Dalam sejarah kraton Jawa dikenal dua istilah penting,
yang tidak selalu menjadi subyek perhatian bagi ilmu sejarah dan para pakar
sejarah modern. Dua istilah tersebut ialah nujum kraton dan pujangga kraton. Terkadang
ahli nujum dan pujangga kraton disamakan, sedangkan menurut sejumlah sumber
lisan, dua predikat tersebut dapat dibedakan dan dapat disamakan, hal itu
bersifat insidental. Dapat dibedakan karena, pada dasarnya ahli nujum kraton
menyandang tugas dan kewajiban yang tidak sama dengan pujangga kraton.
Kedudukan ahli nujum kraton jelas berbeda dengan kedudukan pujangga kraton.
Seorang ahli nujum kraton, yang antara lain dipercaya sang raja atau sang ratu
untuk melakukan deteksi dan memberikan wawasannya mengenai kraton dan
kerajaannya, dia juga sudah terlibat ke dalam kesibukan tersendiri. Di situ
pun, termasuk memberikan antisipasi terhadap prediksi-prediksi yang diketahui
pada masa kini dan masa depan, terutama yang terkait langsung dengan kesejahteraan
dan keamanan wilayahnya ketika suatu kraton dan kerajaan mustahil mengisolasi
diri dari interaksi dengan kraton dan kerajaan lain.
Pemeo yang
diperkatakan khalayak bahwa, “Sabda pandita ratu” alias seorang raja apabila
berbicara tidak dibolak-balik supaya dipercaya rakyatnya dan tidak pudar aura
pamornya. Secara tersamar maupun terang-terangan, sebenarnya di situpun sudah melemparkan
indikasi konkret : sebelum seorang penguasa tertinggi suatu kerajaan menitahkan
sesuatu kepada kawulanya, lebih dahulu dia berkonsultasi dengan staf
kepercayaannya, sehingga apa yang dikatakan tidak lagi mengalami pencabutan dan
sensor ulang. Dalam proses olah wisdom lisan atau wisdom tulis itulah, ahli
nujurn kraton ikut aktif mernberikan pertimbangan.
Dapat disamakan karena, tidak jarang seorang ahli nujum
kraton merangkap predikat selaku pujangga kraton. Pujangga kraton pada dasarnya
adalah predikat yang diberikan pihak kraton kepada orang yang menggubah karya
sastra : pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga kraton memperoleh
julukan Empu.
Tapi pada zaman Jawa-Islam, pujangga kraton memperoleh julukan Kyai.
ltulah sebabnya, mengapa dikenal nama Empu Kanwa, Empu Sedah, Empu Tantular,
Empu Tanakung, Empu Prapanca. Itulah pula sebabnya, mengapa dikenal nama Kyai
Jasadipura dan Kyai Ronggowarsito. Sebutan-sebutan Empu dan Kyai pada
hakekatnya menyimpan konvensi yang aktual dan berlaku pada era zaman masing-masing.
Taktahulah perihal
Ronggowarsito, apakah sosok tersebut dapat dikategorikan pujangga yang
merangkap ahli nujum kraton atau tidak. Para
penelaah dan pakar sastra Jawa Madya dapat melakukan tinjuan lebih jauh,
khususnya pada konteks karya-karya pujangga yang disemayamkan di desa Palar ini
dalam hubungannya dengan nujum kraton terhadap zamannya dan zaman selebihnya.
Jika sampai terjadi
anggapan bahwa, seorang pujangga kraton sekaligus ahli nujum kraton, sebenarnya
hal itu berasal dari satu-dua perkecualian akan tetapi diterapkan pukul rata.
Citra tersebut muncul, rnungkin berkat ketidaktahuan dan mungkin berkat hasrat
yang bercorak “exagerasi”, suatu dorongan untuk membesar-besarkan citra dan
peran. Hal itu lumrah karena, dalam tradisi budaya komunitas lisan menanggung
resiko pengaburan makna dan kabar kabur.
Belum pernah dalam
sejarah sastra Jawa dapat menyaksikan kontras perbandingan dalam kesaksiannya,
yang jernih dan bening seperti zaman kini. Selain karya-karya yang sudah
berhasil diungkapkan para pakar sastra Jawa Kuna dan Jawa Madya, kedudukan dan
peranan para pujangga zaman dulu dan pengarang zaman kini berada pada penampang
yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Kesaksian tersebut dapat menunjuk kepada
bukti konkret, karya sastra yang menjadi alternatif bagi apresiannya.
Pujangga Jawa Kuna
dan Jawa Madya identik dengan pujangga kraton, yang secara jelas terinci dalam
dua zaman. Zaman Renaisan Jawa I antara abad 8 sampai 15, yaitu Jawa Budha dan
Jawa Hindu. Zaman itupun dapat berlaku surut, mungkin mulai abad I Masehi tapi
sukar mencari fakta konkret. Kemudian zaman Renaisan Jawa II antara abad 16
sampai awal abad 20, yaitu Jawa Islam. Jika zaman keemasan I mencapai 7 abad,
zaman keemasan II mencapai 5 abad, tapi belum lagi jelas : bagaimana dengan
pengarang sastra Jawa Modern. Pujangga Jawa Kuna dapat disebutkan antara lain:
Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna, Empu Monaguna, Empu
Kanwa, Empu Tanakung, Empu Tantular, Empu Prapanca. Sedangkan pujangga Jawa
Madya antara lain: Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam,
Jasadipura, Ronggowarsito, Ronggosutrasna, Pakubuwana III, Pakubuwana V,
Jasadipura II, Sastranegara, Sastrawiguna, Pakubuwana X.
