Identitas Buku
Ø Judul Buku : Tanah
dan Tenaga Kerja Perkebunan (Kajian Sosial-Ekonomi)
Ø Nama Pengarang : Muryarto,
dkk
Ø Penerbit : Aditya Media
Ø Kota terbit :
Yogyakarta
Ø Tahun terbit :
1991
Ø Jumlah Halamam : 222
Halaman
Ketika pulau Jawa telah menjadi “pusat” penanaman tebu,
para pengusaha swasta mencoba mendirikan perkebunan di Sumatera Timur. Pada
saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan luas tanah yang
ada. Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan di daerah Sumatera Timur pada
tahun 1869, diupayakan perekrutan para kuli dari Cina sebanyak 800-900 orang.
Selain orang Cina, didatangkan pula orang-orang dari Keling, Siam dan Jawa.
Pada masa itu di Deli (Sumatera Timur) terdapat 75 orang Eropa yang hampir
semuanya adalah Tuan Kebun.
Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatra Timur
sampai tahun 1913 mengalami peningkatan cepat menjadi 53.617 orang. Banyaknya
orang Cina di wilayah Sumatera Timur telah membuka terdapatnya kelompok-kelompok
diantara mereka. Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja
Cina. Tingginya mobilitas orang Cina telah memberikan kebebasan kepada mereka
untuk bertindak baik sebagai perekrut tenaga kerja ataupun sebagai pedagang perantara.
Ketika pecah Perang Dunia I, akibat blokade laut timbul kesulitan perekrutan
tenaga kerja dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari Jawa.
Dilakukannya perekrutan tenaga kerja dari Jawa, hal ini disebabkan karena
ketekunan orang Jawa dalam bekerja. Ketabahannya sering kali melebihi orang
Cina. Hal yang ditempuh sejalan dengan pengembangan komoditi dalam hal ini yang
diusahakan yakni tanaman tembakau, kelapa sawit, kopi, teh dan karet yang
mengharuskan para pengusaha perkebunan untuk merekrut tenaga kerja secara
besar-besaran.
Perekrutan tenaga kerja dari daerah Jawa yang lazim disebut
dengan kuli memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk transport dan untuk
membeli para buruh tersebut. Dengan perantara makelar atau tukang werek (dalam
bahasa Belanda werven yang berarti mengajak orang bekerja di perusahaan) para
kuli diperoleh dengan bujuk rayu, tipuan dan main serobot. Dengan mudah tukang
werek mendapatkan calon kuli, khususnya bagi mereka yang terhimpit secara
ekonomi dan ingin mengubah nasibnya. Perekrutan kuli dilakukan juga dengan
pemulangan kuli dengan keharusan memberikan informasi mengenai hal-hal baik
tentang keadaan perkebunan untuk menarik minat bekerja di perkebunan.
Dalam perjalanan ke “tanah terjanji nasib” yang dialami
para kuli tidak ada bedanya seperti hewan ternak yang akan di bawa
kepembantaian dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja,
para kuli diwajibkan mendatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan
memahai isinya. Kebijaksanaan dari pengusaha yang bersifat otoriter telah
menciptakan suatu landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah
Sumatera Timur yang kemudian dikenal sebagai ordinasi kuli. Tahun 1880
merupakan awal dimulainya ordinasi kuli yang kemudian diikuti dengan perubahan
secara bertahap pada tahun-tahun selanjutnya. Peraturan ini sebenarnya
ditujukan untuk memberi kepastian kedudukan buruh dan majikan, akan tetapi pada
kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam perjanjian kerja. Bahkan
pihak majikan mempunyai wewenang pribadi atas tenaga para buruh.
Kontrak kerja dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja
efesien melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan cukup murah. Dengan
tujuan ini perkebunan menjerat buruh dengan aneka cara supaya alat produksi ini
tetap berada dalam sekapan mereka. Demi tercapainya sistem kerja efisien, para
pengusaha perkebunan menetapkan kebijakan upah murah. Pada kenyataannya upah
yang mereka terima tidak sebanding dengan eksploitasi tenaga kerjanya yang
bekerja lebih kurang 10-12 jam perhari, bahkan seringkali harus bekerja lembur.
Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas ketimpangan
kesejahteraan antara asisten terendah
yang menerima gaji sebesar f 350 – f 540 setiap bulan.
Penerimaan upah yang rendah menyebabkan kesehatan para
buruh juga rendah. Namun demikian ketidaksemangatan kerja mereka sering
dituding sebagai sifat kemalasan yang akhiranya diberi hukuman. Protes dan
pemberontakan yang dilakukan para buruh akan berakibat terimanya hukuman.
Protes yang paling sering dilakukan adalah melarikan diri, meskipun pada
akhirnya akan tertangkap. Bahkan kontrolir yang diangkat sebagi penuntut umu
tidak mampu berbuat apa-apa ketika tuan besar mengharuskan menutup perkara
pengaduan buruh atas perbuatan kesewenangan tuan besar.
Gelombang protes dari berbagi negara menyuarakan bahwa
perlakuan kuli kontrak di Sumatera Timur tidak jauh berbeda dengan sistem
perbudakan. Mulai tahun 1930 secara berangsur-angsur dilakukan penghapusan
ordinasi kuli dan peninjauan kembali pengurangan jumlah kuli dengan sistem
kontrak. Akhirnya tahun 1940 secara resmi ordinasi kuli dihapuskan.
.Dengan perjuangan yang hebat dari kuli-kuli, wilayah
Sumatera Timur yang semula hanya berupa hutan telah berubah menjadi wilayah
yang gemerlapan. Namun kenyataan keberhasilan perjuangan kuli tersebut belum
membawa mereka beranjak dari jurang kemiskinan. Pengalaman yang pahit ini
membuat wajah budaya perkebunan di masa selanjutnya menjadi tidak menentu yang
terlihat adalah adanya dualisme ekonomi, yaitu satu sisi tersedianya tenaga
kerja murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar.
No comments:
Post a Comment