Dengan tercapainya kemerdekaan serta terbentuknya negara
nasional timbul keperluan untuk menulis sejarah Indonesia sebagai sejarah
nasional, dewasa ini setelah mengalami alam kemerdekaan selama tiga puluh
tahun, kita menginjak tahap dalam pengembangan historiografi Indonesia di mana
usaha penulisan kembali sejarah Indonesia perlu disebarkan dengan berbagai
cakrawala:
1)
Cakrawala religio-magis serta
kosmogonis: seperti tercermin dalam Babad atau Sejarah/Hikayat telah
ditinggalkan dan diganti dengan Cakrawala empiris-ilmiah. Sejarah kritis telah
menyediakan alat-alat metodologis yang secara ilmiah akan mengungkapkan fakta-fakta
dan sumber-sumber sejarah.
2)
Cakrawala natiocentris yang
menggantikan ethnocentrisme, maka Sejarah Indonesia
merupakan kesatuan yang berbataskan kesatuan politik-geografis wilayah Indonesia .
3)
Cakrawala kolonial-elitis yang
diganti dengan sejarah bangsa Indonesia
secara keseluruhan dengan mencakup berbagai lapisan sosialnya. Tercakup di dalam
pandangan baru ini ialah dialihkannya pemusatan perhatian pada peranan
raja-raja serta menteri dan hulubalangnya, juga dari peranan para penguasa
kolonial[1].
Perubahan-perubahan pandangan itu mendapatkan
konvergensi pada usaha penulisan kembali sejarah Indonesia . Proses perubahan yang
telah berlangsung sejak awal tahun lima puluhan. Di sini
arah historicism yang berusaha menempatkan kejadian-kejadian dalam konteks sejarah
di mana peristiwa-peristiwa itu terjadi berdampingan dengan kecenderungan untuk
penulisan sejarah secara neoscientific, ialah yang berusaha menguraikan
struktur-stniktur yang menjadi kerangka bagi proses sejarah.
Dalam penyusunan historiografi Indonesia
generasi sejarahwan dewasa ini dihadapkan dengan perubahan sosial baik yang
bergerak dengan langkah yang sangat cepat membuka pandangan-pandangan baru bagi
sejarahwan. Pada satu fihak kesadaran akan historisitas benda-benda
mengutarakan soal kapan, dimana dan apa yang terjadi.
Rekonstruksi sejarah sebagai cerita dengan menggunakan
kejadian aksi manusia serta dramatis personae, kesemuanya terjalin dalam rangkaian
yang menonjolkan keunikan kejadian-kejadian. Di samping metode naratif maka
muncullah sebagai pengaruh\pelbagai kecenderungan metoda developmentalisme,
yang akan melihat pola-pola perkembangan, kelangsungan serta perubahan-perubahan.
Untuk menerangkan keadaan masyarakat dewasa ini tidak
ditinggalkan pengungkapan perkembangan historis dari pelbagai unsur masyarakat
itu. Tanpa mengurangi sejarah naratif, dan historiografi yang terarah kepada
kejadian-kejadian yang unique, rekonstruksi dari sejarah Indonesia perlu memperhatikan aspek-aspek
perkembangan.
Apabila ilmu/dan penulisan sejarah ingin tetap berfungsi
sebagal disiplin dari pengungkapan atau penemuan manusia maka perlu mengikuti
perkembangan ilmu-ilmu sosial yang telah berhasil menambah perbendaharaan
pengetahuan tentang manusia. Terutama dalam masa perubahan-perubahan besar
ilmu-ilmu sosial yang hanya mempelajari masa kini secara sinkronis memerlukan
bantuan pengetahuan sejarah yang sinkronis sehingga kita lebih mampu mengetahui
tentang kecenderungan-kecenderungan yang bergerak dalam masyarakat sehingga
akhirnya dapat menunjukkan ke arah mana masyarakat kita akan berkembang.
Apabila ilmu sejarah tidak ingin sama sekali didesak oleh ilmu-ilmu sosial, maka
perlu diperbaiki alat-alat penelitiaannya terutama metodologinya. Pada jaman
Ranke heuristik dikembangkan untuk secara kritis dapat mengolah data dari
sumber-sumber sejarah. Kini agar dapat mengungkapkan pelbagai dimensi dari
tingkah laku manusia serta masyarakat di masa lampau, alat-alat analitisnya
perlu disempurnakan dengan “meminjam” konsep serta teori dari ilmu-ilmu sosial.
No comments:
Post a Comment