Kraton-kraton Jawa
Kuna yang menjadi maecenas para pujangga Jawa Kuna antara lain: Kahuripan, Kediri , Singosari, dan
Majapahit. Tak pernah lagi tersingkapkan, kecuali menjadi misteri sejarah masa
silam ialah, pujangga dan karyanya dan kraton Kalingga, Mataram Kuna, Pengging Witaraja,
Pajajaran Pakuhan dan Pejajaran Segaluh, maupun Wanasegara. Tidak lagi
terkisahkan, bagaimana dengan pujangga Majapahit yang hijrah ke Bali dan Lombok . Tapi yang jelas, pujangga Jawa Kuna yang tercatat
tidak bermukim di Jawa Barat dan Jawa Tengah, melainkan di Jawa Timur. Mungkin
eksodus itu menyusuli bencana alam gunung Merapi yang meletus tahun 1030.
Masa peralihan dari
zaman Jawa Kuna ke Jawa Madya tidak pernah jelas. Paling tidak sampai kini,
ikhtisar peralihan dari sastra Jawa Kuna ke Jawa Madya belum pernah ditelaah
dan dibukukan oleh pakar sastra Jawa Peralihan. Mungkin hanya Serat Gatholoco
dan Darmogandul yang digubah oleh pujangga anonim, sebagai perkecualian karena
semua pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya secara jelas dan langsung tencantum
nama-namanya, dan karya tersebut sangat problematis.
Di samping itu,
dengan Pangeran Karanggayam selaku pujangga kraton Pajang dan Sultan Agung
selaku pujangga Serat Sastra Gendhing, mungkin saja dianggap sebagai sosok-sosok
yang mengawali pujangga Jawa Madya. Serat Sastra Gendhing itu sendiri, yang
diakukan sebagal karya Sultan Agung, sebenarnya sudah mengundang tanda tanya.
Dan konteks sejarah kepujanggaan Jawa Kuna, tak pernah terkabar ada raja
merangkap pujangga. Sebaliknya, dan klan Mataram Baru terkabar citra raja
merangkap pujangga. Bermula Sultan Agung, disusul klan Surakarta dengan Pakubuwana III, IV, dan VI
juga X. Di situ sekaligus menampakkan garis perbedaan dalam tradisi
kepujanggaan.
Jawaban atas
tradisi klan raja merangkap. pujangga dalam era Jawa Madya selama ini, mungkin
diperoleh dari akibat ekspansi kolonial Kompeni Belanda, yang mempersempit
wilayah kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga raja-raja Surakarta lebih
menekankan pada pengembangan sektor kebudayaan.
Tapi bagaimana
dengan pengarang sastra Jawa Modern? Memang pernah, Suripan Sadi Hutomo
menyusun buku Antologi Puisi jawa Modern 1940-1980 dan JJ Ras menyusun Bunga
Rampal Sastra jawa Modern. Tapi seandainya saja karya-karya dalam dua buku
antologi tersebut dijadikan kartu utama untuk menjawab prestasi dan prestise
keberadaan sastra Jawa Modern, sudah tentu bahwa, dugaan terhadap pengarang
sastra Jawa Modern belum memperlihatkan pamornya akan dibenarkan banyak pihak.
Kebangkitan kembali pengarang Jawa Modern yang memakai wahana ekspresi bahasa
Jawa Modern masih butuh waktu lebih lama.
Bahasa ekspresinya
adalah bahasa Jawa Modern, atau Jawa ngoko atau Jawa krama, yang dengan deras
pula menerima masukan kosakata dari bahasa Indonesia dan Inggris. Orientasi
budaya yang ditatap bukan lagi kraton tradisional Jawa, karena di sana sudah tidak menjanjikan apa-apa, melainkan tertuju
kepada kehidupan kota
yang plural dan egaliter, yang sekuler dan belum tertata dengan baik dan mapan.
Mereka tidak mungkin mengharap pembenahan segera terhadap segala infrastruktur
budaya dan bahasa Jawa Modern. Pihak lain pun lebih melempar kesan formalitas
dan retorika lisan. Karena itu, tantangan pengarang sastra Jawa Modern adalah
diri mereka sendiri dan tidak mungkin lagi manja pada hadirnya maecenas sastra
Jawa Modern, seperti para pujangga kraton Jawa Kuna dan Jawa Madya pada
zamannya. Mereka adalah pengarang kota
yang bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Sadewa, Alex. “Dari Pujangga ke Penulis Jawa”. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.1995
No comments:
Post a Comment