Saturday, August 20, 2016

Review Buku Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan (Kajian Sosial-Ekonomi)

Identitas Buku
Ø  Judul Buku               : Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan (Kajian Sosial-Ekonomi)
Ø  Nama Pengarang      : Muryarto, dkk
Ø  Penerbit                    : Aditya Media
Ø  Kota terbit                : Yogyakarta
Ø  Tahun terbit              : 1991
Ø  Jumlah Halamam     : 222 Halaman

Ketika pulau Jawa telah menjadi “pusat” penanaman tebu, para pengusaha swasta mencoba mendirikan perkebunan di Sumatera Timur. Pada saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan luas tanah yang ada. Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan di daerah Sumatera Timur pada tahun 1869, diupayakan perekrutan para kuli dari Cina sebanyak 800-900 orang. Selain orang Cina, didatangkan pula orang-orang dari Keling, Siam dan Jawa. Pada masa itu di Deli (Sumatera Timur) terdapat 75 orang Eropa yang hampir semuanya adalah Tuan Kebun.

Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatra Timur sampai tahun 1913 mengalami peningkatan cepat menjadi 53.617 orang. Banyaknya orang Cina di wilayah Sumatera Timur telah membuka terdapatnya kelompok-kelompok diantara mereka. Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja Cina. Tingginya mobilitas orang Cina telah memberikan kebebasan kepada mereka untuk bertindak baik sebagai perekrut tenaga kerja ataupun sebagai pedagang perantara. Ketika pecah Perang Dunia I, akibat blokade laut timbul kesulitan perekrutan tenaga kerja dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari Jawa. Dilakukannya perekrutan tenaga kerja dari Jawa, hal ini disebabkan karena ketekunan orang Jawa dalam bekerja. Ketabahannya sering kali melebihi orang Cina. Hal yang ditempuh sejalan dengan pengembangan komoditi dalam hal ini yang diusahakan yakni tanaman tembakau, kelapa sawit, kopi, teh dan karet yang mengharuskan para pengusaha perkebunan untuk merekrut tenaga kerja secara besar-besaran.
Perekrutan tenaga kerja dari daerah Jawa yang lazim disebut dengan kuli memerlukan biaya yang tidak sedikit, baik untuk transport dan untuk membeli para buruh tersebut. Dengan perantara makelar atau tukang werek (dalam bahasa Belanda werven yang berarti mengajak orang bekerja di perusahaan) para kuli diperoleh dengan bujuk rayu, tipuan dan main serobot. Dengan mudah tukang werek mendapatkan calon kuli, khususnya bagi mereka yang terhimpit secara ekonomi dan ingin mengubah nasibnya. Perekrutan kuli dilakukan juga dengan pemulangan kuli dengan keharusan memberikan informasi mengenai hal-hal baik tentang keadaan perkebunan untuk menarik minat bekerja di perkebunan.
Dalam perjalanan ke “tanah terjanji nasib” yang dialami para kuli tidak ada bedanya seperti hewan ternak yang akan di bawa kepembantaian dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja, para kuli diwajibkan mendatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahai isinya. Kebijaksanaan dari pengusaha yang bersifat otoriter telah menciptakan suatu landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah Sumatera Timur yang kemudian dikenal sebagai ordinasi kuli. Tahun 1880 merupakan awal dimulainya ordinasi kuli yang kemudian diikuti dengan perubahan secara bertahap pada tahun-tahun selanjutnya. Peraturan ini sebenarnya ditujukan untuk memberi kepastian kedudukan buruh dan majikan, akan tetapi pada kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam perjanjian kerja. Bahkan pihak majikan mempunyai wewenang pribadi atas tenaga para buruh.
Kontrak kerja dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja efesien melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dan cukup murah. Dengan tujuan ini perkebunan menjerat buruh dengan aneka cara supaya alat produksi ini tetap berada dalam sekapan mereka. Demi tercapainya sistem kerja efisien, para pengusaha perkebunan menetapkan kebijakan upah murah. Pada kenyataannya upah yang mereka terima tidak sebanding dengan eksploitasi tenaga kerjanya yang bekerja lebih kurang 10-12 jam perhari, bahkan seringkali harus bekerja lembur. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan dengan jelas ketimpangan kesejahteraan  antara asisten terendah yang menerima gaji sebesar f 350 – f 540 setiap bulan.
Penerimaan upah yang rendah menyebabkan kesehatan para buruh juga rendah. Namun demikian ketidaksemangatan kerja mereka sering dituding sebagai sifat kemalasan yang akhiranya diberi hukuman. Protes dan pemberontakan yang dilakukan para buruh akan berakibat terimanya hukuman. Protes yang paling sering dilakukan adalah melarikan diri, meskipun pada akhirnya akan tertangkap. Bahkan kontrolir yang diangkat sebagi penuntut umu tidak mampu berbuat apa-apa ketika tuan besar mengharuskan menutup perkara pengaduan buruh atas perbuatan kesewenangan tuan besar.
Gelombang protes dari berbagi negara menyuarakan bahwa perlakuan kuli kontrak di Sumatera Timur tidak jauh berbeda dengan sistem perbudakan. Mulai tahun 1930 secara berangsur-angsur dilakukan penghapusan ordinasi kuli dan peninjauan kembali pengurangan jumlah kuli dengan sistem kontrak. Akhirnya tahun 1940 secara resmi ordinasi kuli dihapuskan.

.Dengan perjuangan yang hebat dari kuli-kuli, wilayah Sumatera Timur yang semula hanya berupa hutan telah berubah menjadi wilayah yang gemerlapan. Namun kenyataan keberhasilan perjuangan kuli tersebut belum membawa mereka beranjak dari jurang kemiskinan. Pengalaman yang pahit ini membuat wajah budaya perkebunan di masa selanjutnya menjadi tidak menentu yang terlihat adalah adanya dualisme ekonomi, yaitu satu sisi tersedianya tenaga kerja murah dan di sisi lain adanya penanaman modal asing yang sangat besar.

No comments:

Post a Comment