Seperti telah kita ketahui, Sejarah Melayu (selanjutnya
disingkat S. M.) meriwayatkan kerajaan Malaka dan dituliskan di Batusawar di
negeri Johor pada tahun 1615. Berlainan dengan pusat negeri Mataram yang
terletak di pedalaman, sebagai pusat negeri yang agraris, negeri Malaka
terletak di jalan persimpangan lalu - lintas yang ramai, yaitu antara Asia
Timur dengan Asia Barat dan Eropa. Melalui jalan-laut raja itu masuklah pula
berbagai unsur kebudayaan asing ke Indonesia . Sebagai tempat yang
sangat strategis menyadi perebutan antara kekuasaan laut, sehingga daerah-daerah itu banyak dan cepat
mengalami perubahan, peperangan, krisis politik, revolusi, usurpasi memenuhi sejarah
negeri-negeri didaerah itu.
Daerah-daerah itu telah lebih lanjut mengalami
proses islamisasi, dengan akibat bahwa lebih banyak unsur-unsur Hindu yang
telah lenyap dari kebudayaan. Organisasi masyarakat, kesusasteraan,
ketatasusilaan, filsafat di tanah Melayu sudah lebih banyak mendapat pengaruh
kebudayaan Islam. Kedudukan raja didalam masjarakat Jawa - Hindu bersifat
kedewaan : dewaraja - kultus menempatkan raja sebagai pusat dari sumber
kehidupan masyarakat, memancarkan kesaktian yang memelihara kemakmuran dan kesejahteraan
kerajaan. Raja berasal dari kahyangan, silsilahnya sering kembali pada matahari
atau bulan; sepeninggalnya menyadi dewa lagi. Dengan adanya penghormatan kepada
raja dan kekuasaannya dan kebudayaan yang berpusat di lingkungan raja, maka
historiografi mau tak mau juga harus raja sentris.
Pada akhir S.M. dicantumkan
pula daftar raja-raja dan dengan begitu tampaklah jelas bahwa historiografi ini
tetap berpusat pada raja, meskipun sifat-sifat religio-magis sudah
ditinggalkannya. Untuk memahami “raja-sentrisme” lebih lanjut, perlu kita
ketahui pengarang S.M. serta lingkungan kebudayaan, dimana ia hidup. Penulis
S.M. adalah Bendahara, Tun Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timangannya,
Paduka raja gelarannya. Lalu disambung dengan silsilahnya, anak Orang kaya,
Paduka raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Tun Narawangsa, piut
Bendahara Seri Maharaja, memegang peranan yang tak baik waktu Malaka jatuh
(1509-1511). Sebagai anak bernama Tun Mutahir, waktu itu kebesarannya telah
diramalkan, sebab dari kepalanya keluarlah cahaya yang langsung memancar ke
sorga, anak Seri Naradiraja Tun Ali, anak baginda Mani Purindam. Sebagai
keturunan bangsa Bendahara dan juga ada sangkut-pautnya dengan keluarga raja,
sungguh seorang aristokrat. Tidak mengherankan, kalau sudah memiliki suatu
tradisi pemerintahan dan diplomasi yang lama dan banyak pengalaman dalam
perkara-perkara itu. Sebagai Bendahara sangat paham mengenai soal-soal kerajaan
dan dalam menuliskan S. M. pandangannya ditentukan oleh lingkungannya itu: raja-centris;
dalam menguraikan peristiwa-peristiwa ternyata dilakukan seleksi sehingga dari
situasi yang kurang baik bagi kerajaan dapat ditunjukkan segi-segi yang
menguntungkan.
Penulisan S.M.
sebenarnya mempunyai dorongan politik juga. Perebutan hegemoni di Selat Malaka
antara kerajaan Aceh yang baru dengan kerajaan Malaka-Johor yang kuno
menimbulkan antagonisme atau rivalitas yang juga memerlukan pertanggungan-jawab
secara teoretis-ideologis. Bukannya untuk memberi contoh atau pelajaran saja
bagi anak-cucu, tetapi tujuan yang pokok pula ialah membuktikan kebesaran raja-raja
Malaka-Johor. Pengalaman didalam pembuangan di Aceh menimbulkan kebutuhan pada
Sultan Raja Sabrang untuk menyisipi Sejarah Melaju sendiri, yang dapat
memuliakan wangsa Minangkabau - Palembang - Singapura - Malaka - Johor.
Meskipun cita-cita
untuk menuliskan S.M. telah dikemukakan pada waktu pemerintahan Sultan ‘Ala’ ud
- Din Ri’ajat Syah yang diturunkan dari tahta oleh Aceh dan kemudian mangkat
disana, auclor intellectualis dan instigator dari pelaksanaannya ialah Sultan
Abdullah Ma’ajat Syah alias Raja Sabrang atau Raja Bongsu (di ilir) yang
dinobatkan oleh Aceh di Batusawar. Beliau yang pertama-tama mengajukan usul
untuk menulis S.M. dalam suatu majelis.
Sesungguhnya S.M.
bukan merupakan suatu gubahan baru yang orisinil, tetapi mempunyai sumber-sumber
lainnya, yang sudah ada terlebih dulu. Pada ± 1540
quintessence dari S.M. telah ada di Malaka, baik dalam bentuk catatan, cerita
atau syair, diantara orang-orang Arab di Malaka. Hal ini terbukti juga dari
permulaan atau pendahuluan dari S.M. yang menyebutkan bahwa ada hikayat Melayu
dibawa oleh orang dari Goa . Tun Muhammad
sebagai (auteur) S.M. seperti historiograaf jaman dahulu mempergunakan sebanyak-banyaknya
sumber-sumber yang telah ada; dikutip atau digubah bagian dari sumber-sunber
itu dengan diubah selaras dengan maksud dan keperluannya sendiri.
Bentuk dan isi Hikayat
Melaju itu sudah barang tentu sangat mirip dengan S.M., boleh dikatakan
merupakan prototipenya. Ada
pendapat bahwa Hikayat Melaju itu banyak persamaannya dengan Hikayat Koris yang
memuat keterangan-keterangan setempat, ditulis di Semenanjung pada jaman
pemerintahan bangsa Portugis di Malaka (16 Agustus 1511 - 14 Januari 1641 ), banyak
menuliskan bangsa Semang dan Pangau. Tulisan itu menunjukkan perasaan simpatik
terhadap bangsa Eropa, hanya bangsa Belanda tidak disebut. Hikayat Indera
Mengindera sangat mirip dengan Hikajat Koris itu. Pane (cerita) yang pertama
terang bersifat mythis – legendaris : suatu gubahan dari legenda Iskandar.
Kemungkinan besar ini dikarang sendiri oleh Tun Muhammad, tetapi suatu tradisi
tentang raja agung Iskandar telah dikcenal dinegeri Melayu. Tradisi di
Palembang mengatakan bahwa Bukit Lama (sering disamakan dengan Bukit Siguntang)
adalah tempat makam Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunan raja-raja dari nenek-moyang
yang mythis-legendaris sudah kita jumpai pula dalam Babad Tanah Jawa.
Perkawinan dengan seekor binatang banyak pula contoh-contohnya diantara tradisi
Indonesia .
Bagian yang legendaris lainnya yaitu fasal tentang Hang Kesturi dan Hang Tuah,
Badang (fasal 6. 16.).
No comments:
Post a Comment