Indonesia adalah sebuah negara kepulauan besar dengan jumlah pulau
17.508, garis pantai sepanjang 81.290 km, dan luas lautan 5,8 juta km persegi.
Namun, masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam hal kebaharian ini, mulai
dari garis batas, pencurian ikan, sampai ke peraturan yang masih kurang ataupun
kalau ada masih tumpang tindih.
Soal penjagaan kawasan laut yang menjadi kedaulatan Indonesia, tugas TNI
AL menjadi sangat berat karena jumlahnya terbatas, sementara wilayah perairan
Indonesia sangat luas. Apalagi ada banyak institusi nasional lain yang belum
peduli untuk membantu penegakan hukum di laut.
Di sisi lain, Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau UNCLOS 82 masih
memerlukan penjabaran lebih luas, namun hingga saat ini belum banyak
undang-undang atau aturan-aturan hukum yang dibuat. Karena itu, perlu
kepedulian antar-instansi, komponen masyarakat, dan komponen nonpemerintah
untuk bekerja sama menjaga keutuhan NKRI.
Saat ini permasalahan yang terkait dengan penataan ruang di wilayah
pesisir dan laut adalah potensi konflik kepentingan dan tumpang tindih tidak
hanya terjadi antarsektor (pemerintahan, masyarakat setempat, maupun swasta),
namun juga antar penggunaan.
Di pihak pemerintah sendiri ada konflik kewenangan (jurisdictional
conflict) dalam pengelolaan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir berupa konflik
antarwilayah. Dampak yang muncul akibat kegiatan yang berada di daerah otonom
lainnya atau yang berada di bagian hulu atau yang bersebelahan ternyata belum
diantisipasi dengan baik. Hal ini juga akibat oleh lemahnya kerangka hukum
pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk
penegakannya.
Kemiskinan masyarakat pesisir yang turut memperberat tekanan terhadap
pemanfaatan sumber daya pesisir yang tidak terkendali akibat belum adanya
konsep pembangunan masyarakat pesisir sebagai subyek dalam pemanfaatan sumber
daya pesisir. Dampaknya adalah degradasi lingkungan, antara lain dalam bentuk
penurunan luas hutan payau yang berdampak lanjutan pada peningkatan abrasi
pantai, hilangnya filter bahan pencemar perairan pesisir, dan ancaman terhadap
kelangsungan kehidupan air.
Pengembangan perikanan memiliki spektrum yang lebar dan melibatkan banyak
pihak. Dengan demikian, usaha-usaha ke arah pengembangan, pemanfaatan, dan
pendayagunaan sumber daya perikanan membutuhkan keterpaduan dan pengintegrasian
unsur-unsur terkait sehingga tercapai pertumbuhan dan percepatan usaha ekonomi.
Saat ini kendala untuk mencapai sasaran tersebut berasal dari birokrasi yang
ada.
Koordinasi antar-unsur terkait sering kali terhambat oleh sikap-sikap
yang mengutamakan kepentingan sektoral dan kekakuan birokrasi. Aspek perizinan,
baik bagi keperluan penelitian, survei, dan pemetaan serta bagi kepentingan
dunia usaha, sering kurang mendukung.
Aspek hukum dan perundang-undangan mengenai perikanan belum mendukung.
Aspek hukum dan perundang-undangan dalam konstelasi pembangunan yang semakin
cepat dan perubahan global sangat diperlukan untuk mendukung tercapainya
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Ketidakpastian hukum dan
perundang-undangan pada akhirnya dapat menimbulkan konflik-konflik
berkepanjangan yang pada gilirannya dapat menghambat usaha-usaha pembangunan
perikanan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam (termasuk
sumber daya laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap pemerintah pusat
dibandingkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik
sumber daya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumber daya alam yang ada di
daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan dan bahkan
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan.
Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk
memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumber daya mereka,
termasuk sumber daya pesisir dan lautan.
Seiring dengan semangat reformasi, pemerintah membuat Undang-Undang
Pemerintahan Daerah (UUPD) Nomor 22 Tahun 1999 yang memberikan otonomi yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan pemerataan.
Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam
UUPD adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan
lautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai
pasang surut terendah untuk perairan dangkal dan 12 mil laut dari garis pangkal
ke laut lepas untuk daerah provinsi dan sepertiga dari batas provinsi untuk
daerah kabupaten.
Kewenangan daerah terhadap sumber daya pesisir dan lautan meliputi
kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata
ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan pemerintah
daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan (e) bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara, khususnya di laut. Kewenangan daerah
yang telah diberikan seyogianya tidak menimbulkan rasa kedaerahan yang
berlebihan yang membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, diketahui bahwa sungai-sungai bermuara di laut memiliki
potensi sebagai transportasi bahan pencemar untuk masuk ke laut. Maka, salah
satu upaya untuk menghindari masuknya bahan pencemar ke dalam laut melalui
sungai adalah dengan meningkatkan kualitas air sungai terlebih dahulu. Untuk
itu pemerintah telah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 1990
mengenai Pengendalian Pencemaran Air dengan PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pengendalian
pencemaran yang dilakukan adalah dengan menetapkan daya tampung beban
pencemaran, melakukan inventarisasi sumber pencemar, dan memantau kualitas air.
Untuk setiap kegiatan atau industri yang menghasilkan sisa usaha, ketika
akan dibuang ke badan air, baik sungai maupun laut, wajib memenuhi kriteria
baku mutu air limbah yang telah ditetapkan pemerintah. Baku mutu air limbah
atau istilah beberapa waktu yang lalu adalah limbah cair yang telah ditetapkan
pemerintah, antara lain, baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri, kegiatan
hotel, kegiatan rumah sakit, kegiatan minyak dan gas serta panas bumi, kawasan
industri, dan kegiatan pertambangan batu bara.
Kenyataannya masih banyak permasalahan hukum/aturan yang belum sempurna
dan belum berjalan dengan baik sehingga Indonesia memerlukan KKI. KKI akan
menjadi payung kebijakan untuk menjaga kesatuan wilayah, kesatuan ekonomi, dan
kesatuan politik yang diamanatkan dalam Wawasan Nusantara.
KKI diharapkan dapat mewujudkan
pembangunan kelautan yang multisektor melalui kesamaan visi, misi, strategi
pembangunan nasional dengan mengelola aset lingkungan dan sumber daya kelautan
yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di masa kompetisi global antarbangsa.
KKI juga harus disinergikan dengan pembangunan ekonomi yang mengembangkan
potensi kelautan (ocean economics) dan ocean governance yang mendorong
terjadinya demokratisasi dan good governance.
Dengan adanya otonomi daerah, payung kebijakan ini dapat menjadi guideline
bagi pemerintah daerah dan sekaligus menyinergikan pembangunan kelautannya
dengan pemerintah pusat sehingga implementasi pembangunan kelautan dilakukan
oleh daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diwujudkan.
Seperti halnya KUBE/KEN yang disusun oleh Badan Koordinasi Nasional yang
melibatkan sembilan departemen terkait untuk menggariskan kebijakan energi di
sektor pertambangan, maka di sektor kelautan yang jangkauannya seharusnya lebih
besar-melibatkan 23 instansi/departemen-perlu garis kebijakan yang terarah dan
integratif.
No comments:
Post a Comment