Atonisme adalah sebuah kepercayaan bangsa Mesir
Kuno kepada dewa Aton, yang berkembang pada masa pemerintahan Amonhotep III dan
diteruskan serta dikembangkan oleh Amonhotep IV. Kepercayaan ini muncul sebagai
akibat dari politik imperialisme yang berkembang pada masa itu, yakni pada masa
kejayaan Mesir Kuno dibawah Amonhotep III. Imperialisme ini menyebabkan banyak
orang-oramg asing yang masuk dan membawa kepercayaan / agama baru. Selain itu
terjadi hubungan yang tidak harmonis antara penguasa dengan para pendeta dewa
Amon, hubungan yang tidak harmonis itu timbul karena para pendeta dewa Amon
ikut campur dalam pemerintahan dan bukan dalam bidangnya.
Perubahan
dalam bidang keagamaan yang diselenggarakan oleh kalangan istana mula-mula
tidak begitu mencolok. Sampai saat itu Istana Mesir penuh dengan orang-orang
Asia. Untuk mempertahankan imperium, Pharao seringkali mengadakan perkawinan
politik dengan raja-raja daerah jajahannya, antara lain dengan Syiria.
Permaisurinya Thotmes IV, Mutemua, dan Amonhotep III sendiri berasal dari
Kerajaan Mitanni dari Syiria. Amonhotep III memiliki permaisuri bernama Tiy dan
Chilukipa. Dengan masuknya orang-orang asing ini, maka masuk pula beberapa
aliran kepercayaan yang mirip dengan konsepsi Heliopolis. Orang-orang Syiria
kebanyakan memuliakan dewa Adon, yang hampir sama dengan dewa Amon, dewa
tertinggi Mesir. Besar kemungkinan karena adanya pengaruh asing inilah Pharao yang
memang tidak senang terhadap para pendeta Amon itu menjadi lebih condong kepada
golongan Heliopolis.
Perkembangan Atonisme
Atonisme
mula-mula dikenalkan oleh Tiy, permaisuri Amonhotep III. Bagi Tiy, dewa Aton
adalah sama dengan dewa Ra/Amon yang tradisionil, dan sama pula dengan dengan
dewa Adon dari Syiria. Kepercayaan ini hanya menganut satu dewa, yakni dewa
Aton. Dengan mengemukakan ajaran barunya ini, Tiy menginginkan adanya kesatuan
yang kokoh dalam kepercayaan dan kenegaraan antara Mesir dan Syiria. Ia
kemudian bersama Amonhotep III mengembakan ajaran baru ini dengan membangun
kuil-kuil untuk dewa Aton. Tindakan ini merupakan suatu pukulan bagi golongan
Thebe yang terdiri dari para pendeta yang setia terhadap kepercayaan lama,
keadaan ini pada awalnya tidak menimbulkan masalah yang begitu besar, tetapi
ketika Mesir di bawah pemerintahan Amonhotep IV, keadaan berubah total meskipun
pada masa itu Atonisme berkembang cukup pesat.
Pada
usianya yang masih sangat muda, sekitar 17 tahun, ia mengganti namanya menjadi
Akhnaton. Hal ini merupakan salah satu hal yang cukup mencolok dalam usaha
untuk mengembangkan Atonisme. Untuk menunjukkan dirinya sebagai pemuja Aton,
semua putranya diberi nama dengan sisipan Aton. Untuk menghindari pertentangan
dengan para pendeta dewa Amon, ia kemudian memindahkan ibukota kerajaan Mesir
ke kota lain yang sekarang dikenal dengan nama Tel el Amarna. Akhnaton kemudian
melancarkan ajaran dan gerakan Atonisme.
Mula-mula
Akhnaton beranggapan bahwa dewa Aton adalah dewa yang bisa digambarkan
dengangaya zoomorphisme, theriorphisme, atau anthropomorphisme
dan berbagai polytheisme. Akan tetapi ketika pemikirannya mulai berkembang, ia
mencoba melakukan perubahan terhadap Atonisme. Ajaran itu kemudian ditambah dan
dikurangi, diberi warna dengan hasil daya pikir, fantasi dan emosinya, sehingga
akhirnya benar-benar merupakan suatu ajaran yang dirasa ganjil oleh rakyatnya.
Sengan adanya perubahan ini, ia hendak mengatakan bahwa sejak itu telah
diputuskan hubungan dengan bentuk-bentuk kepercayaan lama. Baginya, yang
berkuasa di alam ini hanyalah Aton, satu-satunya dewa yang ada.
Dewa
Aton bukanlah seperti dewa yang biasa dipuja oleh orang-orang Mesir Kuno. Dewa
tersebut tidak boleh diberi bentuk, tidak boleh dipatungkan, dan paling jauh
hanya diberi simbol. Simbolnya adalah berupa bulatan matahari dengan
berkas-berkas cahayanya yang menuju ke bawah, setiap berkas berakhir pada
sebuah tangan yang memegang simbol kehidupan.
Atonisme
mengajarkan manusia untuk bersifat lembut dan dianjurkan untuk hidup dalam
kebenaran. Selain itu Atonisme bersifat universal. Kasih sayang dewa bukan
hanya untuk orang Mesir, tapi juga untuk semua umat manusia. Perubahan dalam
bidang keagamaan ini juga berpengaruh dalam bidang lainnya terutama masalah
kematian, kesenian dan kebijaksanaan politik pemerintahan. Kesemuanya itu
bertolak belakang dengan tradisi yang selama ini dipertahankan oleh orang-orang
Mesir Kuno yang ortodoks itu. Pada masalah kematian, Atonisme tidak mengenal
adanya hari pembalasan, tidak mengenal surga dan neraka, karena semua itu
bertentangan dengan sifat Aton yang pengasih dan penyayang. Dengan demikian
menurut Atonisme, dewa Aton tidak akan meminta pertanggungjawaban kepada umatnya
atas apa yang diperbuat selama hidup di dunia, meskipun seseorang pernah
berbuat jahat atau baik.
No comments:
Post a Comment