Saturday, July 16, 2016

Sejarah Singkat Hikayat Melayu

Seperti telah kita ketahui, Sejarah Melayu (selanjutnya disingkat S. M.) meriwayatkan kerajaan Malaka dan dituliskan di Batusawar di negeri Johor pada tahun 1615. Berlainan dengan pusat negeri Mataram yang terletak di pedalaman, sebagai pusat negeri yang agraris, negeri Malaka terletak di jalan persimpangan lalu - lintas yang ramai, yaitu antara Asia Timur dengan Asia Barat dan Eropa. Melalui jalan-laut raja itu masuklah pula berbagai unsur kebudayaan asing ke Indonesia. Sebagai tempat yang sangat strategis menyadi perebutan antara kekuasaan  laut, sehingga daerah-daerah itu banyak dan cepat mengalami perubahan, peperangan, krisis politik, revolusi, usurpasi memenuhi sejarah negeri-negeri didaerah itu.
Daerah-daerah itu telah lebih lanjut mengalami proses islamisasi, dengan akibat bahwa lebih banyak unsur-unsur Hindu yang telah lenyap dari kebudayaan. Organisasi masyarakat, kesusasteraan, ketatasusilaan, filsafat di tanah Melayu sudah lebih banyak mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Kedudukan raja didalam masjarakat Jawa - Hindu bersifat kedewaan : dewaraja - kultus menempatkan raja sebagai pusat dari sumber kehidupan masyarakat, memancarkan kesaktian yang memelihara kemakmuran dan kesejahteraan kerajaan. Raja berasal dari kahyangan, silsilahnya sering kembali pada matahari atau bulan; sepeninggalnya menyadi dewa lagi. Dengan adanya penghormatan kepada raja dan kekuasaannya dan kebudayaan yang berpusat di lingkungan raja, maka historiografi mau tak mau juga harus raja sentris.
            Pada akhir S.M. dicantumkan pula daftar raja-raja dan dengan begitu tampaklah jelas bahwa historiografi ini tetap berpusat pada raja, meskipun sifat-sifat religio-magis sudah ditinggalkannya. Untuk memahami “raja-sentrisme” lebih lanjut, perlu kita ketahui pengarang S.M. serta lingkungan kebudayaan, dimana ia hidup. Penulis S.M. adalah Bendahara, Tun Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timangannya, Paduka raja gelarannya. Lalu disambung dengan silsilahnya, anak Orang kaya, Paduka raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Tun Narawangsa, piut Bendahara Seri Maharaja, memegang peranan yang tak baik waktu Malaka jatuh (1509-1511). Sebagai anak bernama Tun Mutahir, waktu itu kebesarannya telah diramalkan, sebab dari kepalanya keluarlah cahaya yang langsung memancar ke sorga, anak Seri Naradiraja Tun Ali, anak baginda Mani Purindam. Sebagai keturunan bangsa Bendahara dan juga ada sangkut-pautnya dengan keluarga raja, sungguh seorang aristokrat. Tidak mengherankan, kalau sudah memiliki suatu tradisi pemerintahan dan diplomasi yang lama dan banyak pengalaman dalam perkara-perkara itu. Sebagai Bendahara sangat paham mengenai soal-soal kerajaan dan dalam menuliskan S. M. pandangannya ditentukan oleh lingkungannya itu: raja-centris; dalam menguraikan peristiwa-peristiwa ternyata dilakukan seleksi sehingga dari situasi yang kurang baik bagi kerajaan dapat ditunjukkan segi-segi yang menguntungkan.
            Penulisan S.M. sebenarnya mempunyai dorongan politik juga. Perebutan hegemoni di Selat Malaka antara kerajaan Aceh yang baru dengan kerajaan Malaka-Johor yang kuno menimbulkan antagonisme atau rivalitas yang juga memerlukan pertanggungan-jawab secara teoretis-ideologis. Bukannya untuk memberi contoh atau pelajaran saja bagi anak-cucu, tetapi tujuan yang pokok pula ialah membuktikan kebesaran raja-raja Malaka-Johor. Pengalaman didalam pembuangan di Aceh menimbulkan kebutuhan pada Sultan Raja Sabrang untuk menyisipi Sejarah Melaju sendiri, yang dapat memuliakan wangsa Minangkabau - Palembang - Singapura - Malaka - Johor.
            Meskipun cita-cita untuk menuliskan S.M. telah dikemukakan pada waktu pemerintahan Sultan ‘Ala’ ud - Din Ri’ajat Syah yang diturunkan dari tahta oleh Aceh dan kemudian mangkat disana, auclor intellectualis dan instigator dari pelaksanaannya ialah Sultan Abdullah Ma’ajat Syah alias Raja Sabrang atau Raja Bongsu (di ilir) yang dinobatkan oleh Aceh di Batusawar. Beliau yang pertama-tama mengajukan usul untuk menulis S.M. dalam suatu majelis.
            Sesungguhnya S.M. bukan merupakan suatu gubahan baru yang orisinil, tetapi mempunyai sumber-sumber lainnya, yang sudah ada terlebih dulu. Pada ± 1540 quintessence dari S.M. telah ada di Malaka, baik dalam bentuk catatan, cerita atau syair, diantara orang-orang Arab di Malaka. Hal ini terbukti juga dari permulaan atau pendahuluan dari S.M. yang menyebutkan bahwa ada hikayat Melayu dibawa oleh orang dari Goa. Tun Muhammad sebagai (auteur) S.M. seperti historiograaf jaman dahulu mempergunakan sebanyak-banyaknya sumber-sumber yang telah ada; dikutip atau digubah bagian dari sumber-sunber itu dengan diubah selaras dengan maksud dan keperluannya sendiri.

            Bentuk dan isi Hikayat Melaju itu sudah barang tentu sangat mirip dengan S.M., boleh dikatakan merupakan prototipenya. Ada pendapat bahwa Hikayat Melaju itu banyak persamaannya dengan Hikayat Koris yang memuat keterangan-keterangan setempat, ditulis di Semenanjung pada jaman pemerintahan bangsa Portugis di Malaka (16 Agustus 1511 - 14 Januari 1641 ), banyak menuliskan bangsa Semang dan Pangau. Tulisan itu menunjukkan perasaan simpatik terhadap bangsa Eropa, hanya bangsa Belanda tidak disebut. Hikayat Indera Mengindera sangat mirip dengan Hikajat Koris itu. Pane (cerita) yang pertama terang bersifat mythis – legendaris : suatu gubahan dari legenda Iskandar. Kemungkinan besar ini dikarang sendiri oleh Tun Muhammad, tetapi suatu tradisi tentang raja agung Iskandar telah dikcenal dinegeri Melayu. Tradisi di Palembang mengatakan bahwa Bukit Lama (sering disamakan dengan Bukit Siguntang) adalah tempat makam Raja Iskandar Zulkarnain. Keturunan raja-raja dari nenek-moyang yang mythis-legendaris sudah kita jumpai pula dalam Babad Tanah Jawa. Perkawinan dengan seekor binatang banyak pula contoh-contohnya diantara tradisi Indonesia. Bagian yang legendaris lainnya yaitu fasal tentang Hang Kesturi dan Hang Tuah, Badang (fasal 6. 16.).

No comments:

Post a Comment