Banyak fakta-fatka sejarah yang hingga kini masih
tersembunyi, setelah proses dekolonisasi terjadi. Indonesianisasi merupakan bagian
penting dalam historiografi Indonesia
yang masih perlu digali lebih mendalam.
Tapi bagaimanakah cara menginterpretasi suatu fakta,
agar ia punya makna? Untuk itu dibutuhkan ilmu-ilmu sosial sebagai alat bantu
yang paling andal dalam studi sejarah. Sebab, betapapun historlografi Indonesia
merupakan bagian penting dari proyek luhur pembangunan negara-bangsa yang masih
muda dan cermin untuk menegaskan suatu identitas kebangsaan (“sebab sebuah
bangsa tanpa identitas adalah contradictio
in terminis,”Sartono), sejarah terlalu penting untuk dijadikan ajang
pemuasan hasrat romantis dan gelora nasionalisme yang, cepat atau lambat, akan
terasa kianjauh dan realitas.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial ini mengandung sejumlah ciri.
Pertama, ia bertujuan nasional dan Indonesiasentris dalam perspektifnya,
sebagai lawan dari historiografi kolonial yang memandang kaum pribumi, Indonesia , atau tempat-tempat yang kemudian
menjadi bagian dari Indonesia
sebagai pinggiran dalam narasi sejarah. Kedua, ia bersifat multi-dimensional
dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa sejarah dijelaskan sebagai hasil/akibat dari
saling-pengaruh berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, agama dan
lain-lain. Ketiga, ia bersifat multi- atau inter-disipliner dalam
pendekatannya; teori-teori dan berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial sengaja
diterapkan untuk meneguhkan penjelasan sejarah. Keempat, ía dengan ketat tunduk
pada metodologi sejarah yang standar dan ilmiah.
Dampak dekolonisasi memberikan perubahan besar dalam
relasi-relasi kehidupan masyarakat Indonesia , terhadap negara-negara
bekas dan negara-negara lain yang juga mempunyai kepentingan hampir sama.
Sejarah mencatat bahwa setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami masa-masa
sulit, terutama secara ekonomi, untuk mencapai identitas sebagai negara yang
berdaulat. Indonesianisasi ekonomi merupakan suatu proses untuk mencapai
kemerdekaan ekonomi, yang ditandai dengan lahirnya pengusaha-pengusaha pribumi
dan penguasaan sumber-sumber ekonomi di tangan kaum pribumi (nasional).
Imperialisme dan kolonialisme seolah-olah adalah nafsu
untuk mengalahkan atau menguasai penguasa lain demi merebut keuntungan sosial
politik dan lainnya. Ujung penguasaan sosial politik ini adalah dominasi
penguasa kolonial terhadap penguasa bumiputra yang notabene mencari keuntungan
finansial. Perebutan kekuasaan ini masih berlangsung sampai awal abad ke-21.
Sebelum masuknya pendidikan , bangsa Indonesia sesungguhnya adalah
bangsa yang terdidik. Hal tersebut terbukti dengan tumbuh suburnya pendidikan
yang bersifat tradisional dan tersebar di seluruh nusantara, yang ditandai
dengan berkembangnya penggunaan huruf lontar dan tradisi mengaji. Pengajaran
Islam di langgar-langgar semakin mengukuhkan keberadaan pendidikan tradisional
tersebut. Namun demikian, pendidikan tradisional mengalami pergeseran ke pendidikan
khususnya ketika pemerintah kolonial Belanda membutuhkan pegawai-pegawai
administrasi rendahan untuk mengisi pos-pos pemerintahannya. Oleh karena itu,
sistem yang diterapkannya tidak lepas dari tujuan politiknya dalam usaha mempertahakan
kekuasaan. Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika pendidikan tersebut
menjadi alat untuk memantapkan hegemoninya, dan melahirkan elit-elit baru yang
nasionalis serta menjadi bumerang bagi kekuasaannya. Bertitik tolak dari hal
tersebut, tulisan ini berusaha untuk mengungkapkan segi-segi yang berkaitan
dengan pergeseran dua corak pendidikan itu di Makasar .
No comments:
Post a Comment