mesir. Besar kemungkinan karena adanya pengaruh asing inilah Pharao yang memang tidak senang terhadap para pendeta Amon itu menjadi lebih condong kepada golongan Heliopolis.

Perkembangan Atonisme
           
            Atonisme mula-mula dikenalkan oleh Tiy, permaisuri Amonhotep III. Bagi Tiy, dewa Aton adalah sama dengan dewa Ra/Amon yang tradisionil, dan sama pula dengan dengan dewa Adon dari Syiria. Kepercayaan ini hanya menganut satu dewa, yakni dewa Aton. Dengan mengemukakan ajaran barunya ini, Tiy menginginkan adanya kesatuan yang kokoh dalam kepercayaan dan kenegaraan antara Mesir dan Syiria. Ia kemudian bersama Amonhotep III mengembakan ajaran baru ini dengan membangun kuil-kuil untuk dewa Aton. Tindakan ini merupakan suatu pukulan bagi golongan Thebe yang terdiri dari para pendeta yang setia terhadap kepercayaan lama, keadaan ini pada awalnya tidak menimbulkan masalah yang begitu besar, tetapi ketika Mesir di bawah pemerintahan Amonhotep IV, keadaan berubah total meskipun pada masa itu Atonisme berkembang cukup pesat.
            Pada usianya yang masih sangat muda, sekitar 17 tahun, ia mengganti namanya menjadi Akhnaton. Hal ini merupakan salah satu hal yang cukup mencolok dalam usaha untuk mengembangkan Atonisme. Untuk menunjukkan dirinya sebagai pemuja Aton, semua putranya diberi nama dengan sisipan Aton. Untuk menghindari pertentangan dengan para pendeta dewa Amon, ia kemudian memindahkan ibukota kerajaan Mesir ke kota lain yang sekarang dikenal dengan nama Tel el Amarna. Akhnaton kemudian melancarkan ajaran dan gerakan Atonisme.
            Mula-mula Akhnaton beranggapan bahwa dewa Aton adalah dewa yang bisa digambarkan dengangaya zoomorphisme, theriorphisme, atau anthropomorphisme dan berbagai polytheisme. Akan tetapi ketika pemikirannya mulai berkembang, ia mencoba melakukan perubahan terhadap Atonisme. Ajaran itu kemudian ditambah dan dikurangi, diberi warna dengan hasil daya pikir, fantasi dan emosinya, sehingga akhirnya benar-benar merupakan suatu ajaran yang dirasa ganjil oleh rakyatnya. Sengan adanya perubahan ini, ia hendak mengatakan bahwa sejak itu telah diputuskan hubungan dengan bentuk-bentuk kepercayaan lama. Baginya, yang berkuasa di alam ini hanyalah Aton, satu-satunya dewa yang ada.
            Dewa Aton bukanlah seperti dewa yang biasa dipuja oleh orang-orang Mesir Kuno. Dewa tersebut tidak boleh diberi bentuk, tidak boleh dipatungkan, dan paling jauh hanya diberi simbol. Simbolnya adalah berupa bulatan matahari dengan berkas-berkas cahayanya yang menuju ke bawah, setiap berkas berakhir pada sebuah tangan yang memegang simbol kehidupan.

            Atonisme mengajarkan manusia untuk bersifat lembut dan dianjurkan untuk hidup dalam kebenaran. Selain itu Atonisme bersifat universal. Kasih sayang dewa bukan hanya untuk orang Mesir, tapi juga untuk semua umat manusia. Perubahan dalam bidang keagamaan ini juga berpengaruh dalam bidang lainnya terutama masalah kematian, kesenian dan kebijaksanaan politik pemerintahan. Kesemuanya itu bertolak belakang dengan tradisi yang selama ini dipertahankan oleh orang-orang Mesir Kuno yang ortodoks itu. Pada masalah kematian, Atonisme tidak mengenal adanya hari pembalasan, tidak mengenal surga dan neraka, karena semua itu bertentangan dengan sifat Aton yang pengasih dan penyayang. Dengan demikian menurut Atonisme, dewa Aton tidak akan meminta pertanggungjawaban kepada umatnya atas apa yang diperbuat selama hidup di dunia, meskipun seseorang pernah berbuat jahat atau baik.  

No comments:

Post a Comment